Pergaulan di kalangan remaja maupun orang dewasa seakan makin bebas. Budaya itu pula seolah dianggap lumrah di zaman yang makin modern ini. Apalagi banyaknya tontonan yang mengiring pada pemikiran tersebut. Mulai dari sekedar bermesraan dengan pasangan yang belum resminya sampai hubungan layaknya suami istri.
Seperti beberapa waktu lalu Young Lex menjadi perbincangan hangat di media sosial ketika mengunggah momen prosesi tujuh bulanan kehamilan kekasihnya, Eriska Nakesya di laman instagramnya. Tentu saja, foto tersebut sontak mengejutkan publik, pasalnya selama ini masyarakat tak pernah mendengar kabar pernikahan penyanyi bernama lengkap Samuel Alexander Pieter ini.
Seolah menjawab pertanyaan warganet, lewat channel Youtube pribadinya, Young Lex pun mengakui kalau sang istri hamil duluan. Setelah mengetahui kabar kehamilan sang istri, satu bulan kemudian Young Lex dan Eriska pun melangsungkan pernikahan (Liputan6.com, 28/10/2019).
Selain itu, istri Young Lex yakni Eriska Nakesya, sempat bersedih saat dirinya mengetahui hamil diluar nikah dengan Young Lex. Namun, kesedihan Eriska Nakesya tersebut mulai mereda ketika Young Lex akhirnya menikahi dirinya. Pasangan tersebut pun mengakui bahwa kehamilan Eriska Nakesya, terjadi diluar pernikahan dengan Young Lex (Tribunnews.com, 28/10/2019).
Fakta di atas hanya secuil bagaimana banyaknya fenomena hamil dahulu, nikah kemudian. Hal tersebut pun seakan dianggap biasa dan bukan aib, apalagi setelah secara terang-terangan menyampaikan ke khalayak. Ini tentu salah satu bukti bahwa nilai moral seperti rasa malu telah terkikis dari pemikiran masyarakat.
Tak hanya itu, tak sedikit pula ada anggapan masyarakat bahwa hamil di luar nikah adalah takdir dari Tuhan. Ini seperti menyatakan bahwa Tuhan berlaku tak adil, karena seseorang ada yang ditetapkan menjadi baik dan buruk, di surga atau neraka. Miris!
Di samping itu, bukankah orang yang melakukan hubungan di luar nikah, kemudian mengumunkan pernikahannya seolah mengabarkan kepada masyarakat bahwa mereka telah melakukan hubungan terlarang? Tidakkah pula secara tidak langsung hal tersebut mencoreng nama baik keluarga besar kedua belah pihak, baik wanita maupun pria? Tak berpikirkah juga bagaimana psikologis anaknya nanti ketika dewasa dan mengetahui dia adalah anak dari hubungan di luar nikah?
Sayangnya hal tersebut hanya sedikit yang menjadikannya sebagai pertimbangan. Karena pergaulan bebas telah begitu kebablasan. Sebagaiman penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat mereka alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah (Liputan6.com, 19/07/2019).
Tidak dinafikan budaya liberal tidak sedikit telah merasuki pemikiran, baik remaja maupun orang dewasa. Sehingga hubungan yang dulu dianggap hanya bisa dilakukan oleh suami istri, kini pun bergeser seolah menjadi biasa dilakukan oleh sejoli yang dimabuk cinta, walau tanpa status pernikahan. Ada pula yang beranggapan asal bertanggung jawab, maka tak mengapa.
Belum lagi, jika melihat kaca mata Islam, jelas bahwa hubungan suami istri yang dilakukan di luar nikah tidak dibenarkan. Tidak hanya itu, status anak yang dilahirkan nantinya tentu mendapatkan banyak masalah di kemudian hari, seperti anak tidak boleh memakai bin ayahnya, tidak dapat harta warisan dan apabila anaknya perempuan akan menikah, maka walinya bukan ayahnya.
Karenan sesungguhnya Islam hanya mengakui hubungan darah (nasab) seseorang lewat jalinan pernikahan yang sah. Walaupun secara biologis bahwa anak tersebut terlahir dari benih sang ayah. Karenanya mayoritas ulama sepakat bahwa anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar nikah tak boleh dinasabkan pada ayahnya. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw. “Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu” (Muttafaq ‘alaih).
Dengan demikian, sulit melepaskan para remaja maupun orang dewasa dari budaya liberal tersebut, jika masih banyak faktor yang mendorong ke arah itu. Karena itu, hal tersebut membutukan tiga hal, yakni adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan tak ketinggalan peran negara dalam mewujudkan insan yang bermoral dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Sehingga nasab akan terjaga. Wallahu ‘alam bi ash-shawab.
Oleh : Fitri Suryani, S. Pd
Penulis adalah Guru Asal Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara