Duduk persoalan
Akhir ini kita digemparkan dengan munculnya kembali berita terkait 500 TKA China yang akan memasuki wilayah bumi anoa tepatnya dikabupaten Konawe Kecamatan Morosi. Dimana menurut External Affairs Manager PT VDNI, Indrayanto mengatakan masuknya 500 TKA China ke PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) ini bertujuan untuk mengerjakan 33 tungku smelter milik PT OSS yang nantinya akan digunakan untuk 3.000 lebih karyawan lokal untuk bekerja. Namun hal ini justru mendapat atensi yang kurang baik dari masyarakat sulawesi tenggara dan memaksa pemerintah provinsi baik gubernur maupun DPRD sulawesi Tenggara untuk meminta penundaan kedatangan ke pemerintah pusat agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat yang sedang berjuang untuk memutus rantai virus corona covid-19.
Namun, Ada yang menarik dengan statement yang dikeluarkan oleh para pejabat daerah provinsi baik eksekutif maupun legislatif, dimana pada bulan april lalu, awalnya bersepakat untuk menolak kedatangan TKA China karena menurut mereka suasana kebatinan masyarakat sulawesi tenggara belum siap untuk menerima, kemudian pada bulan juni muncul perbedaan pendapat dimana Gubernur Ali Mazi mengizinkan masuknya TKA China dengan alasan agar tenaga kerja (lokal) bisa bekerja apalagi investasi yang tidak tanggung-tanggung sebanyak Rp 42 triliun dan Ketua DPRD Sulawesi Tenggara Abdurrahman Saleh yang videonya sempat viral menyatakan bahwa akan tetap menolak jika administrasi para TKA China tidak sesuai prosedur , kemudian pada hari jumat lalu saat rapat yang di gelar di kantor DPRD Sultra bersama PT VDNI sikap DPRD Sultra kemudian melunak dan mengizinkan para TKA China untuk masuk ke daerah bumi anoa, tentunya ini membuat pendapat baik eksekutif maupun legislatif berubah dari menolak menjadi menerima sehingga membuat masyarakat sulawesi tenggara menjadi gaduh dan menganggap pemerintah provinsi sama sama tidak konsisten dalam permasahan yang sedang terjadi ini.
Terikat MEA
Sebenarnya asal muasal mudahnya investasi yang tidak saja sekedar investasi materil namun juga tenaga kerja adalah Jika merujuk kedalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN saat di Bali, Indonesia, oktober 2003 dimana salah satu poin kesepakatan yaitu Menciptakan pasar tunggal yang mencakup negara-negara ASEAN sekaligus pusat produksi (production base) dengan kaitannya pada elemen produk aktivitas ekonomi bebas, seperti tenaga kerja (terdidik/terampil), bebas bea untuk aliran barang dan jasa dari kawasan regional ASEAN, serta keluar masuknya investasi dan aliran modal untuk negara-negara sekawasan.
Pergerakan tenaga kerja terampil di ASEAN diatur melalui Mutual Recognition Agreement (MRA). ASEAN saat ini telah memiliki 8 (delapan) MRA yakni untuk profesi insinyur, arsitek, surveyor, dokter umum, dokter gigi, perwawat, jasa pariwisata dan akuntan. ASEAN juga mengatur pergerakan tenaga kerja profesional lainnya melalui penandatanganan ASEAN Agreement on the Movement of Natural Persons(MNP) pada November 2012. Kesepakatan ini memberikan jaminan hak dan aturan tambahan yang sudah diatur di AFAS tentang MNP dan juga memfasilitasi MNP dalam menjalankan pergdangan dalam jasa dan investasi.
Terlihat jelas ada standar tenaga kerja yang dapat bekerja dalam dunia investasi Indonesia untuk asing. Namun yang terjadi selama ini sering kali tenaga yang berdatangan menurut keterangan berbagai sumber tidak masuk kedalam 8 (delapan) kategori yang telah ditetapkan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Mentaati Kebijakan Pusat ‘sekalipun merugikan’
Menurut John Rawls dalam konsep berkehidupan keadilan sosial mengatakan dalam hal kepentingan individu dan kepentingan negara dimana John Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Hal ini selaras dengan pembukaan UUD 1945 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Secara teoritis negara ini dibangun untuk menciptakan kesejahteraan sosial, dibukanya lapangan kerja dengan prioritas anak bangsa. Namun ternyata kita msih memiliki kekurangan dalam membangun instrumen hukum yang mensejahterakan dalam konsep desentralisasi dengan bingkai negara kesatuan.
Didalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah diatur hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi sampai kabupaten/kota sehingga tiap stakeholder mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika merujuk dengan problem yang terjadi di sulawesi tenggara dalam hal masuknya Tenaga Kerja Asing, timbul pertanyaan siapakah yang memberikan izin? Apakah pemerintah pusat atau pemerintah provinsi? Nampak jelas yang mengambil keputusan yaitu pemerintah pusat dikarenakan segala urusan perizinan terkait masuknya tenaga kerja asing diatur oleh Perpres No. 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing lalu kementerian terkait misalkan kementerian ketenagakerjaan melalui Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA), saat telah memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Kementerian Luar Negeri dalam pemberian visa, kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Imigrasi, serta kementerian keuangan melalui Dirjen Bea dan Cukai. karena kita menganut konsep negara kesatuan maka kebijakan pemerintah pusat saat dilimpahkan ke daerah wajib menjalankan keputusan dikarenakan perpanjangan tangan pemerintah pusat didaerah yaitu pemerintah provinsi sehingga tidak ada alasan pemerintah provinsi untuk tidak menjalankan karena jika pemerintah provinsi tidak mematuhi keputusan yang telah dibuat maka akan mendapat sanksi administrasi dari pemerintah pusat.
Oleh: Muh.Rifky Rachel Pondiu
Penulis adalah Gubernur Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Ahmad Dahlan 2018-2019