ZONASULTRA.COM, KENDARI – Proses pembuatan rancangan peraturan daerah (Raperda) inisiatif DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) dinilai bermasalah dan penuh “dosa”. Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) Joni Syamsuddin dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Salah satu anggota Balegda DPRD Sultra Syahrul Beddu mengungkapkan, Joni Syamsuddin tidak faham dengan proses terbentuknya sebuah perda dan terlalu ngotot mengejar kuantitas perda. Mekanisme pembuatan raperda inisiatif itu inprosedural karena tanpa sepengetahuan anggota balegda dan berbagai kekeliruan lainnya.
Dalam perjalannya pun, lanjutnya, raperda inisiatif tersebut tidak pernah diseminarkan dan hanya melalui Forum Grup Discussion (FGD). Syahrul menegaskan bahwa seminar awal dan hasil dari sebuah raperda mutlak harus diadakan untuk mempelajari naskah akademiknya, sementara FGD bukanlah rangkaian seminar.
”Jadi sampaikan pada ketua balegda, salah dia itu jika menyamakan FGD dengan seminar. Yang jadi pertanyaan kenapa raperda inisiatif itu tidak diseminarkan? Apakah tidak ada anggaran, atau ada pembicaraan awal antara sekretariat, tim ahli, dengan ketua balegda,” kata Syahrul di Sekretariat DPRD Provinsi Sultra, Senin (22/6/2015).
Syahrul mengungkapkan, tim ahli dan ketua balegda terburu-buru menggelar FGD. Akibatnya, pada saat berlangsung FGD banyak ditemukan plagiat. Parahnya pada saat digelar FGD kopian raperda tidak dibagikan kepada para peserta.
Selama ini, kata Syahrul, Joni Syamsuddin hanya melepas pernyataan provokatif di media dengan menyebut ada anggota dewan yang tidak puas soal bagi-bagi jatah dari pembuatan raperda. Hal itu menurutnya harus dibuktikan dan yang harus diprioritaskan Joni adalah penerimaan publik terhadap perda yang dibuat tersebut.
Untuk diketahui, dalam draf raperda tata niaga perkebunan sawit, pada ketentuan umum poin 31 ditemukan tulisan Suku Dayak. Hampir semua lembaran yang disodorkan para akademisi dari tim ahli mirip dengan perda yang dibuat Pemerintah Kalimantan Tengah Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Hasil Perkebunan Berkelanjutan.
Adapun anggaran tiap raperda dibanderol Rp 50 juta. Jadi untuk lima raperda inisiatif dananya Rp 250 juta (dibahas baru empat raperda). Lima raperda inisiatif tersebut adalah tentang biaya transportasi lokal bagi jamaah haji, pengoperasian kendaraan non DT di Sultra, tata niaga perkebunan sawit, pengelolaan limbah yang bernilai ekonomis dan perubahan atas Perda Nomor 2 tahun 2010 tentang Pemanfaatan Aspal Buton untuk Pemeliharaan Jalan di Sultra.