Tanggal 20 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Anak Sedunia. Berdasarkan sejarahnya, Hari Anak Sedunia pertama kali dicetuskan pada 1954 dengan tujuan untuk mengkampanyekan kesadaran di antara anak-anak di seluruh dunia dan meningkatkan kesejahteraan anak.
Selanjutnya, tanggal 20 November 1959, Majelis Umum PBB membuat Deklarasi Hak-Hak Anak. Kemudian, pada tanggal 20 November tahun 1989, Majelis Umum PBB mendeklaraasikan Konvensi Hak-Hak Anak. Maka sejak 1990, Hari Anak Sedunia juga menjadi peringatan bagi Majelis Umum PBB saat mengadopsi Deklarasi dan Konvensi tentang hak-hak anak.
Tahun ini, peringatan Hari Anak Sedunia menandai peringatan 30 tahun Konvensi Hak Anak. Dalam peringatan ini, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres menyampaikan sejumlah pesan pada negara-negara di dunia untuk benar-benar memaknai Hari Anak dan mewujudkan kesejahteraan anak di dunia. Menurut Gutteres, semua negara mengakui keunikan anak-anak, dan berjanji untuk memberi mereka makanan, perawatan kesehatan, pendidikan dan perlindungan. Sejak itu, Gutteres melanjutkan, kemajuan telah dibuat. Kematian anak-anak telah turun lebih dari setengah dan stunting global juga telah menurun.
Akan tetapi, hingga saat ini jutaan anak masih menjadi korban perang, kemiskinan, mendapat diskriminasi dan penyakit. Menurut data UNESCO dalam laporan 2017-18 Global Education Monitoring Report, jumlah anak yang tak mendapat akses pendidikan mencapai 246 juta. Sebanyak 650 juta perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun dan diperkirakan 1 dari 4 anak hidup di wilayah yang minim sumber air bersih pada tahun 2040.
Executif Director UNICEF Henrietta H Fore memaparkan beberapa permasalahan utama yang dihadapi anak-anak saat ini dan di masa depan. Pertama permasalahan pemenuhan akan air bersih, udara yang bersih dan iklim yang aman. Hampir setengah juta anak-anak hidup di wilayah dengan potensi banjir. Pada 2017 sekitar 300 juta anak tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara luar yang paling beracun dan berkontribusi terhadap kematian sekitar 600.000 anak di bawah usia 5 tahun.
Kedua, satu dari empat anak hidup dan belajar di wilayah konflik. Menurut UNICEF, 75 juta anak dan remaja menjadi dampak dari konflik dan bencana alam sehingga mengganggu aktivitas pendidikannya.
Ketiga, masalah kesehatan mental pada anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 62.000 remaja meninggal pada tahun 2016 karena melukai diri sendiri, yang sekarang menjadi penyebab utama kematian bagi remaja berusia 15-19 tahun. WHO memperkirakan lebih dari 90 persen kasus bunuh diri remaja di tahun 2016 terjadi di negara berpenghasilan rendah atau menengah.
Selain itu, anak juga dibayangi dengan tingginya angka kasus kekerasan, baik yang dilakukan oleh orang tua, keluarga, atau lingkungannya. Masif akses media secara daring turut membuat anak terpapar pornografi, kecanduan game, pergaulan bebas, meniru tindakan kriminal, dll.
Sederet permasalahan yang menimpa anak tentu bukan tanpa sebab. Terdapat kompleksitas hubungan antara keluarga, lingkungan, dan negara di dalamnya. Terlihat, fungsi keluarga sebagai madrasah pertama anak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Entah karena orang tua stres akibat tekanan ekonomi, ataupun lalai mendidik anak karena terlalu sibuk.
Setali tiga uang, kontrol masyarakat juga tidak bersinergi dengan baik. Publik cenderung apatis dan sekuler. Sedangkan sekolah, cenderung bersandar pada orientasi transfer teori, bukan transfer nilai. Pun, negara bertindak demikian untuk hal-hal yang dianggap masuk ke ranah privat. Misal, tidak ada pengaturan secara tegas tentang pergaulan laki-laki dan perempuan, baik untuk anak maupun orang dewasa. Akibatnya, celah pintu kemaksiatan semakin terbuka lebar.
Padahal, dalam Islam, hak dan keberadaan anak sangat diperhatikan. Hak-hak anak tersebut di antaranya, pertama, hak untuk mendapatkan perlindungan. Anak-anak harus dilindungi keberadaannya. Kelahirannya harus disambut dengan riang dan dijauhkan dari segala bahaya dan ancaman.
Kedua, hak untuk hidup dan bertumbuh kembang. Allah SWT berfirman, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS al-Baqarah [2]: 233). Sejak masih dalam kandungan, anak sudah harus diasupi gizi yang terbaik agar kelak ketika lahir dapat berjalan normal. Pun, harus diberikan ASI agar pertumbuhan dan perkembangannya optimal.
Ketiga, hak mendapatkan pendidikan. Ketika anak terus tumbuh dan berkembang, tahap selanjutnya mereka harus diberikan pendidikan yang terbaik, terutama tentang penanaman nilai budi pekerti dan akhlakul karimah. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada pemberian seorang ayah yang lebih baik, selain dari budi pekerti yang luhur.” (HR at-Tirmizi). orang tua adalah cerminan anak. Orang tualah yang akan menjadi guru pertama anak ketika di rumah. Orang tua yang harus lebih awal memberikan keteladanan kepada anaknya.
Keempat, hak mendapatkan nafkah dan waris. Untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, anak-anak butuh banyak keperluan. Orang tua wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Dan kelak, orang tua juga dapat memberikan warisan kepada anak-anaknya dengan adil. Nabi SAW bersabda, “Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mengajarkan sopan santun, mengajari menulis, berenang dan memanah, memberikan nafkah yang baik dan halal, dan mengawinkannya bila saatnya tiba.” (HR Hakim).
Kelima, hak mendapatkan perlakuan setara (tidak diskriminatif). Semua anak yang lahir ke dunia ini adalah mulia, baik perempuan maupun laki-laki. Karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi hak hidup dan hak mendapatkan perlakuan setara antara anak perempuan dan laki-laki.
Nabi SAW bersabda, “Samakanlah anak-anakmu dalam hal pemberian. Jika kamu hendak melebihkan salah seorang di antara mereka, lebihkanlah pemberian itu kepada anak-anak perempuan.” (HR at-Tabrani).
Sehingga, jika hak-hak anak terpenuhi secara maksimal, tidak perlu ada balada senja kala pada potret kehidupan anak. Tentunya, perlu peran optimal dan bersinergi dari keluarga, masyarakat, dan negara. Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis Merupakan Praktisi Pendidikan Konawe