Antara Presumption Of Innocence Dan Presumption Of Guilty

Indra Eka Putra
Indra Eka Putra, SH.,CPL

“Antara Presumption Of Innocence Dan Presumption Of Guilty”
(Dalam konsep idealitas penegakkan Hukum Pemilu pada Sentra Gakkumdu)

Dalam buku Herbert packer yang berjudul “The Limit  Of The Criminal Sanction” menyatakan bahwa ada 2 proses dalam hukum acara pidana yaitu criminal control model  yang selanjutnya penulis sebut (ccM) dan due process model yang selanjutnya disebut (dpM), dalam bacaan penulis setidaknya menemukan 3 (tiga) perbedaan dari dua model hukum acara pidana dalam tulisan Herbert packer tersebut, pertama; ccM  mengedepankan kecepatan dalam beracara (cepat dan biaya ringan) sedangkan dpM menolak kecepatan dalam beracara, kedua; ccM mengedepankan quantity atau jumlah/kecukupan alat bukti dalam pembuktian ( biasanya dalam praktek menganut asas unus testis nulus testis) sementara dpM mengedepankan quality atau kualitas alat bukti dalam pembuktian dan terakhir ccM mengedepankan presumption of guilty (atau praduga bersalah) sementara dpM mengedepankan presumption of innocence artinya kedua model hukum acara pidana yang berlaku didunia tersebut sangat kontras dengan rumus A menafikkan B  atau dengan kata lain A≠B, lalu bagaimana dengan kiblat hukum acara Indonesia melalui UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, banyak ahli pidana Indonesia menyatakan bahwa hukum acara pidana kita lebih condong kepada “Crime Control Model (ccM)” itu dapat dilihat dari pasal 1-284 KUHAP yang tidak ada yang menggunakan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence namun hanuya ada dipenjelasan umum butir 3 huruf c artinya jika kita arau para penegak hukum konsisten dengan model hukum acara yang kita pakai maka ciri crime control model adalah sebagai berikut;

  1. Mengedepankan kecepatan dalam beracara (cepat dan biaya ringan),
  2. Mengedepankan quantity atau jumlah/kecukupan alat bukti dalam pembuktian ( biasanya dalam praktek menganut asas unus testis nulus testis) dan
  3. Presumption of guilty bukan presumption of innocence, dalam kacamata ideal inilah mestinya para penegak hukum berpijak, konsisten dalam konsep dan penerapanya.

Faktanya dalam penegakkan hukum kita acapkali menemukan penerapan kedua model hukum acara tersebut diatas secara sungsang dan tak beraturan, bagaimana para penegak hukum dalam penerapan hukum acara kadang mencampur adukkan antara crime control model dan Due Process model misalnya jika meminjam istilah Prof. Andi hamzah dalam special delicten khsususnya dalam kasus pemilu tentang penerapan asas presumption of innocence dalam penanganan kasus pidana pemilu kadang menjadi dalih perdebatan dalam pembahasan perkara khsususnya dalam sentra hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) misalnya dalam pembahasan yang menentukan naik atau tidaknya sebuah kasus itu menggunakan dalih “kualitas alat bukti” terhadap segala bukti (kendati dalam kuantitas yang baik) yang diajukan oleh sentra gakkumdu dari unsur Badan Pengawas Pemilu, kita tahu bahwa bawaslu adalah satu bagian yang tak terpisahkan dengan unsur penyidik dari kepolisian dan penuntut Umum dari kejaksaan dalam wadah sentra gakkumdu tersebut namun pada proses dugaan sebuah tindak pidana pemilu bawaslu menjadi pintu pertama masuknya laporan dari masyarakat dan/atau temuan yang dihasilkan dari pengawasan melekat bawaslu secara kelembagaan, jika mengacu pada konsep awal tentang ccM maka semetinya apa yang dilakukan bawaslu telah tepat dalam “mainset’ hukum acara  pidana model crime control model tersebut, misalnya tentang kecepatan dalam beracara karena pada faktanya bawaslu hanya memiliki waktu yang sangat terbatas (tujuh hari, dan dalam pilkada hanya 5 hari) artinya memang apa yang dikonsep oleh perbawaslu telah sesuai dengan model hukum acara anutan kiita selama ini, ini dari konsep kecepatan.

Sementara dari konsep pembuktian atau alat bukti maka crime control model juga mengajukan kuantitas bukan berarti semua alat bukti yang diperoleh bawaslu selama ±7 hari tersebut tidak berkualitas namun memang menjadi sebuah keniscayaan diwaktu yang demikian singkat tersebut bawaslu secara kelembagaan mengambil pilihan menyiapkan sebanyak mungkin alat bukti untuk digunakan oleh penyidik atau dinilai oleh penuntut kemudian merekalah yang menyaring semua alat bukti tersebut dalam persepsi penyidikan atau penuntutan untuk mengambil alat bukti yang dianggap berkualitas tersebut dan pada narasi ideal memang tidak boleh ditolak diawal itu sama dengan menolak keniscayaan teori ccM yang disepakati diawal.

Sedangkan pada konteks model bertindak dengan menggunakan asas sebagai landasan tata nilai bagi penulis itulah mengapa kata “konsistensi” selalu saya ulangi karena focus kita pada landasan teori, konsep dan makna dengan tidak mencampur adukkan teori ccM dan dpM artinya asasnya, tata nilainya, atau tata lakunya adalah teori atau asas presumption of guilty atau praduga bersalah, maknanya adalah karena “bawaslu, penyidik dan penuntut itu berada dalam satu organisasi atau wadah bernama sentra gakkumdu yang tugasnya adalah membuktikan laporan dan/atau temuan yang telah diregistrasi oleh bawaslu dan dibahas dalam 1×24 jam oleh sentra gakkumdu, artinya syarat formil materil laporan telah disepakati bersama tinggal pembuktian unsure formil dan materil pasal dan itu tugas bersama serta prinsip bekerjannya mesti presumption of guilty bukan presumption of innocence”  mengapa demikian..? karena hemat penulis masyarakat akan membentuk persepsi sendiri bahwa gakkumdu yang menduga dan gakkumdu pula yang mementahkannya, kesan kedua akan terbentuk opini tentang ketidaktegasan, ketidakprofesionalan serta yang paling sadis adalah dugaan ‘bermain kasus’.

Ada yang menarik dalam asas hukum presumption of innocence yang sebenarnya bukan model ccM yang dianut olrh KUHAP misalnya dalam martin basiang itu menyatakan bahwa asas presumption of innocence tersbut adalah sekedar pretensi masyarakat atas semua sangkaan atau dugaan yang ditujukan kepada setiap orang karena karakter kemanusiaan itu sendiri yang lebih cenderung menganggap setiap orang adalah baik, martin basiang menjelaskan dalam padanan katanyaa sebagai “het voorshands als on bewezen of ongegrond beschouwen van stellingen of vorderingen van de tegenvartij, zonder dat men daaraan het odium verbint van opzettelijk voorwenden, onjuist weergeven”  yaitu yang didalihkan atau yang menjadi alasan dari masyarakat atas seseorang yang berpretensi mempunyai hak atas sesuatu atsas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya tentang suatu hal yang terjadi atau lay claim to pretention meskipun dalam padanan (Ing)nya berbunyi ‘The fundamental criminal law principle that a person cannot be convicted of a crime unless already proves guilt beyond reasonable doubt’ namun jika ditarik lebih jauh pemaknaan dalam bahasa inggrias tersebut ternyata padanan ini dimaksudkan dalam konteks system penegakkan hukum acara due process model bukan Crime Control model seperti kiblat hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang telah disebutkan diawal, artinya pengaturan asas presumption of innocence dalam padanan dan definsinya sebenranya bukan milik penegak hukum tetapi milik masyarakat dalam tata nilai buday tentang kecenderungan manusia yang lebih pada potensi kebaikan daripada kejahatan yang kedua bahwa presumption of innocence itu milik hakim dalam menilai sebuah perkara, karena hakim memang idealnya saat ‘sejak’ menangani sebuah perkara maka dia wajib pada posisi ‘NOL’ atau netral itulah mengapa haim dilarang Conflic Of Interrest atas kasus yang sedang ditangani beda halnya dengan penyidik dan penuntut bahkan bawaslu siapapun wajib diproses dalam rangka penegakkan Hukum Pemilu biaralah hakim yang memutus apakah orang atau subjek hukum yang disangkakan atau diduga oleh bawaslu bersalah atau tidak bukan kita (gakkumdu) diawal yang ragu terhadap terhadap proses yang dilakukan No One to make You Feel Inferior without your permission. Demikian

 


Oleh : Indra Eka Putra
Penulis adalah Koordinator Divisi Hukum Penindakan dan Penanganan Pelanggaran Bawaslu Konawe.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini