Kemitraan Konservasi Bagai Pisau Bermata Dua (Bagian I)

Benny Ermmyadi Purnama, S.Hut
Benny Ermmyadi Purnama, S.Hut

Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan pada berbagai kawasan konservasi termasuk didalamnya Taman Nasional memiliki bentuk dan konteks yang beragam serta bersifat lokal-sentris. Praktek-praktek yang umum terjadi adalah seperti dalam konsep pembagian wilayah dan pengelolaan sumberdaya hutan baik itu dilakukan secara komunal maupun individual.

Fakta yang terjadi dilapangan seringkali konsep-konsep tersebut sudah ada jauh sebelum diterapkannya pembagian wilayah secara administratif maupun ditetapkannya sebuah Taman Nasional oleh Negara melalui kementerian terkait dalam konteks saat ini yang berwenang adalah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK).

Kearifan tradisional itu sendiri, selain melahirkan berbagai istilah dan pengertian lokal dalam hal pengelolaan secara tradisional sumberdaya hutan, juga secara langsung mengatur regulasi yang sampai saat ini masih mencari bentuk untuk dapat diakui secara resmi namun isinya terkait langsung dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan pada komunitas tertentu yang pada akhirnya dapat menimbulkan bentuk-bentuk transaksi sederhana. Sayangnya sampai saat ini bentuk-bentuk kearifan tradisional masih belum banyak tersentuh oleh para pengambil keputusan baik itu pengelola Taman Nasional maupun Pemerintah Daerah setempat.

Meminjam istilah “state capture” dimana ada upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang, individu, maupun swasta yang bertujuan untuk mengambil keuntungan dengan cara mempengaruhi regulasi dan birokrasi formal, maka apabila dikaitkan dengan kearifan tradisional maka tujuan akhirnya akan bermuara pada hal yang sama yaitu keuntungan segelintir orang atau kelompok, perbedaannya terletak pada cara pencapaiannya dimana masyarakat tradisional tidak berupaya mempengaruhi regulasi formal yang sudah ada akan tetapi menggunakan sistem pengelolaan tradisionalnya yang selama ini memang belum terakomodir dengan baik dan tersentuh keberadaanya oleh pemerintah melalui peraturan formal.

“Another Form of State Capture”

Saya tertarik pada istilah “state capture” yang merujuk pada kelompok masyarakat lokal yang menggantungkan mata pencahariannya didalam dan sekitar kawasan konservasi seperti Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Cagar ALam (CA) Tangkoko di Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan secara langsung dilapangan pada dua lokasi berbeda yaitu kelompok Masyarakat Muara Lanowulu yang berada didalam kawasan TNRAW dan kelompok Masyarakat Batu Putih Bawah didalam kawasan Cagar Alam Tangkoko ditemukan praktek yang mirip dengan istilah “state capture” akan tetapi lebih terfokus kepada kepentingan individu daripada kelompok dalam masyarakat lokal itu sendiri serta bersifat de facto dimana individu dan atau kelompok masyarakat lokal tersebut menaati suatu kesepakatan seolah-olah ada hukum formal yang mengaturnya meskipun pada kenyataannya tidak ada, yang ada sebenarnya adalah aturan-aturan tidak tertulis yang bersumber dari kearifan tradisional masyarakat lokal itu sendiri.

Sebagai contoh, masyarakat Muara Lanowulu memanfaatkan udang rebon sebagai bahan dasar untuk membuat terasi menggunakan alat tangkap yang dirakit secara tradisional dan dipasang sepanjang anak sungai diwilayah Mangrove TNRAW dikenal dengan istilah Togo. Bahan dasar pembuatan Togo yaitu Kayu Tangir (Ceriops tagal) dan jaring ikan yang dimodifikasi (Gambar 1). Kepemilikan dan lokasi pemasangan Togo di blok hutan Mangrove adalah secara individu dan bisa diperjualbelikan dengan pihak lain dalam bentuk tunai. Hal menarik lainnya yaitu wilayah dimana alat Togo tersebut dipasang memiliki batas-batas wilayah yang disepakati secara komunal oleh kelompok Muara Lanowulu dan bisa disewakan kepada pihak lain. Praktik ekonomi sederhana ini sama seperti didalam istilah “state capture” akan tetapi dalam bentuk yang unregulated system dan seolah-olah ada hukum formal yang mengatur didalam komunitas tersebut.

Ketidakhadiran pemerintah dalam meregulasi dan mengatur praktek-praktek pengelolaan Togo termasuk didalamnya hubungan-hubungan yang menimbulkan biaya transaksi dalam memanfaatakan sumberdaya perairan didalam kawasan Mangrove TNRAW menjadi hal yang luput dari perhatian pengelola kawasan, padahal pada umumnya mereka sangat mendukung keberadaan TNRAW, hal ini dikarenakan keutuhan ekosistem Mangrove merupakan hal vital bagi keberlangsungan usaha mereka karena menjamin kelestarian jumlah udang rebon serta berbagai hasil ikutan lainnya seperti kepiting, kerang dan ikan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi masyarakat di Muara Lanowulu.

Sama halnya dengan Masyarakat di Muara Lanowulu, beberapa orang yang berasal dari Desa Batu Putih Bawah memanfaatkan Pohon Nira untuk dijadikan minuman lokal yang dikenal dengan sebutan Saguer dan atau Cap tikus (Gambar 3). Masing-masing orang memiliki sejumlah pohon dengan jumlah dan luasan tertentu didalam kawasan Cagar Alam Tangkoko dan diakui kepemilikannya oleh individu lainnya yang sama-sama memanfaatkan Pohon Nira tersebut.

Jelas sekali praktek-praktek dengan logika ekonomi sederhana baik di Muara Lanowulu maupun Cagar Alam Tangkoko hingga saat ini belum sama sekali terakomodir oleh regulasi yang seharusnya menjadi domain Pemerintah Daerah dan bahkan lebih jauh lagi sebaiknya menjadi perhatian Pemerintah Pusat dalam hal membuat kebijakan secara makro.

Memang saat ini KLHK sudah mencoba membuat terobosan dalam bentuk kemitraan konservasi untuk memfasilitasi praktik-prakik kearifan tradisional seperti Togo yang Saya istilahkan sebagai “another form of state capture”, hanya saja konsep kemitraan yang digagas dan tertuang dalam Peraturan Menteri Iingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.43/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam belum bisa secara optimal menjelaskan dengan terperinci mana bagian yang menjadi hak maupun kewajiban para pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan didalam kawasan Taman Nasional.

Selanjutnya masyarakat lokal sebagai subjek dalam pengembangan kemitraan konservasi belum diatur secara detail walaupun secara teknis sudah terakomodir didalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.16/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, padahal karakteristik masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya didalam kawasan konservasi sangat beragam baik dari segi latar belakang, sejarah pendudukan kawasan sampai dengan adat dan budayanya. Hal lainnya adalah konsep dan pemahaman yang masih beragam baik dari internal para pemangku kawasan maupun pihak eksternal seperti NGO dan Pemda serta masyarakat lokal itu sendiri menyebabkan implementasi kemitraan konservasi berjalan lambat dan dapat berujung pada bisnis konservasi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok terutama mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam hal permodalan. Kedua hal tersebut akan dibahas lebih lanjut pada tulisan Saya berikutnya dan penulis mengajukan dua hal yaitu konsep Transdiciplinary Knowledge dan Networking sebagai salah satu cara untuk bermitra dengan masyarakat lokal dalam hal pengelolaan kawasan konservasi secara lestari.

 

Oleh : Benny Ermmyadi Purnama, S.Hut,

Penulis adalah Kepala Seksi Wilayah II di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Penulis juga tergabung dalam MDevPrac Member of the Centre for Tropical Environmental and Sustainability Science (TESS) James Cook University – Australia

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini