Istilah post-truth beberapa tahun kebelakang ramai kembali terdengar terutama pada tahun 2016 dimana kata ini (post-truth) menjadi word of the year pada tahun itu yang dinobatkan oleh Oxford Dictionary atau kamus oxford. Menurut kamus oxford diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Dalam kamus itu, istilah post-truth pertama kali ditemukan dalam sebuah esai tentang skandal Iran dan perang teluk, Steve tesich adalah orang menulis esai tersebut pada tahun 1992.
Steve Tesich menuliskan bahwa opini warga negara Amerika Serikat digiring melalui pernyataan emosial, bukan fakta sebenarnya. Dalam hal Perang Teluk Persia. Duta besar Amerika Serikat untuk Irak menyatakan secara tegas bahwa perang tak bisa dihindari dan mereka telah memperingatkan presiden Irak kala itu, Saddam Hussein agar tak melanggar integritas wilayah Kuwait. Lewat pernyataan tersebut, warga Amerika Serikat meyakini bahwa Perang Teluk Persia sebagai kebijakan paling tepat. dengan kata lain, post-truth adalah dalah di balik semua itu.
Secara sederhana, diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Contoh yang nyata adalah terpilihnya Donald Trumph menjadi presidea Amerika pada 2016 lalu, dalam kampanye nya Trumph sering menyerang dengan menyebar ancaman dan terror serta berita yang belum terbukti kebenaran nya, isu seperti ancaman warga muslim di AS yang dapat mengancam stabilitas, sehingga membuat paradigma sebagain besar warga AS mempercayai itu. Dalam karya Ken Willber, seorang “filsuf integral”, berjudul Trump and the Post-truth World (2017), post-truth dikaitkan dengan nihilisme, narsisme, skeptisime, dan post-modernisme, yang pada prinsipnya menolak kebenaran universal. Realitas dan kebenaran hanyalah persepsi atau terikat pada perspektif dan interpretasi individu. Juga, tidak ada kerangka moral dan kebajikan universal sebagai acuan bersama. Asumsi-asumsi filosofis itu menjadi dasar pijak operasi post-truth, baik dalam bentuk fake-news (berita bohong) maupun hoax (berita fakta yang dipelintir).
Post-truth di Indonesia
Indonesia juga tak luput dari serangan post-truth ini, beberapa tahun kebelakang (utamanya menjelang momen politik) masyarakat kita juga gencar akan fenomena post-truth ini. Seperti halnya tipe masyarakat Indonesia yang Gemeinschaft (paguyuban) yakti bersifat guyub, mengedepankan kekeluargaan dan faktor emosional dirasa memang cocok menjadi objek dari post-truth ini. Salah satu faktor yamg membuat post-truth ini berkembang dan cenderung disukai oleh kalangan tertentu adalah adanya adegium, “orang itu cenderung tidak mencari kebenaran, melainkan sesauatu yang cocok dengan keyakinan meskipun itu salah”. Konstruksi nalar manusia era post-truth ini sejatinya “unik” dalam hal mencari dan merumuskan kebenaran. Kebenaran sejati yang dimaksudkan dalam era post-truth tampaknya adalah kebenaran yang sesuai dengan emosi sosial. Artinya, sejauh sesuatu dianggap dapat menggerakkan emosi publik, sesuatu itu dapat dianggap sebagai kebenaran; tidak peduli lagi dari mana segala informasi itu berasal atau bagaimana informasi itu dimodifikasi sehingga bersifat “abu-abu” atau malahan berlawanan dengan fakta.
Post-truth itu tentunya tidak dapat berdiri sendiri, sebagai sebuah premis, tentu butuh premis lain nya untuk melengkapi sehingga dapat ditarik kesimpulan. Premis lain nya itu adalah berita hoax. Ada ungkapan yang menarik untuk menggambarkan tentang hoax ini atau biasa disebut berita/informasi yang belum terkonfirmasi, yaitu pernyataan dari Menteri Penerangan Jerman di era Nazi Paul Joseph Goebels , dia mengatakan ‘A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth’, sebuah kebohongan yang diucapkan sekali akan tetap menjadi kebohongan, tapi kebohongan yang diucapkan ribuan kali akan menjadi kebenaran. Dalam kaitanya dengan hoax dan post-truth, dalam hal ini hoax merupakan premis penting dalam membentuk oponi (leading opinion) sehingga dapat mengkonstruksi nilai dan arti sebuah kebenaran, dan disitulah post-truth bekerja.
Gejala post-truth tentunya tidak dapat di asosiasikan kepada lawan politik pada sebuah pemerintahan saja, gejala hoax dan post-truth juga hinggap di pemerintahan. Dalam upaya membentuk opini publik akan sauatu hal, pemerintah tentu harus “melancarkan” premis-premis kepada masyarakat yang ditayangkan berulang-ulang. Hal ini juga dilakukan oleh kubu yang berseberangan atau oposisi. Yang menjadi objek adalah masyarakat yang harus tersadar akan ekses dari fenomena ini, yaitu perpecahan diantara mereka
Oleh : Dodi Santoso
Penulis Merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo