Awal kemunculannya sejak satu dekade terakhir, media sosial Facebook hanya sebagai media sosialisasi antar individu dalam berselancar untuk memperluas relasi satu sama lain. Dalam waktu yang relatif singkat, Facebook berubah sebagai saluran yang memungkinkan untuk melibatkan orang-orang dalam politik. Bagi politisi, media sosial adalah saluran lain (media alternatif) untuk menjangkau massa pemilih. Sebagaimana gagasan Goerge Gerbner, pencetus Teori Kultivasi menyatakan media dalam hal ini Facebook memiliki kekuatan dominan dalam kehidupan manusia. Termasuk partisipasi publik sebagai fungsi kuat dari komponen demokrasi. Sehingga keterlibatan online merupakan indikator penting untuk tingkat keterlibatan pemilih selama periode pemilihan.
Tetapi, masih sedikit perhatian publik terhadap potensi keterlibatan online ini sebagaimana proliferasi penggunaan media sosial telah mengubah arah marketisasi politik, serta kampanye politik partai maupun kandidat selama proses pemilihan berlangsung khususnya di Indonesia. Kampanye politik dan keterlibatan online ini menunjukan fakta menarik bahwa sistem marketing politik saat ini mengalami pergeseran. Dimana peran aktif kandidat menjadi lebih besar dan justru sistem yang berpusat pada partai mulai berkurang seiring berjalannya waktu.
Kampanye Politik Online
Sebagai alat kampanye politik, internet dan media sosial memiliki keunggulan yang mudah diakses oleh semua kalangan (publik) sehingga internet dan media sosial dimanfaatkan sebagai alat yang cerdas untuk mendengarkan dan terlibat, menciptakan pesan politik, memobilisasi dan berinteraksi, mengulang pesan politik, dan lain-lain. Vaccari mendalilkan sebuah teori Receive−Accept−Sample (RAS) bahwa internet dapat memperkuat sikap politik. Dimana pesan dapat mengubah sikap jika bisa diterima oleh khalayak.
Sebagaimana menjamurnya internet dan penggunaan media sosial telah memperbaharui model pemasaran dan kampanye politik partai dan kandidat selama pemilihan nasional atau lokal (Ahmad & Poppa, 2008). Menjamurnya penggunaan intenet juga berpengaruh pada simpul-simpul politik yang berhubungan dengan masyarakat, seperti keberadaan relawan yang punya kekuatan gerakan sosial yang tidak terbatas dan dinamis. Sehingga kampanye politik ini menjadi lebih fleksibel, tidak terkesan elitis dan bisa dilakukan oleh masyarakat tanpa sekat.
Sejatinya, kata Gus Dur puncak politik adalah kemanusiaan. Jadi setiap tutur tindak tidak lepas dari kepentingan orang banyak. Ini tercermin pada konsensus atau kesepakatan dari setiap kebijakan melalui proses-proses politik. Tapi bukan proses politik substansi yang menjadi ulasan dalam uraian selanjutnya, tetapi lebih pada bagaimana kemasan wacana politik dalam bentuk konten di media sosial mengambil perhatian banyak masyarakat ramai.
Dalam kontestasi politik nasional pada level Pilkada, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, Jakarta adalah menjadi kiblat bagaimana pertarungan wacana di ruang vitual menjadi salah satu strategi marketing politik dan kampanye online untuk merebut “swim voter” (pemilih mengambang) dalam menentukan pilihan rasionalnya pada salah satu kandidat. Dalam media sosial, pertarungan konsep, gagasan dan program kerja dapat dengan mudah masyarakat akses dan memahami tujuan setiap kandidat sebelum memutuskan untuk memilih kandidat pilihannya.
Kemasan Konten
Facebook memiliki fitur bawaan (like, comment, dan share) yang bisa diidentifikasi sebagai bentuk keterlibatan calon pemilih terhadap konten kampanye politik yang dibuat oleh kandidat sebagai pemilik akun. Fitur like, biasa untuk mengidentifikasi reaksi sederhana dari seseorang untuk memahami isi konten. Kemudian comment, pengguna dapat mengungkapkan pendapat mereka dan berinteraksi dengan pengguna lain. Lalu share, pembagian konten ini biasanya membuka interaksi baru dengan pengguna diluar dari pemilik konten. Dari fitur bawaan FB ini kemudian bisa mengidentifikasi indikator setiap jenis keterlibatan publik terhadap setiap postingan dari figur.
Kembali pada lingkup Sulawesi Tenggara, pertarungan wacana di media sosial juga harus mengedepankan gagasan apa yang akan ditawarkan kepada masyarakat, yang dimuat dalam rencana strategis sehingga mengerucut jadi program kerja prioritas nantinya. Pada kasus Pilkada Sultra tahun 2018 lalu misalnya, geliat buzzer di media sosial Facebook kebanyaakan konten yang mereka posting bukan fokus pada rencana kerja, kebaruan yang ditawarkan dan kebutuhan mendesak daerah, tapi malah sibuk pada konten-konten membangun citra kandidat dengan pendekatan emosional. Dan hanya sedikit menyinggung tentang substansi program kerja maupun rekam jejak dari figur atau kandidat.
Padahal banyak indikator lain sebagai instrumen kampanye kandidat untuk mengeksplor dirinya sebagai figur yang akan bertarung. Salah satu instrumen kampanye dalam melihat figur kandidat seperti Aristotelian Rhetoric, tiga indikator menjadi pintu masuknya. Pertama, Etos. Yakni berhubungan dengan rekam jejak dan integritas sebagai figur. Kedua, Patos. Yakni daya tarik emosional dari figur yang ditunjukan kepada publik. Terakhir, Logos. Daya tarik logis dari figur dalam menggambarkan fakta yang mendukung topik kampanye.
Jika melihat indikator tersebut, para kandidat hanya dominan dalam pendekatan emosional/patos dalam konten kampanye mereka. Artinya masih ada dua ruang kosong (etos dan logos) yang belum tereksplor dengan baik, yang sebenarnya sangat potensial bagi figur bila dimanfaatkan dengan baik.
Misalnya sebut saja kandidat calon gubernur Rusda Mahmud – Sjafei Kahar dengan akun FB “Rusda Mahmud” dan pasangan Asrun – Hugua dengan akun FB “Relawan Asrun”. Rusda Mahmud misalnya, dalam wacana lisannya yang berkembang bahwa figur tersebut mampu bekerja dan telah terbukti membangun daerah secara masif dan progresif saat menjadi bupati Kolaka Utara. Tetapi di Facebook, konten tentang klaim keberhasilan tersebut tidak muncul sebagaimana harapan publik. Artinya tim kampanye (buzzer) tidak mampu mendesain konten keberhasilan tersebut sebagai bahan jualan kandidat mereka.
Kemudian pasangan Asrun – Hugua secara capaian rekam jejak dan keberhasilan selama memimpin di masing-masing daerah sangat nampak jelas beserta prasasti peninggalannya. Tetapi menjadi kendala, adalah kandidat maupun tim kampanye mereka tidak berhasil menghadirkan konten rekam jejak tersebut di Facebook. Kendari dengan berbagai macam penghargaan termasuk beberapa kali mendapatkan Adipura, harusnya menjadi sesuatu yang sangat potensial untuk dikemas dalam konten kampanye. Selain itu, di Wakatobi Hugua dengan rekam jejaknya mampu menggenjot wisata unggulan harusnya menjadi kemasan menarik dalam konten kampanye juga, tetapi lagi-lagi tim kampanye mereka tidak mampu menghadirkan konten tersebut menjadi lebih seksi dan menarik.
Artinya fenomena tersebut merupakan gambaran umum dari potret sosial politik di daerah Sultra. Banyak diantara kandidat hanya memasang baliho atau papan iklan sebagai penanda untuk menegasikan dirinya akan bertarung. Demikian juga di media sosial, cukup dengan tag-line singkat menjadi modal kampanye untuk meningkatkan popularitas. Jika berkiblat pada pemilihan DKI Jakarta 2012 dan terpilihnya Obama periode pertama sebabagai presiden, penjabaran materi kampanye dan rencana program kerja cukup berimbang berdasarkan indikator kampanye yang mereka sebar di media sosial, tentunya dengan kemasan konten yang lebih beragam.
Adaptasi penggunaan Facebook sebagai alat untuk kampanye politik pada Pilkada Sultra sebenarnya telah berjalan secara bertahap walaupun konsep kampanye politik online melalui media sosial belum berjalan dengan baik. Masih ada pekerjaan rumah bagi tim kampanye maupun figur untuk peningkatan citra kandidat dalam pengemasan pesan kampanye pada kandidat untuk menarik keterlibatan politik calon pemilih supaya lebih optimal.
Ke depan ruang-ruang kosong dalam kampanye politik online diharapakan dari setiap tim kampanye maupun figur dapat memanfaatkan indikator yang belum terisi, sehingga pengemasan konten kampanye lebih bervariasi dan publik lebih kaya referensi untuk menentukan pilihannya.
Pilkada Serentak 2020
Menghadapi Pilkada serentak yang dihelat tuju (7) daerah di Sultra menjadi peluang besar bagi kandidat memanfaatkan media sosial sebagai media alternatif untuk melakukan kampanye politik kepada masyarakat. dikatakan sebagai media alternatif selain murah dan bisa dijangkau oleh kandidat, masyarakat pun bisa melihat lebih dengan dan berinteraksi langsung dengan kandidat calon pilihannya sebelum memutuskan pilihan bulatnya.
Kampanye online merupakan sebuah terobosaran baru untuk mengangkat popularitas maupun elektabilitas kandidat melalui postingan di media sosial. Kemudian dibandingkan dengan media konvensional yang cenderung mahal dan membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak, kampanye online ini justru pengemasan konten dapat dilakukan dimana saja dan cenderung lebih fleksibel.
Partai politik maupun kandidat khususnya di Sultra belum melihat kampanye online ini sebagai sebuah ruang baru yang potensial, karena di Sultra belum terlalu familiar dengan kerja-kerja online seperti ini. Padahal secara data pengguna internet tahun 2017, wilayah Sulawesi adalah pengguna dengan tingkat penetrasi internet yang lebih tinggi. Mestinya tingkat penetrasi yang tinggi juga berbanding lurus dengan aktifitas politik di ruang virtual.
Oleh; Dasmin Ekeng
Penulis Merupakan Direktur; HIPPMASANGIA Institute