Jakarta memang magnet. Pilkadanya seperti toko serba ada. Dari kelincahan Agus Yudhoyono yang berdarah muda sampai kecerdasan Anies yang terampil memilih diksi. Ketangkasan Ahok yang begitu rileks hingga kekaleman Sandi yang bikin ibu-ibu klepek-klepek. Dari kebapakan Djarot yang berkumis hingga ketenangan Sylvia yang keibuan (memang sudah bapak-bapak dan ibu-ibu, sih).
Disempurnakan kerenyahan suara Ira Koesno yang awet muda. Empat puluh tujuh tahun, bo dan dia masih bening. Habis tampil semalam, akun twitternya bakal ramai pertanyaan, resepnya apa Mbak Ira? Gym berapa kali seminggu? Kosmetiknya pesan online, beli di mall atau racik sendiri? Dan mungkin ada yang iseng inbox, “bisa minta tolong ngga? Tolong isikan pulsa 100 nanti saya ganti 200.” Gubraakkk..!
Jadilah acara super serius bernama debat publik menjadi tontonan yang menghibur. Menyegarkan otak, perut, dan dompet. Dan moral. Lho….lho…ngomong apaan sih? Serius, ah…
Pilkada DKI adalah trendsetter pilkada serentak. Yang dipilih gubernur, pemain latarnya para mantan dan calon presiden. Yang milih warga DKI, yang bertengkar se-Indonesia. Ahok yang nomor urut dua, warga KDI yang baper. Ups….
Seperti cermin, daerah lain seyogyanya merefleksi banyak hal dari debat publik Pilkada DKI. Kualitas para kandidatnya. Mutu pemandu acaranya. Desain panggung dan materi debatnya. Ini debat publik pertama yang dihelat KPU DKI dari tiga rangkaian debat.
Pilkada KDI sudah satu kali. Hasilnya, lumayan. Dalam beberapa hal, Pilkada DKI mirip dengan KDI. Sama-sama tiga pasang kandidat. Ada anak mudanya yang sama-sama debut di debat. Masing-masing hanya punya satu calon perempuan. Di DKI mantan None Jakarta. Di KDI masih berpeluang jadi “Putri Anawai”.
Debat publik putaran kedua Pilkada KDI dijadwalkan 31 Januari. Saya berharap, debat publik DKI ditonton oleh para kandidat pasangan kepala daerah KDI. Lalu mencontoh banyak hal dari mereka. Terutama perdebatan yang masuk di ranah sangat teknis tapi tidak melupakan wilayah filosofisnya.
Pada debat publik Pilkada KDI putaran pertama, para pasangan calon masih terlalu banyak berbicara hal yang normatif. Padahal, menarik sekali gagasan tentang e-government yang ditawarkan ADP-Sul. Atau konsep spiritual city yang disiapkan Razak-Haris. Juga ide tentang pemberdayaan kaum perempuan yang dikemukakan Zayat-Suri. Sayang sekali, gambaran konkritnya belum diterjemahkan detail.
Pihak KPU Kota KDI seharusnya menyaksikan debat Pilkada DKI semalam. Mereka penyelenggara. Merekalah perancang sekaligus sutradara debatnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah siapa pemandu debat yang akan diundang. Apa isu strategis yang diangkat tim pakar. Durasi waktu di setiap kesempatan bicara dan total waktu keselurahan debat. Tidak kalah pentingnya desain panggung, terutama podium dan tempat duduk para kandidat.
Jika bisa mengusulkan, pemandu debat pada putran kedua nanti, sebaiknya dari kaum perempuan. Untuk acara serius yang berpotensi membosankan, pengarah acara dari kalangan perempuan lebih menarik. Peran Ira Koesno tadi malam optimal. Tegas. Tapi enak dipandang.
Zainal Arifin Muchtar, pemandu debat Pilkada KDI putaran pertama, lumayan ganteng. Sebelas dua belas dengan saya…uhuk…uhuk. Kecerdasannya menjadi kurang dioptimalkan karena skenario debat yang datar-datar saja. Jika settting debatnya tidak berubah, tidak perlu sewa Zainal. Banyak orang Kendari yang bisa dengan model debat seperti itu.
Catatan lain yang patut dipertimbangkan adalah waktu berbicara setiap kandidat. Di Pilkada DKI, Ira Koesno hanya membatasi hingga dua menit maksimal. Di Pilkada KDI lalu, maksimal sampai tiga menit.
Podium dan kursinya. Di Pilkada KDI, kursinya terlalu tinggi. Posisi duduk Suri Syahriah dengan kursi setinggi itu kurang nyaman. Lihat di DKI, ketika duduk, Sylvi terlihat rileks. Tinggi podium hanya sebatas dada. Mereka yang menulis nyaman. Kursinya pun berketinggian biasa, sehingga perempuan bisa duduk santai menekuk kakinya. Ini sangat mempengaruhi psikologis seseorang.
Terakhir, desainlah agar interaksi, tukar pikiran, diskusi di antara kandidat menjadi lebih intens. Jika ruang diskusinya diperlebar menjadi interaksi antar kandidat yang intens, program-program kerja para pasangan calon akan lebih tereksplorasi secara teknis. Lebih membumi. Dari sana, kita akan dapat menyimpulkan mana pasangan yang hanya sebatas meraba-raba program, menghapal kata-kata, dan mana yang benar-benar paham apa yang dikatakannya. Tahu apa yang akan dilakukannya kelak jika terpilih.
Tidak usah buang-buang waktu dengan mempersilakan tim pendukung yang hadir untuk memperagakan yel-yel. Ini bukan acara idol-idolan. So, sampai ketemu di 31 Januari. Ada Ira Koesno, ngga?***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial