Penggiat Lingkungan Ancam Lapor Kasus Labengki ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU– Koalisi masyarakat peduli Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), yang digagas oleh pengiat lingkungan Lembaga Masyarakat Pemerhati Tambang (Lempeta) pada awal bulan Juni 2016 ini akan menemui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup di Jakarta.

Pulau Labengki

Ketua Lempeta Konut, Ashari mengatakan, pihaknya akan menemui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mendesak pihak kementerian tersebut agar tidak memproses alih fungsi hutan lindung dan menyetujui penetapan blok Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo yang berada di Desa Labengki, Kecamatan Lasolo Kepulauan, yang digagas oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi.

Disamping itu, kata Ashari, pihaknya juga akan melaporkan kegiatan usaha wisata yang dilakukan oleh investor, PT Labengki Nirwana Resort yang telah merusak dan menduduki areal konservasi dan hutan lindung yang kesemuanya itu dianggap telah melanggar aturan yang ada.

“Ini kan upaya melegitimasi lampiran permohonan secara parsial ke Dirjen Kemenhut terkait alih fungsi TWAL Teluk Lasolo,” kata Ashari, Selasa (31/5/2016).

Selain itu, maksud dan tujuan permohonan alih fungsi areal TWAL Teluk Lasolo hanya diperuntukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan investor yang pada akhirnya masyarakat dan pemda Konut hanya menjadi penonton terbaik di daerahnya.

Ashari menguraikan, untuk kawasan TWAL Teluk Lasolo sendiri memiliki luas 81.800 hektar are. Yang secara keseluruhan BKSDA provinsi telah merencanakan penetapan blok. Di kawasan tersebut dibagi menjadi 6 zona. Diantaranya, blok perlindungan terestrial, perlindungan bahari, pemanfaatan, rehabilitasi, tradisional dan blok khusus.

Hal tersebut dianggapnya sebagai modus atau gaya baru untuk mengkapling areal guna memiliki atau menguasai areal wisata dengan cara tidak benar yang dilakukan oleh investor demi mendapatkan legalitas secara sepihak.

“Ini sama dengan menghalalkan segala cara. Menurut analisa kami, miris kedengarannya sebab pulau Labengki sudah lama dihuni masyarakat yang selama ini dijadikan tempat tinggal plus tempat pencaharian mereka. Tiba-tiba ada yang mengaku sebagai pemiliknya,” ujarnya.

Hasil investigasi yang dilakukannya, ia menemukan BKSDA provinsi memiliki andil besar dalam proses ganti rugi lahan yang dilakukan oleh pihak PT Labengki Nirwana Resort. Dimana masyarakat membeberkan bahwa kronologis proses ganti rugi tanaman dan tempat tinggal sempat keluar bahasa ancaman dari oknum BKSDA.

“Jelas disini kami menilai ada kepentingan besar dengan cara mengintimidasi masyarakat. Bahkan masyarakat yang kami temui secara spontan siap bersaksi termasuk pengusiran paksa masyarakat nelayan,” lanjutnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Labengki, Baharuddin mengungkapkan, jika 4 pulau-pulau kecil yang berada disekitar wisata Labengki telah dibeli oleh investor. Tiga dari empat pulau itu diantaranya dibeli oleh Habib sebagai pimpinan pengelolah dibawah kendali PT Labengki Nirwana Resort, dan 1 pulau dibeli CV Wisata Pulau Labengki dibawah pimpinan Malik.

“Diantaranya, dekat pulau pasir panjang, pulau Dolipo, pulau Mahuang dan pulau Luko Bangkau. Ini masih masuk desa Labengki, berurutan memanjang,” ungkap Baharudin.

Awalnya, lanjut Baharudin, pihak Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi mendatangi warga yang mendiami keempat pulau tersebut dan memaksa agar menjual lahan yang di dalamnya sebagian ditanami pohon kelapa yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka.

Namun pernyataan Baharuddin ini dibantah oleh Kepala SKW II BKSDA Sultra, Darman. Ia menegaskan,
pihaknya tidak pernah menjual pulau Labengki kepada investor atau pihak manapun melainkan melakukan kerja sama dengan sejumlah investor untuk mengembangkan kawasan Pulau Labengki sebagai kawasan wisata alam.

“Dan itu sah-sah saja karena ada undang-undang yang mengatur, karena tanpa berlandaskan hukum kami tidak mungkin melakukan kerja sama dengan pihak investor, asalkan kegiatan yang investor lakukan bukan untuk mengambil hasil dan isi dalam hutan ataupun melakukan kegiatan jika ada potensi tambang yang dapat merusak,” kata Darman, Rabu (25/5/2016).

Dikatakannya, sebenarnya secara tekhnis pengembangan wisata pulau Labengki di bawah BKSDA, terkait masalah administrasi seperti perizinan usaha merupakan gawean dari pemda Konut. Sehingga persoalan hak dan kewajiban pihak ketiga dalam hal ini investor kepada Pemda Konut dan BKSDA masing-masing punya mekanisme.

Ia mengungkapkan, ada hal yang perlu diketahui bersama, balai konservasi tidak semata-mata melakukan tugas sebagai instansi yang melindungi keberlangusungan daerah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) termasuk Taman Wisata Alam (TWAL).

“Ya, semua itu tercantum dalam UU No.5 tahun 1990 tekait dengan kawasan pelestarian alam yang terdiri dari taman nasional, taman hutan dan taman wisata alam,” ungkap Darman, Rabu (25/5/2016).

Darman menjelaskan bahwa kawasan konservasi terlarang sangat dilarang untuk kegiatan non konservasi dan non kehutanan. Akan tetapi, sebuah kawasan konservasi dapat dimanfaatkan pada potensi jasa lingkungannya berupa wisata, energi, air dan sebaginya.

Dimana TWAL dapat dimungkinkan adanya pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan wisata yang mengacu pada pada peraturan perundang-undagan yang berlaku UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) kemudian PP No. 28 tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (SKA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) serta Permen terkait dengan pemanfaatan potensi kawasan konservasi. (B)

 

Penulis : Murtaidin
Editor  : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini