Missing Readiness, Gagapnya Mentalitas Para Kades

Dodi Santoso Opini
Dodi Santoso., S.Sos., M.I.Pol

Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja  Daerah  kabupaten/kota  dan  digunakan  untuk  membiayai  penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya ke pada setiap desa berdasarkan  jumlah  desa  dengan  memperhatikan  jumlah  penduduk  (30%),  luas  wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Hasil perhitungan tersebut disesuaikan juga dengan tingkat kesulitan geografis masing-masing desa. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud di atas, bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya  langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN, dengan luasnya lingkup kewenangan Desa dan dalam rangka mengoptimalkan penggunaan  Dana  Desa,  maka  penggunaan  Dana  Desa  diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut  tetap  sejalan  dengan kewenangan  yang  menjadi  tanggungjawab  Desa. Jadi berdasarkan kronologi sejarahnya, Dana Desa merupakan “legacy” oleh Presiden SBY yang menginginkan Desa sebagai hulu dari pembangunan negara, karena selama ini Desa dianggap sebagai territorial tanpa gairah pembangunan. Paradigma pembangunan sentralistik di perkotaan sudah harus ditinggalkan, karena pembangunan bukan soal kemajuan, tapi soal pemerataan.

Niat baik dari paradigma pembangunan masa SBY, yang direalisasikan jaman Presiden Jokowi merupakan lompatan pembangunan yang baik dan harus diapresiasi banyak pihak, setiap stakeholder harus mendukung dan menyukseskan program ini, namun niat baik dan program baik tidak selama nya baik dan berjalan sukses ketika di aplikasikan di lapangan, banyak permasalahn yang terjadi dari program Dana Desa ini.

Berita tentang tertangkapnya para Kades (kepala desa) di berbagai daerah memang sudah menjadi rahasia publik dan sudah menjadi konsumsi umum, berikut beberapa contoh kasus dari program Dana Desa yang terjadi di berbagai daerah.

  1. Ada 2.470 desa di Aceh yang belum membuat pertanggungjawaban dana desa tahap/tahun sebelumnya sehingga, dana berikut yang penarikannya sudah jatuh tempo, tidak bisa dicairkan. Ada Rp 1,783 triliun dana desa untuk Aceh yang saat ini menggantung dan tak bisa dicairkan. http://aceh.tribunnews.com/2018/06/08
  2. Berdasarkan penelusuran pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kupang dari Januari 2017-April 2019, sebanyak 24 kepala desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti melakukan korupsi Dana Desa dan Aloksi Dana Desa (ADD). Akibatnya negara rugi hingga miliaran rupiah. https://kumparan.com/florespedia2019
  3. Pada Oktober 2017 saja, menurut Presiden Jokowi, dari sekitar 74.000 desa yang menerima Dana Desa, pada tahun tersebut ada kurang lebih 900 desa yang kepala desanya ditangkap karena menyelewengkan Dana Desa. https://cekfakta.tempo.co/fakta/115
  4. Kepala Desa di daerah Ogan Komering Ulu, menggunakan dana desa sebanyak 395 juta untuk keperluan pribadi nya dengan membeli mobil, berobat istri dan jalan-jalan ke luar negeri https://www.suara.com/news/2019/02/28/140548

Missing Readiness

Sebagian besar dari masalah Dana Desa adalah penyelewengan atau korupsi yang di lakukan oleh Kepala Desa itu sendiri, namun dibalik itu semua, tidak bisa disahlan sepenuhnya kepada sang empu nya Desa, ada faktor dan variabel lain yang bisa menyebabkan masalah tersebut. Pertama adalah masalah alur pemberian Dana Desa itu sendiri, dimana harus melewati Kabupaten terlebih dahulu, sehingga hal ini rawan terjadi pemotongan, hal ini juga yang dikeluhkan oleh para Kades bahwa dibeberapa daerah sebagian besar Dana Desa mengalami penyusutan, hal ini dikarenakan DAU (dana alokasi umum) dan DAK (dana alokasi khusus) memang harus melalui kabupaten. Perilaku demikian dapat berpotensi tindakan repetition atau pengulangan terhadap kepala desa itu sendiri.

Dari contoh-contoh permasalahan diatas faktor mentalitas agaknya menjadi perhatian khusus pemerintah pusat sebagai pemberi dana/bantuan, hal ini dikarenakan ada perubahan habits atau kebiasaan yang berubah dari paradigma bantuan Desa itu sendiri. Dimana sekarang, desa diberikan “kekuasaan” dan kewenangan untuk membangun secara otonom dengan adanya program ADD (alokasi dana desa). Dengan adanya ADD, Desa diberikan sebuah Block Grant keuangan, dimana jenis bantuan yang bersifat “gelondongan”, melihat besarnya dana yang masuk ke Desa, membuat Kepala Desa mengalami apa yang dimaksud Missing Readiness, hal ini – dalam istilah psikologi – merupakan kondisi mental seseorang yang tidak siap atau kurang tanggap dalam menyikapi sebuah situasi atau keadaan baru, dan menyebabkan terganggu nya kondisi mental dan kejiwaan. Sudah barang tentu adanya ADD, potensi untuk meningkatkan derajat sosial yang lebih tinggi atau social climbing seakan menjadi goals atau tujuan masing-masing kepala desa.

Pemerintah harus bisa merumuskan formula yang tepat dan komprehensif apabila ingin program ini sustainable dan sesuai dengan apa yang di cita-citakan awal mula program ini diluncurkan, instrumen pendukung program harus optimal, para pendamping yang berkompeten serta pengawasan yang ketat dan komprehensif menjadi kunci program ini terlaksana dengan baik.

 

Oleh Dodi Santoso
Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini