ZONASULTRA.COM, RAHA – Pengaspalan jalan provinsi Wakumoro-Laiba Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai hambatan. Proyek yang menelan anggaran sebesar Rp6 miliar dan sudah melalui proses tender tersebut dibatalkan oleh Dinas SDA dan Bina Marga Sultra.
Bahkan, aksi blokade jalan berjilid-jilid oleh warga tak membuat pemerintah provinsi segera merealisasikan harapan masyarakat yang sudah puluhan tahun berjibaku dengan jalan rusak.
Masyarakat Muna pun harus menelan pil pahit karena Pemprov Sultra dinilai sepihak membatalkan proyek tersebut.
Ketua Komisi IV DPRD Sultra La Ode Freby Rifai mengaku kecewa dengan sikap dinas bina marga yang menolak pekerjaan proyek pengaspalan jalan Wakumoro-Laiba.
“Ini sudah masuk penyalahgunaan wewenang. Tidak ada regulasi yang bisa membatalkan. Perintahnya hanya satu, segera laksanakan,” terang Freby Rifai saat dikonfirmasi melalui selularnya, Rabu (24/11/2021).
Kata Freby, surat pembatalan dari dinas SDA dan bina marga tak layak. Proyek yang sudah disetujui tak boleh dibatalkan sepihak karena sudah tertuang dalam perda, melalui pengajuan di ULP dan sudah ada pemenang tender.
Ia menjelaskan tidak ada mekanisme pembatalan karena syarat pengerjaan sudah terpenuhi seluruhnya. Menurutnya, dinas SDA dan bina marga hanya menunda pekerjaan agar proyek jalan ini dibatalkan.
“Alasan teknis yang disampaikan bina marga karena persoalan peralatan. Padahal sebenarnya hal itu bisa diadendum. Sengaja mengulur waktu agar proyek ini tidak cukup waktu dalam pengerjaannya,” jelasnya.
Pemenang Tender Tak Memenuhi Syarat
Kepala Dinas SDA dan Bina Marga Sultra, Burhanuddin, menjelaskan, pada prinsipnya proses pengerjaan jalan Makumoro-Laiba sudah akan dimulai.
Namun setelah menerima hasil lelang, pemenang tender secara teknis tidak memenuhi syarat. Salah satunya dukungan AMP (Asphalt Mixing Plant) berada di Kabupaten Buton.
Setelah pihaknya melakukan pengecekan, jarak tempuh kendaraan sekitar 10 km dan harus melalui kapal feri. Secara teknis aspal panas atau hotmix tiba di lokasi harus memiliki suhu sekitar 120 derajat, namun faktanya aspal tiba di lokasi panasnya sudah di bawah 100 derajat.
“Artinya jika aspal diambil dari Buton maka pasti sudah jadi batu tiba di lokasi. Inilah salah satu alasan pembatalan proyek ini dengan pemenang tender,” terang Burhanuddin.
Alasan kedua persoalan waktu. Dalam penawarannya waktu yang ditentukan selama dua bulan, sementara proses pengumuman sisa satu bulan 15 hari.
“Jadi kita melihat kontraktornya tidak akan selesai dengan sisa waktu yang ada,” urainya.
Saat ini pihaknya mengambil langkah agar jalan sepanjang 3 km itu akan difungsionalkan dengan grading. Kata Burhanuddin, dana yang terpending kembali masuk menjadi Silpa untuk persiapan penganggaran 2022 mendatang.
“Bulan Januari mereka sudah tanda tangan kontrak karena dana yang ada tidak akan digunakan di tempat lain,” ungkapnya.
Pihaknya juga beralasan jika memaksakan pengerjaannya tahun ini maka akan berdampak secara hukum.
Harus Ada Forum Khusus
Pemerhati Hukum La Ode Muhram Naadu berharap perjuangan panjang masyarakat Muna untuk pengaspalan jalan Wakumoro-Laiba ini harus didudukkan bersama.
“Segera dibuat forum khusus yang nantinya melahirkan keputusan yang pasti dan jaminan tender tidak dibatalkan lagi,” jelas Murham saat dikonfirmasi melalui selularnya, Rabu (24/11/2021).
Menurut Dosen Universitas Sulawesi Tenggara ini, polemik pengaspalan jalan Wakumoro-Laiba tidak pernah melahirkan kesepakatan sehingga membuat warga melakukan pemblokiran jalan berjilid-jilid.
Dirinya juga menyoroti soal pengaduan empat camat di Muna, yakni Camat Parigi, Bone, Tongkuno Selatan, dan Marobo terhadap warga yang memblokade jalan.
Pada dasarnya, menurut Muhram, tidak ada masalah dengan laporan yang dilayangkan oleh empat camat tersebut karena ada hak masyarakat yang terganggu dengan aksi pemblokiran tersebut.
Namun jika melihat permasalahan ini secara utuh maka seharusnya pelaporan ini tidak terjadi. Masalah ini tidak boleh hanya dilihat dari sisi akibat saja. Namun harus mempertimbangkan sebabnya.
“Sebabnya karena masyarakat resah dengan kerusakan jalan yang sudah terjadi puluhan tahun. Masyarakat itu sudah capek dijanji akan segera diperbaiki tapi nyatanya tidak ada bukti,” urai Murham.
Kata Murham, jika para camat melihat dari perspektif keadilan seharusnya camat juga mesti memperjuangkan hak masyarakat untuk percepatan perbaikan jalan.
Pada dasarnya, kata dia, aksi pemblokiran jalan memang perbuatan pidana dan itu harus diterima konsekuensinya selama ada pelaporan. Hanya saja pendekatan pidana terlalu berat bagi masyarkat yang tengah memperjuangkan hak mereka.
“Jika memang mau menerapkan hukum yang adil maka semua yang melakukan pemblokiran jalan di seluruh indonesia harus dipidanakan juga,” tambahnya.
Frasa Siap Terima Konsekuensi
Koordinator Lapangan (Korlap) Frasa, Muhamad Pasikota mengaku siap menghadapi laporan polisi yang dilayangkan oleh empat camat di Muna.
Kata Pasikota jika laporan polisi soal blokade jalan memenuhi unsur pidana maka pihaknya siap terima konsekuensinya.
Namun ia meminta polisi untuk menghadirkan semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, utamanya dinas SDA dan bina marga yang mengaku bertanggung jawab.
Kata Pasikota, blokade jalan akan terus berlangsung selama tuntutan realisasi pengaspalan jalan belum dipenuhi.
Dirinya beralasan, blokade jalan terjadi karena maraknya angka kecelakaan karena jalan rusak.
“Data dari puskesmas beberapa tahun sudah sekitar empat orang yang meninggal akibat kecelakaan di jalur Wakumoro-Laiba,” ungkapnya. (*)
Kontributor: Nasrudin
Editor: Jumriati