Di pilkada serentak tahun 2017, PKS terbilang sukses. Partai ini berhasil memenangkan enam dari tujuh kabupaten/kota se-Sultra. Satu-satunya yang kalah hanyalah Bombana. Itu pun belum pasti karena proses hukum di Mahkamah Konstitusi sedang berjalan.
Prestasi tertinggi PKS di pilkada serentak kali ini adalah mendudukkan kadernya sebagai calon wakil walikota. Sisanya, PKS hanya merupakan partai pengusung tanpa ada kader sebagai kandidat baik sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
Pasca Pilkada 2017, PKS menatap pemilihan gubernur, di samping beberapa kabupaten/kota yang juga berpilkada. Tapi kita akan fokus pada pilgub. Di DPRD Sultra, PKS punya lima kursi. Butuh empat kursi untuk bisa mengusung satu pasangan calon. Dengan demikian, skenarionya ada dua.
Pertama, PKS sebagai motor pendukung. Apa artinya? PKS akan menjalin koalisi dengan partai yang kursi atau perolehan suara pemilunya lebih sedikit daripada mereka. Konsekuensinya, sebagai pilar utama, PKS setidaknya mendorong kader sendiri. Rasanya, “rugi” banget PKS kalau mengusung orang lain sementara mereka adalah aktor paling penting.
Kedua, PKS sebagai “turut mendukung”. Skenario ini akan membuat PKS menjalin koalisi dengan partai lain yang kursi atau suaranya di atas mereka. Meski posisinya kurang enak terdengar, tapi nilai tawarnya tinggi karena jumlah kursi yang dimiliki mereka besar. Dengan demikian, cukup berkoalisi dengan satu partai saja, PKS sudah bisa mengusung pasangan calon. Bahkan dengan partai yang perolehan kursinya sama sekalipun.
PKS adalah mitra strategis. Ada beberapa kelebihan PKS dibanding partai-partai peraih suara/kursi terbesar di DPRD Sultra seperti PAN, Golkar, Demokrat, PDIP, dan Gerindra. Satu-satunya partai dengan pola kaderisasi yang sistematis dan terstruktur adalah PKS. Mereka berangkat dari komunitas kajian keagamaan.
Karenanya, wajah politisi PKS agak khas dan eksklusif. Rotasi kaderisasi berjalan cepat. Mereka mayoritas dari kalangan muda. Punya energi dan militansi yang besar. Mereka memiliki pemahaman agama yang kuat. Persoalan-persoalan partai terselesaikan tanpa harus gaduh-gaduhan ke publik. Kader-kadernya loyal karena ideologi yang mengikatnya adalah agama. Yang memiliki niat mbalelo, diperhadapkan pada ajaran-ajaran agama.
Akibatnya, PKS susah menerima politisi yang “lompat pagar”. PKS mungkin sih enjoy-enjoy saja menerima. Tapi politisi pelompat pagar itu yang merasa tak mampu beradaptasi dengan “kehidupan” di PKS. Di sisi lain, kader PKS leluasa pindah partai kemana saja dia mau –kalau dia mau.
Kekhasan PKS ini bukan tanpa kelemahan. PKS menjadi partai yang sulit untuk mencari figur dominan. Rotasi kaderisasi yang berjalan cepat mengakibatkan tidak ada kader yang benar-benar mengakar sebagai ikon dari partainya.
Sebut misalnya di PAN ada Nur Alam, Asrun, atau Umar Samiun. Di Golkar ada Ridwan Bae. PDIP ada Hugua. Demokrat ada Muhammad Endang. Di partai-partai itu selalu ada figur yang berpotensi dijual.
PKS tidak punya ikon. Musadar Mappasomba yang memiliki potensi besar harus ikhlas memberikan kesempatan kepada yuniornya untuk masuk ke lingkar kekuasaan. Bukan soal karena Musadar tidak mampu atau Sulkarnain yang lebih hebat. Tapi lebih pada sistem di PKS yang perputaran kadernya sangat cepat.
Ketua partai bukanlah figur yang sangat populer. Muhammad Poli dan Sulkhoni bukan tokoh-tokoh yang begitu lekat di benak publik. PKS juga dapat menurunkan “level” kadernya, yang dulunya sebagai ketua menjadi pengurus biasa. Salah satu contohnya, Ketua PKS Sultra Suharman (yang menjabat tahun 2000-2002) kini menjadi ketua bidang kaderisasi di era kepemimpinan Sulkhoni.
Sistem inilah yang membuat PKS tidak pernah memiliki kader yang benar-benar punya elektabilitas kuat untuk dicalonkan di kancah pilkada. Yaudu Salam Adjo (Pilkada Buton 2011) dan La Pili (Pilkada Muna 2015) merupakan kader-kader PKS yang ketokohannya masih tanggung untuk menjadi pucuk pimpinan di daerah.
Di pemilihan gubernur, PKS akan kembali kesulitan menginventarisir kadernya yang potensial untuk diusung sebagai kandidat, bahkan untuk calon wakil gubernur sekalipun. Kader-kader terpopulernya, Musadar Mappasomba, Muhammad Poli, La Pili, Sulkarnain, Sulkhoni, Yaudu Salam Adjo, Abu Bakar Lagu. Semua nama itu belum ada yang menyebut atau disebut sebagai kandidat gubernur atau wakil gubernur.
Tetapi secara “kolektif kolegial”, PKS adalah jawara. Mereka sudah membuktikannya di Pilkada 2017. Sebagai partai pengusung, PKS adalah raksasa. Mereka akan selalu ditimang dan ditimbang meski tanpa mahkota.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial