Beberapa waktu yang lalu, sempat mengegerkan publik atas dugaan pencabulan oleh seorang pejabat daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana penelusuran Penulis melalui media mainstream, berita yang diterbitkan oleh CNN yang berjudul “Wakil Bupati Buton Utara Jadi Tersangka Pencabulan Anak tertanggal 23 Desember 2019”. Berdasarkan berita tersebut, korban yang berusia 14 tahun telah mengalami perbuatan cabul oleh Wakil Bupati Buton Utara Ramadio yang dilakukannya sebanyak dua kali berdasarkan keterangan korban yang terjadi pada pertangahan Juni sebelum dan sesudah lebaran. Dimana hal itu terjadi ketika korban diperkenalkan oleh seorang berinisial P kepada Wakil Bupati Buton Utara Ramadio. Dan setelah perkenalan itu, pencabulan dilakukan di rumah pelaku, hingga akhirnya kasus tersebut sampai di telinga orang tua korban. Tepat tanggal 26 September 2019 orang tua korban melaporkan kasus ini ke Polsek Bonegunu.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, beberapa hari kemudian polisi menangkap P dan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perdagangan atau eksploitasi anak. Dalam perkembangannya kemudian, atas kasus tersebut pelaku lain dalam hal ini Wakil Bupati Buton Utara Ramadio juga turut ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 17 Desember 2019.
Sejauh penelusuran Penulis, bahwa sampai dengan saat ini polisi belum melakukan pemeriksaan terhadap Wakil Bupati Buton Utara Ramadio sebagai tersangka. Dan rencananya, polisi akan menyurat lebih dulu ke Kementrian Dalam Negeri untuk meminta izin dilakukan pemeriksaan terhadap Ramadio. Hal ini kemudian terkonfirmasi didalam berita yang dilansir oleh Zonasultra.com tertanggal 24 Desember 2019 yang berjudul “Wabub Butur Jadi Tersangka Pencabulan Anak, Polisi Surati Mendagri Untuk Pemeriksaan”.
Izin Mendagri Dalam Proses Pemeriksaan
Pemberian izin dalam proses hukum kepada pejabat negara telah diatur didalam beberapa perundang-undangan. Bagi para kepala daerah yang terjerat kasus hukum, diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 90 ayat (1) yang berbunyi “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.”
Dari rumusan Pasal a quo dapat diketengahkan bahwa terdapat dua perbedaan persetujuan tertulis yang dapat diajukan, yakni bila proses hukum itu melibatkan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur maka memerlukan persetujuan dari Presiden. Berbeda halnya bila yang menjalani proses hukum adalah Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota maka memerlukan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Mencermati rumusan pasal a quo, frasa “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” memberikan implikasi tersendiri pada rana praktis yakni pertama, apakah untuk memulai penyidikan harus memerlukan persetujuan tertulis kepada Presiden atau Mendagri terlebih dahulu ataukah tidak. Kedua, apakah persetujuan tersebut diperlukan hanya dalam rangka tindakan penahanan saja. Sedangkan penjelasan atas Pasal 90 didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berbunyi “cukup jelas”.
Menurut Penulis sendiri mencermati Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak bisa dilihat secara letterlijk saja, tetapi harus dilihat secara menyeluruh-sistematis. Bila dilihat secara letterlijk saja maka frasa “tindakan penyidikan yang dilanjutkan penahanan” menunjukkan bahwa dalam hal penahanan membutuhkan tindakan pendahuluan berupa penyidikan dan ditetapkannya seseorang sebagai tersangka, namun dalam hal penyidikan yang mengarah kepada penahanan itu membutuhkan adanya izin Presiden atau Mendagri. Hal ini dapat diketahui dengan kata penghubung “dilanjutkan”.
Berbeda hal bila melihat Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah secara menyeluruh-sistematis. Dengan melihat undang-undang sebelum Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, didalam Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi “tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepada daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Selanjutnya, jika telah dilakukan penyelidikan atau penyidikan dan penyidik memandang perlu dilakukan penahanan, maka untuk dilakukannya penahanan itu harus dimintakan persetujuan kembali dari Presiden (vide Pasal 36 ayat (3))
Konstruksi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menunjukan adanya permintaan persetujuan dari Presiden terhadap dua bentuk tindakan yang berbeda, yakni pada saat akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan, dan pada saat akan dilakukan penahanan. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak menggunakan frasa “tindakan penyelidikan dan penyidikan” tetapi menyebut “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan”
Secara teleologis, menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, terhadap “penyelidikan dan penyidikan” tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Lebih lanjut, perlu juga diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dibuat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah atau pejabat mana pun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para Kepala Daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara a quo, antara lain menyatakan bahwa Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan “tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Secara logis dapat dikonstruksikan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) yang menyebutkan “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan” harus ditafsirkan bahwa persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri hanya diperlukan jika akan dilakukan penahanan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota, sedangkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur atau Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota yang belum berupa penahanan maka tidak memerlukan adanya persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Presiden atau Menteri Dalam Negeri.
