Sebagai karyawan pemerintah yang terbiasa menyaksikan “siapa saja” leluasa masuk ke kantor-kantor pemerintah hingga “dapur paling belakang”, saya merasa “dipersulit” begitu hendak bertandang ke sebuah kantor milik pemerintah di Jakarta. Saya diminta untuk membuat temu janji melalui layanan call center.
Harus dilakukan sehari sebelumnya. Itu sudah standard operational procedure (SOP)-nya. Aturan main yang mereka buat untuk mengoptimalkan layanan sembari menegakkan integritas dengan mencegah praktek-praktek koruptif. Begitu kira-kira tujuannya.
Di kantor swasta yang sudah mapan, ini sudah biasa. Tapi di kantor pemerintah, bahkan yang mapan sekalipun, belum semua melakukannya.
Kantor-kantor yang dibawahi langsung oleh pemerintah pusat memang sudah jauh melangkah menata pelayanannya ke publik. Terutama pada kantor yang bernaung di bawah kementerian keuangan.
Di Kendari, kantor pelayanan pajak misalnya, Anda tidak akan dilayani jika tidak mengambil nomor antrian pada mesin khusus yang telah disediakan. Bahkan untuk memasukkan surat sekalipun.
Surat Anda akan didaftar secara elektronik. Tanda buktinya dicetak. Diserahkan ke anda untuk kartu kontrol mengecek sudah sampai dimana surat itu. Mereka meminta nomor kontak, tapi dari pengalaman-pengalaman saya selama ini, mereka tidak pernah menghubungi.
Surat dikirim melalui jasa pengiriman. Sekalipun kantornya berdekatan. Tidak ada petugas yang akan mengantar surat itu. Beda dengan kantor-kantor yang bernaung di pemerintahan daerah.
Dalam operasionalnya, siapa saja bisa berfungsi sebagai pengantar surat. Tergantung urgensinya. Biasanya, semakin tinggi jabatan “pengantar surat”, akan linear dengan seberapa penting atau seberapa cepat surat itu memerlukan respon balik.
Salah satu kantor yang menerapkan layanan call center di kementerian keuangan adalah direktorat jenderal perimbangan keuangan. Call center-nya responsif ketika dihubungi. Hanya kresek-kresek. Agak mengganggu konsentrasi dalam rangka menyusun kalimat dengan logat orang Jakarta…😁😁😁
Di kantor ini, jika mau konsultasi secara formal dengan menemui seseorang, harus lewat call center. Pembicaraan direkam otomatis. Ada layanan whatsapp-nya juga.
Jangan datang tiba-tiba. Kemungkinan besar tidak dilayani. Dilakukan sehari sebelumnya. Untuk memastikan bahwa anda bisa dilayani secara efektif dan efisien.
Ruang tamu sudah disediakan khusus. Ada kamera pengintainya. Tidak langsung ke ruang kerja petugas bersangkutan. Ada permennya. Saya ambil satu. Dua lainnya kukantongi. Tapi ijin sama resepsionisnya. Mbak, permennya saya bawa dua biji, kataku. Kan tidak enak kita ditahan sekuriti karena mengantongi permen dua biji…😁😁😁
Nah, kita balik ke kampung tercinta. Sulawesi Tenggara. Pakta Integritas yang setiap tahun ditandatangani itu, sudah harus lebih operasional dengan menerapkan zona integritas. Bukan sekadar spanduk. Baliho.
Tapi kerangka operasinya harus membumi. Mengawinkannya pada akar kultural kita. Sehingga, kendatipun kita difasilitasi oleh mesin, rasio kemanusiaan kita masih tegak.
Kantor pemerintah tidak lagi secara serampangan dimasuki. Oleh mereka yang hendak menempuh jalan pintas untuk kepentingan sepihak. Yang karenanya negara dirugikan.
Tentu saja, intervensi mesin akan meminta korban. Orang-orang yang tidak berniat merugikan negara. Barangkali kita tidak lagi menyaksikan penjual madu, pulpen, korek gas, buku, tim sukses, peminta sumbangan, peminta proyek, leluasa masuk ke bilik-bilik kerja.
Ada ruang atau fasilitas khusus untuk itu. Sebab esensinya, kantor publik tetaplah boleh diakses oleh publik. Seluruhnya. Hanya wajib tertib. Sebab dari sana wibawa negara tegak.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial