Debat Publik Adalah “Koentji”

Andi Syahrir
Andi Syahrir

OPINI : Usai debat publik putaran pertama kandidat pasangan kepala daerah Kota Kendari, banyak kalangan menyatakan, penampilan mereka tidak bisa dijadikan acuan untuk menilai kompetensinya secara keseluruhan. Bagaimana mungkin menilai kompetensi seseorang dengan memberikannya waktu paling banyak tiga menit untuk berbicara? Begitu argumentasinya.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Mereka yang berpendapat demikian barangkali lupa bahwa variabel waktu merupakan instrumen untuk menguji kompetensi seseorang, baik secara intelegensia maupun emosional. Batasan waktu adalah tantangannya. Waktu yang terbatas akan menunjukkan siapa sesungguhnya para kandidat itu.

Dengan waktu yang secuil-cuil, akan kelihatan kandidat yang memiliki keluasan wawasan. Akan terlihat mereka yang punya banyak cadangan kosakata. Kelihatan mereka yang rajin membaca, minimal baca koran. Itu intelegensia. Kecerdasan intelektual yang juga disebut dengan intellectual quotient (IQ).

Waktu yang demikian kasip juga akan memperlihatkan kualitas pengendalian emosi seseorang. Siapa yang gugup, gagap, kehilangan fokus, keringatan, gemetaran, pucat pasi, marah, meledak-ledak, dan segala macam ekspresi emosi lainnya, akan kelihatan dari adanya tekanan waktu. Namanya kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ).

Menurut Daniel Goleman, EQ merupakan faktor yang dua kali lebih penting dan lebih relevan untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan ketimbang IQ. Anda tahu siapa Goleman yang begitu berani “meremehkan” IQ dibanding EQ? Dia seorang pakar psikologi yang menulis buku Emotional Intelligence (1995), yang meraih international best seller. Dan selama satu setengah tahun buku ini menjadi buku terlaris dalam daftar The New York Times. Bukunya menjadi rujukan dalam pembejalaran mengenai kecerdasan emosional.

Beberapa ciri kecerdasan emosional menurut Goleman antara lain ketahanan seseorang menghadapi rasa frustrasi, kemampuan menjaga suasana hati, dan kemampuan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, bahkan berdoa. Keterbatasan waktu adalah sumber rasa frustrasi sekaligus sumber beban stres.

Kata cendekiawan Komaruddin Hidayat, seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidak menguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Ingat, waktu dalam hal ini –pada saat debat publik– adalah ancaman.

Kecerdasan emosional akan menentukan kompetensi emosional seseorang. Bisa kita lihat contoh ketika Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai presiden melawan SBY pada Pemilu 2009 silam. Kala itu, JK ditanya wartawan, “Bagaimana cara Bapak mengalahkan SBY?” Apa jawaban JK? “Saya saya tidak pernah berpikir bagaimana cara mengalahkan SBY. Saya berpikir bagaimana cara untuk menang.”

Seorang dengan kompetensi emosional yang tinggi tidak akan pernah mencari-cari kelemahan lawannya, tetapi dia akan fokus untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. Kompetensi emosional yang tinggi akan berpikir “menang” bukan berpikir “mengalahkan”. Ini dua pemaknaan yang sama tapi dengan landasan filosofis berbeda.

Kecerdasan emosional yang tinggi harus mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Urgensinya dapat kita simak dari cerita tentang katak dalam panci. Goleman juga mengutip cerita ini dalam bukunya. Jika seekor katak dimasukkan ke dalam panci air mendidih, secara nauriah dia akan meloncat keluar.

Tetapi, jika katak itu ditaruh dalam panci berisi air dingin dan secara bertahap dipanaskan sampai mendidih, katak itu akan tetap berada disana hingga ikut direbus. Katak ini begitu nyaman dengan air dingin, dan abai terhadap peningkatan suhu secara berangsur-angsur.

Pemimpin yang kecerdasan emosionalnya rendah, seperti halnya katak rebus, kata Goleman, terjebak dalam rutinitas atau membiarkan kenyamanan kecil-kecil menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan dan membiarkan dirinya menjadi mandek dan tidak mau berubah. Dia lalu menjadi pemimpin gagal, seperti katak rebus. Duh…

Debat publik adalah ajang untuk menilai IQ dan –terutama– EQ para calon kepala daerah. Dibandingkan dengan metode sosialisasi lainnya seperti memasang baliho, menyebar pamflet dan stiker, mendatangi kompleks-kompleks pemukiman warga lalu menebar janji atau berorasi panjang lebar dan diselingi lenggak-lenggok para biduan yang bernyanyi, saya lebih memilih debat publik untuk mengukur kualitas para calon kepala daerah.

Masih ada debat publik putaran berikutnya. Meminjam kalimat gembong PKI, DN Aidit, yang begitu tersohor, “Djawa adalah Koentji”, maka dalam konteks menentukan pasangan kandidat pilihan, “Debat publik adalah koentji”. Karena ia sebuah “koentji”, jangan kita lewatkan. Mari kita ikuti, cermati, lalu menjatuhkan pilihan. Pun untuk tidak menjatuhkan pilihan. ***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini