Deadline Politik vs Covid-19

Deadline Politik vs Covid-19
Aldilal, S.I.K.,M.I.KOM

Perhelatan kontestasi pemilu pada masa pandemic terus menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, ketika seseorang sedang membatasi kontak sosialnya untuk mengurangi penyebaran virus covid-19. Kebijakan pemerintah yang tetap diadakannya pemilu disaat masyarakat membatasi kontak sosialnya tentunya kembali menimbulkan pertanyaan public, apakah pemerintah bersungguh-sungguh mencegah penyebaran corona virus ?

Jika dilihat dari kebijakan para stakeholder baik dalam hal kebijakan pemilu dan kebijakan pencegahan penyebaran covid-19 tentunya saling bertolak belakang, dimana kita ketahui pemilu tentunya identik dengan pesta demokrasi, campaign door to door, yang tidak bisa dipisahkan dengan kerumunan massa. Sedangkan pencegahan corona virus dianjurkan untuk mengurangi adanya interaksi sosial secara massa.

Tidak konsistenya stakeholder dalam membuat kebijakan menciptakan steering problem (Masalah yang selalu muncul) sehingga public dibuat bingung bahkan munculnya kecemasan/anxiety terhadap jaminan keamanan suatu kehidupan masyarakat ditengah pandemic yang sedang berlangsung, betapa ironinya demi kursi kekuasaan kita mengabaikan telah berapa banyaknya korban nyawa yang telah barjatuhan karena virus covid-19.

Seharusnya pemerintah harus sangat memperhatikan keadaan negara yang sedang krisis, dengan mengambil kebijakan yang pro terhadap keadaan yang sedang terjadi didalam sebuah negara, tidak mengambil kebijakan yang hanya memihak kepada elite politik demi sebuah kekuasaan tanpa memikirkan keadaan masyarakat, bahkan jaminan berlangsungnya kehidupan antar manusia.

Dalam study two step flow yang di perkenalkan Katz dan Lazarsfeld (1955) pemerintah sebaiknya memikirkan dan menggunakan komunikasi dua tahap dan lebih mengandalkan opinion leader dianggap mampu untuk mempengaruhi massa. Dalam hal ini kebijakan yang di ambil bisa dipikirkan dan dianalisa melalui pemuka pendapat bagaimana keadaan dan kondisi yang terjadi pada masyarakat sebelum mengambil kebijakan.

Menurut Barker (1990) bahwa seorang pemimpin perlu mengandalkan keterampilan dalam mendengarkan aspirasi dan masalah yang dihadapi khalayak sekitar 53%, sementara membaca 17%, berbicara 16%, dan menulis 14%. Itu artinya data penelitian ini menggambarkan realitas pemimpin yang efektif dalam situasi normal, maka hampir sebagian besar aktivitas komunikasi meluangkan waktunya untuk mendengar. Lantas bagaimana pemerintah menyikapi permasalahan disaat bencana pandemic sedang berlangsung. Masikah kita memikirkan deadline politik demi kursi kekuasaan tanpa memikirkan kondisi nyawa manusia yang sedang terancam karena covid-19.

Prinsip komunikasi empatik perlu diterapkan dalam menghadapi public yang sedang cemas baik secara kognitif maupun psikologis oleh bencana. Setidaknya dalam hal ini kebijakan yang diambil pemerintah merupakan bentuk tanggung jawab sebagai pemimpin dalam melayani public.

Apakah ada jaminan masyarakat tidak terpapar covid-19 dalam pelaksanaan pilkada? lalu bagaimana jika pesta demokrasi yang menjadi klaster baru penyebaran covid-19? apakah belum cukup nyawa yang telah berguguran karena covid-19? Hal-hal tersebut tentunya menjadi indikator penilaian sebelum pemerintah mengambil kebijakan. Seberapa urgent pemilu sehingga tetap dilaksanakan tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.

 


Oleh : Aldilal, S.I.K.,M.I.KOM
Penulis merupakan Alumni Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Halu oleo
Magister Ilmu komunikasi, Fisipol, Universitas Hasanuddin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini