Rusman Emba-Malik Ditu sah menjadi pasangan kepala daerah Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Pleno KPU setempat, Senin (1 Agustus 2016), menjadi penutup dari seluruh proses pilkada yang begitu melelahkan. Menguras emosi, energi, dan uang.
Keduanya tinggal menunggu pelantikan untuk memulai kerja-kerja mereka menakhodai Kabupaten Muna lima tahun ke depan. Mereka tidak hanya akan membangun daerah an sich, tetapi juga merajut banyak hal yang telah terputus, rusak, dan tercederai selama rangkaian pilkada berlangsung.
Pilkada Muna sangat khas dan memiliki kebetulan yang kecil kemungkinan akan terulang di masa mendatang. Angka tiga puluh tiga (33), contohnya. Rusman-Malik hanya unggul 33 suara dari rival utamanya, pasangan Baharuddin-La Pili. Pasangan ini berhasil membalik keadaan setelah sebelumnya kalah –juga dengan selisih 33 suara. Mari kita memaknainya.
Pertama, bahwa dengan kemenangan setipis itu, baik Rusman-Malik maupun Baharuddin-La Pili, tidak ada yang benar-benar memiliki legacy yang begitu kuat di hati masyarakat. Bagi mereka yang berada jauh di luar lingkar kekuasaan, kemenangan Rumah Kita ataupun (seandainya) Dokter Pilihanku, hanya terlihat seperti koin yang dilempar ke udara. Peluangnya sama porsinya. Kekuatannya sama besarnya. Tetapi harus ada yang menang.
Proses yang begitu panjang untuk mencari keadilan lewat institusi pengadil yang diatur negara kiranya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi rasa dahaga “keadilan” di antara dua pasangan kontestan. Tidak akan mungkin bisa memenuhi rasa keadilan yang paripurna. Kalau mau keadilan hakiki, yah mati dulu. Tuhan pasti menyiapkannya dengan baik.
Jika memperturutkan terpenuhinya rasa keadilan untuk semua, maka kita akan ber-pilkada sepanjang tahun karena tidak mungkin keduanya keluar sebagai pemenang. Harus ada yang kalah satu pihak, agar ada yang disebut pemenang di pihak lain.
Lucu rasanya jika –sudah sebegitu jauhnya proses ini– masih ada yang membangun wacana ketidakadilan atas hasil akhir pilkada. Tidakkah hati terketuk betapa sebuah “cita-cita mulia” hendak memperbaiki Muna justru telah memporak-porandakan banyak hal di masyarakatnya?
Bukankah berhenti bertarung –karena telah ada keputusan final, kendatipun merasa “dicurangi”– justru lebih bermakna sebagai pengabdian ketimbang melanjutkan pertempuran yang akan terus menumpahkan darah, menghanguskan rumah, mobil, dan menebar ketakutan di hati masyarakat?
Kedua, minimnya legacy masyarakat merupakan ujian pertama bagi pemenang. Kerja-kerja mereka harus sesegera mungkin terlihat nyata agar publik bisa berkata “tidak rugi kita berdarah-darah dan berhangus-hangus”.
Jika pasangan terpilih terjebak pada pengulangan kerja-kerja di masa lalu, yakinlah bahwa pilkada berikutnya, sang penantang juga dapat menumbangkannya.
Ada kekhawatiran yang besar bahwa pertarungan berikutnya adalah persaingan di antara tim pemenangan untuk membagi kue kekuasaan. Lalu kepala daerah terpilih terjerat dengan politik utang budi. Ini persoalan rumit yang kembali menyita energi. Dan tahu tidak, hingga saat itu masyarakat belum tersentuh.
Berikutnya, mereka yang kebagian kue kekuasaan, mulai dari yang potongannya besar hingga yang hanya remah-remah, harus mengembalikan “modal”-nya terlebih dahulu. Kue untuk masyarakat –yang diatasnamakan diperjuangkan– tak lagi utuh. Lebih banyak tergigiti oleh tikus-tikus kekuasaan.
Jika ritme itu yang berulang dari waktu ke waktu, saya harus membenarkan sikap seorang warga Muna yang mengatakan, “saya senang kalau kita PSU terus. Tidak perlu ada yang menang. Dengan demikian, kita dikasih uang terus. Kalau sudah ada yang menang, sudah tidak ada yang kasih-kasih kita.” Apalagi yang bisa diharapkan masyakarakat selain itu?
Bupati dan Wakil Bupati Muna, Rusman Emba dan Malik Ditu, harus menjungkirbalikkan logika umum di atas. Jika tidak, pilkada berikutnya barangkali akan jauh lebih mudah. Alih-alih PSU, mungkin hanya satu putaran. Selamat bekerja.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial