Potret Beras Sachet

Hasni Tagili, M. Pd. Praktisi Pendidikan Konawe - Opini
Hasni Tagili

Perum Bulog baru-baru ini meluncurkan beras sachetan 200 gram. Rp 2.500 adalah harga yang dibanderol untuk setiap sachetnya. Beras tersebut akan dijual di koperasi hingga toko ritel. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, latar belakang menjual beras dengan ukuran sachet itu adalah untuk menjamin ketersediaan beras kepada masyarakat dan memberantas mafia beras. Karena dengan beras renceng ini mafia beras tidak bisa menimbunnya (Detiknews.com, 23/05/2018).

Menurut Buwas, satu sachet beras ini setara dengan tiga piring nasi. Hal tersebut telah dikonfirmasi oleh pihaknya. Sehingga, si konsumen bisa kenyang dalam sehari. Jadi kalau punya uang Rp 10.000, bisa dapat empat sachet.

Senada dengan hal itu, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Karyawan Gunarso menjelaskan, beras kemasan 200 gram tersebut ditujukan demi mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan beras secara murah dan praktis (TribunJakarta.com, 24/05/2018). Sehingga, Bulog sedang melakukan proses pembuatan beras sachet atau beras rencengan.

Karyawan berpendapat, beras kemasan 200 gram ini nantinya akan sangat ekonomis bagi masyarakat. Pun, dibuat dengan beras premium lokal. Nantinya, beras sachet akan didistribusikan ke warung-warung dan toko-toko kecil.

Lain halnya dengan Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso. Sutarto mengatakan, beras sachet belum menyentuh ke masyarakat bawah (Detikfinance.com, 25/05/2018). Menurut penilaiannya, pemerintah belum memprioritaskan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk masalah beras.

Ambil contoh, beras FS Tjipinang Melati Setra Ramos ukuran 5 kg, harganya dipatok Rp 59.000. Sementara beras sachet sebanyak 5 kg maka dihargai dengan Rp 62.500 (25 sachet dikali Rp 2.500). Artinya, untuk ukuran 5 kg, akan lebih hemat membeli beras karung. Uang yang bisa dihemat Rp 3.500.

Sedangkan bila dibandingkan membeli beras eceran yang premium, maka beras sachet lebih hemat Rp 300. Karena beras premium dipatok Rp 12.800/kg sedangkan beras sachet bila dibeli sebanyak 1 kg hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 12.500. Bahkan, bila dibandingkan dengan harga beras sachet yang dibeli sebanyak 1 kg seharga Rp 12.500, maka beras miskin (raskin) ukuran 1 kg hanya perlu mengeluarkan uang Rp 1.600.

Ya, beras adalah bahan makanan pokok bagi mayoritas rakyat Indonesia. Kebutuhan dasar ini menjadi komoditi yang sensitif tatkala bersinggungan dengan harga jualnya. Simalakama, bahkan, jika harganya sampai membubung tinggi. Membeli, kantong jadi cekak. Tidak beli, lambung yang tercekik.

Kondisi ini rupanya menjadi salah satu perhatian pemerintah. Mereka memikirkan alternatif lain guna menjamin keterjangkauan beras bagi masyarakat. Tapi benarkah demikian? Pasalnya, dalam potret beras sachet ini, pemerintah terkesan memposisikan diri sebagai pedagang.

Secara hitung-hitungan, harga beras sachet-an justru lebih mahal dari harga beras yang dijual per kg atau per 5 kg. Jika harga per 200 gram adalah Rp 2.500, maka untuk mendapatkan 1 kg beras, rakyat harus membayar Rp. 12.500. Ini tergolong mahal mengingat harga beras di pasaran sekitar Rp 10.000 per kg.

Fakta lain, bila dengan cara biasanya, masyarakat harus membeli beras dengan harga Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilonya. Kehadiran beras sachet dirasa malah memberatkan masyarakat. Pasalnya, jika dikonversi ke harga per kilo, jatuhnya lebih mahal. Satu sachet beras 200 gram harganya Rp 2.500. Maka jika satu kilo, membutuhkan empat sachet beras (Rp 2.500 x 4 = Rp 10.000). Padahal, harga beras dipasaran saat ini dijual dengan harga Rp 8.500/kg sampai Rp 9.500/kg.

Inilah yang terjadi ketika negera menerapkan sistem kapitalisme. Apa-apa diukur dengan standar manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan. Walhasil, hubungan yang terjadi antara penguasa dan rakyat, tak ubahnya hubungan penjual dan pembeli.

Padahal perlu digarisbawahi, dalam keamanan pangan, selain ketersediaan bahan pangan, hal yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan atau kemampuan mengakses bahan pangan. Sekedar tersedia tidak akan membuat masyarakat bebas dari kelaparan, karena tersedianya bahan pangan tapi tidak ditunjang kemampuan masyarakat untuk mengakses/mendapatakan bahan pangan tersebut, tetap saja membuat masyarakat kelaparan.

Ketersediaan pangan ini mencakup jumlah bahan pangan, berapa jumlah beredar yang riil diserap, dan berapa jumlah stok yang harus ada. Sedangkan keterjangkauan pangan mencakup kemampuan masyarakat mengakses atau mendapatkan bahan pangan (Mediaoposisi.com, 02/06/2018). Sehingga, dalam keterjangkauan ini, bukan sekedar harga yang murah. Karena, meskipun harga murah tapi masyarakat tidak mempu membeli, maka pangan tadi dapat dikatakan tidak terjangkau oleh masyarakat.

Keterjangkauan pangan ini, erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga dengan menyediakan beras murah juga harus dilengkapi dengan aspek yang lain, yakni aspek yang menjamin bahwa masyarakat mampu mengasesnya/membelinya. Tentunya hal ini akan terjadi bila masyarakat memiliki mata pencaharian. Selama masyarakat masih sulit mendapatkan pekerjaan, atau sulit mencari uang, selama itulah kebijakan ini akan menjadi ironi di negeri agraris ini.

Disisi lain, pengadaan beras sachet yang akan dipasok dari tiap daerah menafikan harga yang berbeda dengan kebijakan satu harga. Karena pada faktanya beras premium lokal memiliki harga yang cenderung lebih mahal. Bahkan petani tidak perlu menjual beras premium mereka kepada Bulog, karena konsumen bersedia membayar lebih mahal, sebagai contoh beras mayas di kaliman timur, memiliki harga yang senantiasa lebih mahal dibanding beras Ir.64 atau Ciherang.

Sehingga kalaupun kemudian terdapat beras sachet, kemungkinan isinya tidak berbeda dengan beras biasa yang di jual masyarakat sekitar. Selain pasokan beras, yang perlu dipertimbangkan berikutnya adalah biaya tata niaganya. Biaya untuk mengemas dan margin untuk tiap lembaga pemasarannya. Sehingga, satu harga untuk beras sachet ini menjadi sulit untuk diwujudkan. Ya, beras sachet ini benar-benar balada.

Berbeda dengan Islam. Untuk persoalan pangan, Islam memberi jaminan dengan tetap membiarkan keberagaman pangan. Tidak diperlukan penyeragaman pangan dengan satu komoditas tertentu. Perbedaan jenis pangan adalah hal yang alamiah.

Kemudian, Islam juga menjamin tiap pria memiliki mata pencaharian. Sehingga, masyarakat juga mampu mengakses bahan pangan dan hal lainnya. Sebagaimana Rasulullah pernah memberikan kapak kepada seorang sahabat agar ia dapat mencari kayu dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Belum lagi, pemimpin di dalam Islam diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Sebagaimana Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah. Beliau sering berkeliling untuk memastikan bahwa setiap rakyatnya tercukupi kebutuhan pokoknya.

Tak kalah penting, Islam juga memiliki aturan paripurna terkait ekonomi. Sistem ekonomi dalam Islam ditopang oleh APBN yang kuat dengan sumber pemasukan dan pengalokasian dana yang sesuai syariah. Selain itu, sistem ekonomi Islam memandang bahwa Sumber Daya Alam adalah milik umat. Dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing.

Pun, peruntukkannya adalah bagi kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan segelintir orang Sehingga, urusan beras sachet bukan menjadi hubungan antara pedagang dan penjual. Melainkan tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Seorang imam (kepala negara/Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat.Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wallahu ‘alam bisshawab.

 


Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini