Suara palu berdentam-dentam menghantam paku. Bertalu-talu di seluruh penjuru pulau. Sesekali kegiatan itu terhenti manakala serombongan perempuan-perempuan muda sedang melintas di dekat mereka. Aneka macam dandanan dan model pakaian mereka.
Melihat itu, para pekerja yang tak lain pegawai pemerintah, ada yang berdehem-dehem usil. Saling lempar senyum satu sama lain. Apalagi jika pakaian salah seorang perempuan itu sedikit tersibak oleh tiupan angin pesisir. Mereka akan cekikikan. Tapi nanti. Setelah rombongan itu jauh meninggalkan mereka. Hanya sejauh itu kelakuan mereka. Setelah itu, kembali tenggelam dalam aktifitasnya.
Seminggu terakhir kesibukan di Pulau Bokori, sebuah pulau wisata yang terletak di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, meningkat pesat. Bangunan-bangunan baru bermunculan. Kubangan-kubangan raksasa di tengah pulau ditimbun dengan menggunakan penyedot pasir. Sampah-sampah dipunguti. Disapu bersih. Setiap saat.
Papan nama “Bokori” dipasang. Belasan homestay yang telah rampung dihias dengan rumbai-rumbai merah putih. Umbul-umbul ditancap di sekeliling pulau. Balon udara raksasa telah melayang-layang di udara. Berbentuk bulat lonjong. Ada juga yang kubus. Pulau kecil itu seperti berdenyut.
Di tengah pulau yang datar, sebuah panggung dengan nuansa merah putih didirikan. Peralatan listrik dan pengeras suara, serta air bersih terus diangkuti kapal menuju pulau itu. Untuk ke sekian kalinya, Bokori akan menjadi lokasi perhelatan besar-besaran.
Sebelumnya, perayaan malam tahun baru dua tahun berturut-turut. Sebelumnya lagi, menjadi lokus kegiatan bertema Festival Bokori yang dirangkaikan dengan berbagai event termasuk kejuaraan nasional bola voli yang memperebutkan Piala Gubernur.
Kali ini, rangkaian peringatan HUT Proklamasi RI ke-71 tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara akan dipusatkan di sana. Upacara pengibaran bendera memperingati detik-detik proklamasi akan diselenggarakan di pulau ini.
Pegawai lingkup Pemprov Sultra diwajibkan untuk datang ke Bokori pada tanggal 17 Agustus kendati pun tidak menjadi peserta upacara. Yang tidak datang tanpa alasan jelas akan dikenakan sanksi pemotongan tunjangan tambahan penghasilan dengan persentase yang cukup mengganggu tidur malam.
Makna instruksi ini adalah agar para pegawai menjadi “agen-agen pariwisata” yang mempromosikan Bokori. Minimal dia bisa bercerita ke tetangga samping rumahnya tentang keindahan Bokori. Paling tidak membuat status dan mengunggah foto-foto selfie-nya di media sosial berlatar belakang Bokori.
Pesannya jelas. Jika Bokori yang kalian kenal adalah Bokori beberapa tahun silam, lupakan. Bokori yang sekarang adalah Bokori yang sedang didandani. Bokori yang sedang dibenahi. Dipromosikan besar-besaran. Anggaran pemerintah provinsi lumayan besar telah digelontorkan. Tahun ini saja, sekitar Rp 1,66 miliar dialokasikan untuk melengkapi fasilitas wisata yang ada disana.
Pulau yang dulunya menjadi kawasan pemukiman Suku Bajo ini diharapkan menjadi “destinasi antara” para wisatawan sebelum berkunjung ke “destinasi utama” di Wakatobi. Lokasinya strategis dan mudah dijangkau. Dari Kota Kendari hanya sekitar 20-30 menit ke sejumlah titik penyeberangan. Menggunakan kapal-kapal kecil, hanya sekitar 10 menit sudah sampai ke seberang.
Terlepas dari upaya pemerintah daerah yang harus diapresiasi dan perlu didukung, ada beberapa catatan kritis yang harus diperhatikan. Pertama, pulau ini sesungguhnya terancam lenyap oleh rusaknya lingkungan di sekitarnya. Karang-karang yang menahan arus laut nyaris habis sehingga terpaan gelombang telah menyusutkan luasan pulau ini. Kabar buruknya, pulau ini akan terus susut jika tidak ada upaya-upaya konservasi di kawasan ini untuk mengurangi efek abrasi.
Hal itu diperparah dengan perilaku penduduk di kawasan pesisir yang tidak begitu peduli dengan kondisi lingkungannya. Tumpukan sampah di sana-sini terlihat di pemukiman mereka. Terkesan kumuh dan jorok.
Padahal, mereka merupakan masyarakat penerima manfaat paling besar jika eksistensi Pulau Bokori tetap berlanjut. Penyewaan kapal untuk penyeberangan menjadi tulang punggung pendapatan mereka selain dari usaha makanan dan minuman bagi wisatawan. Sambil menata Bokori, masyarakat sekitar juga perlu ditata menjadi “masyarakat tujuan wisata”.
Kedua, pembenahan Pulau Bokori baru dilakukan di periode kedua pemerintahan Gubernur Nur Alam. Barangkali pembenahan ini tidak akan rampung hingga masa pemerintahannya berakhir. Apa artinya? Gubernur selanjutnya harus tetap melanjutkan usaha ini. Melanjutkan penataannya sekaligus meningkatkan berbagai fasilitas pendukungnya. Melestarikannya.
Hal ini penting mengingat rekam jejak kepemimpinan kita di provinsi ini yang tidak telaten merawat landmark yang dibangun oleh pendahulunya. Mulai dari Pusat Promosi dan Investasi Daerah (P2ID) yang lahannya “direbut” warga, Tugu Persatuan yang kini menjadi ajang “uji nyali”, dan kini tantangannya adalah Pulau Bokori.
Bokori bukan hanya sekadar lokasi perpelancongan, tapi juga melekat entitas tentang keberlangsungan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Dan Kabupaten Konawe seharusnya tidak menjadi penonton dalam hal ini.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial