ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Bagi masyarakat suku tolaki di Kabupaten Konawe Utara, Mosehe Wonua memiliki nilai historis tersendiri. Seluruh masyarakat suku tolaki mengartikan “Mosehe Wonua” dapat menghilangkan segala kesialan serta menghapus dosa-dosa yang pernah diperbuat. Baik itu kesalahan pemimpin maupun kesalahan masyarakatnya.
Berdasarkan keputusan panitia penobatan dan pengukuhan pengurus lembaga kerabatan adat kerajaan tolaki Nomor : 03/kpps/pandep/lkat/V Tahun 2015 yang menetapkan Kabupaten Konawe Utara adalah salah satu dari pada kabupaten yang dinobatkan atau ditugaskan untuk melaksanakan upacara adat mosehe sebagai bagian dari pelaksanaan upacara adat tolaki yang harus dijunjung tinggi secara bersama-sama.
“Konotasi Mosehe itu adalah tolak bala dari segala perbuatan yang telah kita lakukan,” kata Sudiro.
Seperti yang dilakukan suku tolaki di Kabupaten Konawe Utara (Konut), percaya atau tidak. Setelah Mosehe Wonua dilakukan di Kecamatan Oheo yang digagas oleh Forum Percepatan Pemekaran Kabupaten Konut dan Wakil Bupati, Ruksamin beberapa waktu lalu. Daerah yang boleh dibilang sudah sekian bulan dilanda musim kemarau, tiba-tiba hanya berselang sejam pasca selesainya acara upacara adat Mosehe Wonua. Terik matahari yang menyengat berubah menjadi mendung dan hujanpun turun.
Anggota Dewan Fakar Lembaga Adat Tolaki Sultra yang melakukan upacara adat Mosehe Wonua, Arsamid menuturkan jika upacara adat Mosehe Wonua bagi suku tolaki harus terus dilestarikan hingga anak cucu bangsa. Upacara adat Mosehe merupakan kegiatan wajib bagi suku tolaki untuk menjaga kelestarian adat suku tolaki.
“Upacara adat Mosehe Wonua bermakna untuk penyucian seluruh wilayah negeri Konawe Utara serta menolak bala dari besar maupun kecil dari murka seruh sekalian alam dari ulah manusia itu sendiri,” urai Arsamid
Diketahui, wilayah Konut sebelumnya pernah ditinggalkan oleh penghuninya, disebapkan banyaknya kerusakan-kerusakan alam sehingga meyoritas tatakrama penghuni wilayah jadi terabaikan. Baik adat istiadat, perburuan maupun bidang pertanian khususnya pergaulan sudah banyak bergeser yang telah digariskan oleh leluhur suku tolaki.
Tolak bala Mosehe Wonua merupakan jembatan penghubung untuk dijadikan doa permohonan kepada Ilahi Rabbi agar segala perbuatan dan dosa penduduk seluruh anak negeri mendapatkan pengampunan untuk kemaslahatan masa yang akan datang.
Pada upacara adat Mosehe Wonua disiapkan bahan-bahan seperti daun sirih, kapur sirih yang ditempatkan diatas tapis dan ditutup daun pisang. Upacara adat Mosehe Wonua ditutup dengan penyembelihan seokor ternak yang yakini sebagai pelengkap uapacara adat. Ketika seekor ternak hendak akan disembelih oleh tokoh adat Mosehe Wonua, semua masyarakat yang hadir saling berpengangan satu sama lain dengan makna pemersatu untuk menghapus semua dosa-dosa.
Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan inilah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang.
Mosehe Wonua adalah suatu tradisi suku Mekongga yang dilaksanakan secara besar-besaran, ramai dan penuh hikmat sakral sehingga diharapkan masyarakat ikut terlibat didalamnya termasuk seluruh utusan yang mewakili negerinya (daerah) masing-masing dari seluruh kerajaan mekongga bahkan tokoh adat, masyarakat, agamawan, pemerintah sipil maupun militer akan larut bersama dalam pesta prosesi upacara mosehe wonua.
Mosehe berasal dari bahasa Mekongga yg terdiri dari dua suku kata yaitu, MO yang berarti melakukan sesuatu dan SEHE yang berarti suci. Jadi mosehe adalah penyucian negeri. Kalau bahasa tolaki mosehe berarti perkelahian.
Mosehe Wonua merupakan adat tradisi suku Mekongga, suatu upacara ritual yang telah berlangsung sejak abad XIII pada zaman pemerintahan raja Larumbalangi, yang kemudian diikuti oleh raja-raja mekongga berikutnya. Seperti, raja Rumbalasa, setelah usai perang melawan kerajaan konawe.
Setelah berdamai dua kerajaan tersebut melakukan upacara ritual Mosehe bersama-sama, sehingga kedua kerajaan sepakat untuk menikahkan putra putri mereka, yaitu Sangia Lombo-Lombo adalah putra dari raja Larumbalasa, mempersunting Wungabee putri dari Buburanda Saa I Wawolatoma. Sangia Lombo-Lombo juga pernah melaksanakan mosehe wonua, yaitu pada saat terjadinya peristiwa koloimba.
Pada awal abad XVII Sangia Nilulo (Toberambe) juga mengadakan upacara ritual Mosehe Wonua, setelah sembuh dari sakit yang berkepanjangan dan disinilah awalnya Mosehe Wonua dipadukan dengan Lulo Sangia.
Mosehe Wonua dan Sejarah Masuknya Islam
Sebelum masuknya agama islam di kerajaan Mekongga pada akhir abad XVII yang dibawa oleh Opu Daeng Masaro, masyarakat suku Mekongga pada masa itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan terhadap benda-benda yg mengandung roh serta memuja terhadap barang-barang kuno, sehingga manifestasi dari kepercayaan tersebut membuat masyarakat suku mekongga pada masa lampau mengenal adanya 3 dewa (Sangia) yg mempunyai etventis tersendiri antara lain, Sangia Mbuu yg dikenal sebagai pencipta bumi dan isinya. Sangia Nduu, sebagai pemelihara bumi dan isinya. Sangia Molowo, sebagai pemusnah dan penghancur.
Upacara adat “Mosehe Wonua” (penyucian negeri/kampung) sebagai kepercayaan tradisi leluhur masyarakat Mekongga merupakan suatu ritual yang diperkirakan telah berlangsung secara turun-temurun sejak abad ke-XIII sebagai bentuk penghormatan terhadap para dewa (Sangia).
Untuk menghindari kemurkaan para dewa tersebut mereka mengadakan upacara adat Mosehe Wonua, dengan harapan mereka bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa (Ombu) berkenan menerima upacara Mosehe Wonua ini bagi kepentingan keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.
Akan tetapi pada sekitar akhir abad ke-XVII, daerah Mekongga mendapat pengaruh yang besar dari agama Islam. Masuknya pengaruh Islam ke daerah Mekongga sangat mempengaruhi budaya Mosehe Wonua yang mana budaya tersebut mengalami perubahan dimana mosehe Wonua sudah menjadi bernuansa Islami.
Orang Tolaki berbicara dalam bahasa Tolaki. Bahasa Tolaki merupakan cabang dari bahasa Austronesia, dan masih berkerabat dengan bahasa Mekongga. Budaya dan bahasa Tolaki memiliki banyak persamaan dengan budaya dan bahasa Mekongga. Kemungkinan antara suku Tolaki dan suku Mekongga masih terdapat kekerabatan dari sejarah asal-usul di masa lalu.
Ketua Forum Percepatan Pemekaran Kabupaten Konut sekaligus sebagai Anggota Lembaga Adat Tolaki Sultra, Hamid Basir menyimpulkan inti dari Mosehe Wonua adalah perdamaian dengan maksud mensucikan diri dari segala perbuatan yang dilarang.
Dalam adat suku tolaki sendiri, Mosehe tidak hanya dilakukan untuk menolak bala. Namun, konteks Mosehe dapat dilaksanakan dalam bentuk mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh sang pencipta. Diantaranya, syukuran pasca selesai panen hasil-hasil pertanian maupun perkebunan.
Penulis : Murtaidin
Editor : Kiki