Lebih jauh, prosedur khusus berupa “izin pemeriksaan” tidak sesuai atau bertentangan dengan asas equality before the law atau asas kedudukan persamaan dihadapan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
In casu a quo, menurut Penulis tindakan pemeriksaan terhadap Wakil Bupati Buton Utara Ramadio sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur secara mutatis-mutandis tidak memerlukan persetujuan tertulis oleh Menteri Dalam Negeri sebagaimana dijelaskan oleh Kapolres Muna selaku pihak yang melakukan pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Sebab, undang-undang a quo dimaksudkan hanya dalam tahap penahanan sebagaimana pula adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011.
Izin Mendagri Atas Proses Penahanan
Perlu untuk diketengahkan bahwa terdapat perbedaan diameteral antara proses penyidikan dan penahanan dalam hukum acara pidana. Penyidikan sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (vide Pasal 1 angka 2 KUHAP). Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (vide Pasal 1 angka 21 KUHAP). Dari apa yang jelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa penyidikan itu berupa upaya dalam hal mengumpulan bukti guna mencari tersangkanya, sedangkan penahanan substansinya adalah menempatkan seseorang ditempat tertentu yang oleh Andi Hamzah (2001:19) penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan.
Sebagai bentuk perampasan kemerdekaan, penahanan seperti halnya penangkapan pada prinsipnya bertentangan dengan hak kebebasan bergerak yang merupakan hak asasi yang harus dihormati. Oleh karena itu, demi kepentingan umum penahanan dapat dilakukan dengan persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut dapat dilihat pada alasan untuk melakukan penahanan. Alasan penahanan yang bersifat subjektif dan alasan penahanan yang objektif. Alasan penahanan yang subjektif yaitu alasan penahanan yang digantungkan pada pandangan atau penilaian pejabat yang menahan terhadap tersangka/terdakwa. Alasan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dimana pejabat yang berwenang menahan dapat menahan tersangka/terdakwa apabila menurut penilaiannya si tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan mengulangi tindak pidana.
Selain alasan penahanan yang bersifat subjektif, juga mengatur alasan penahanan yang bersifat objektif dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Alasan penahanan objektif yaitu alasan penahanan yang didasarkan pada jenis tindak pidana apa yang dikenakan penahanan. Dari alasan objektif ini jelas bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Adapun tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan yaitu tindak pidana yang ancaman pidananya maksimal 5 tahun ke atas serta tindak pidana sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (4) sub d.
Maka berdasarkan hal tersebut, sebagaimana pasal yang disangkakan terhadap Wakil Bupati Buton Utara yakni Pasal 287 KUHP tentang Pencabulan dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan acaman 15 tahun penjara maka secara mutatis-mutandis memenuhi syarat objektifnya penahanan. Secara tidak langsung penyidik pun seharusnya harus mengkhawatirkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Wakil Bupati Buton dapat saja membuka peluang terjadinya kembali tindak pidana yang sama, atau dapat menghilangkan barang bukti ataupun melarikan diri. Sehingga selayaknya harus dilakukan penahanan menurut Penulis.
Disisi lain, dilakukan penahanan terhadap Wakil Bupati Buton Utara menurut Penulis tidak akan mengganggu sistem pemerintahan di daerah administrasi yang dipimpinnya. Sebab, bila mencemati Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dapat dikatakan bahwa fungsi Wakil Kepala Daerah hanya bersifat menggantikan apabila Kepala Daerah tidak dapat melakukan tugasnya dalam waktu yang sementara ataubahkan dalam waktu yang lama. Dalam praktiknya kekosongan Wakil Kepala Daerah di beberapa daerah di Indonesia tidak mengganggu proses pemerintahan di daerah tersebut misalnya saja DKI Jakarta.
In casu a quo, Penulis berpandangan bahwa dengan perlu adanya perizinan terhadap Menteri Dalam Negeri telah melanggar prinsip independent judiciary, karena kekuasaan kehakiman seharusnya merdeka dalam menyelenggarakan peradilan justru dibatasi dengan adanya ketentuan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Kepala Daerah atau Wakil kepala daerah yang berhadapan dengan proses hukum sehingga akan berpengaruh terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum dalam upaya menegakkan hukum. Tidak saja itu, dengan adanya izin tersebut tentu akan membuat proses hukum akan menjadi lebih lama dan berbelit-belit.
Disisi lain, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa adanya persetujuan tertulis oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri telah melanggar prinsip equlity before the law yang memberikan perlakuan istimewa kepada kepala daerah atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana dan harus menunggu persetujuan tertulis dari Presiden atau Mendagri untuk melakukan proses penahanan.
Oleh : Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Penulis merupakan Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo