Beras Dibuang, Dibuang Sayang

Hasni Tagili Opini Zonasultra
Hasni Tagili

Ibarat dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang, itulah kondisi mencengangkan dari beras dibuang dan problem kelaparan. Betapa tidak, di satu sisi, sebanyak 20 ton beras milik Badan Umum Logistik (Bulog) yang dikirim dari gudang Unaaha, Kabupaten Konawe ke gudang Bulog Wangkanapi, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) ditemukan rusak (Zonasultra.com, 5/12/2019).

Plt Kepala Gudang Bulog Unaaha, Aswan, membenarkan bahwa telah mengirim beras ke Baubau sebanyak 500 ton. Terkait, lolosnya 20 ton beras rusak di Baubau itu, Aswan beralasan bahwa petugas sortir hanya satu orang, sedangkan ribuan karung yang akan dimuat. Namun, Aswan enggan disebut bahwa itu merupakan kelalaian pihaknya yang tidak mensortir beras secara teliti, sehingga ada beras rusak yang terangkut.

Di saat yang bersamaan, untuk skala nasional, Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun. Data yang dimilikinya, saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,3 juta ton (Cnnindonesia.com, 29/11/2019).

Diperkirakan, sekitar 100 ribu ton di antaranya sudah disimpan dia atas empat bulan. Sedangkan 20 ribu lainnya, usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun. Ya, sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan.

Sementara di sisi lain, dilansir dari Cnnindonesia.com, laporan yang dirilis ADB dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045’ menyebutkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan kronis. Ironisnya, kelaparan ini justru menimpa buruh tani karena mendapat upah rendah dan produktivitas yang juga rendah.

Pun, data Kementerian Pertanian juga menyatakan terdapat 88 daerah  kabupaten kota yang berada pada kondisi rawan pangan, diantaranya karena akses yang rendah terhadap pangan (Kompas.com). Sedang hasil riset Global Hunger Index (GHI) yang dikeluarkan oleh Concern Worldwide dan Welthungerhilfe baru-baru ini melaporkan meskipun sedikit membaik, namun indeks kelaparan Indonesia berada dalam kategori serius dengan skor 20,1 (Wartaekonomi.co.id).

Hal ini menunjukkan ada kesalahan fatal dibalik kepengurusan kebutuhan pangan oleh negara. Di satu sisi, pemerintah membuang beras, namun di sisi lain ada jutaan rakyat yang kelaparan. Ironi negeri agrari!

Minus Pengurusan Hajat Rakyat

Indikasi salah urus dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan rezim hari ini, termasuk dalam pengelolaan pangan, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, aspek pangan cenderung disetir oleh pengusaha (termasuk importir dan distributor besar) yang ikut mengendalikan arah kebijakan pangan sesuai kepentingan mereka. Akibatnya, terjadi impor beras besar-besaran, padahal produksi beras dalam negeri surplus. Anggaran negara habis karena mengimpor, petani lokal pun harus menelan pil pahit.

Kedua, neoliberal telah mematikan fungsi pelayanan Bulog. Dalam paradigma neolib, Bulog yang sejatinya perpanjangan tangan negara telah berubah menjadi lembaga bisnis. Bulog hari ini terkesan berorientasi untung-rugi. Alih-alih melayani rakyat dengan membagikan beras secara gratis, justru layanan Bulog semakin dikomersilkan.

Saat ini, Bulog tengah kesulitan menyalurkan beras lantaran ada perubahan kebijakan dari beras sejahtera (rastra) atau yang dikenal sebagai beras miskin (raskin) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dalam program BPNT, bantuan pangan diterima dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM).

Akibatnya, posisi Bulog kian terhimpit lantaran BUMN pangan ini harus bersaing dengan pemasok beras swasta dalam program pengadaan bantuan sosial tersebut. Sehingga, stok beras yang berpotensi dibuang dapat terus meningkat. Sebab, beras Bulog di gudang akan mengalami penurunan mutu jika terlalu lama disimpan.

Ketiga, tumpang-tindih kebijakan antar kementerian karena ego sektoral. Ini terlihat dari tidak sejalannya regulasi yang dibuat kementerian perdagangan, kementerian pertanian, dan Bulog tentang pengadaan beras untuk ketahanan pangan. Bukannya mengoptimalkan pelayanan dan pengurusan hajat rakyat, masing-masing malah berebut keuntungan dari proyek kebijakan.

Butuh Mekanisme Syar’i

Berbeda dengan mekanisme pemenuhan pangan dalam Islam yang menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Betapa tidak, negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (lihat QS At-Taubah: 34), riba, monopoli, dan penipuan.

Pun, negara harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang, sehingga bisa mengurangi terjadinya informasi yang tidak simetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar dalam memperoleh laba secara batil.

Di samping itu, dari sisi manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul Saw. yang begitu memperhatikan persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktik pengendalian suplai pun pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra. menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al-‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Dengan demikian, mari belajar melihat akar masalah sesungguhnya. Negeri ini membutuhkan solusi fundamental dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Solusi mendasar yang akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hingga detik ini kapitalisme masih saja gagal mencapainya. Andaikata mereka mau melirik Islam sebagai solusi, mungkin kedukaaan negeri ini bisa berkurang bahkan hilang kezaliman. Wallahu a’lam bisshowab.

 


Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini