Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”

Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Kian langkanya anggrek serat (Dendrobium utile) di Kolaka Timur, mendatangkan tantangan besar bagi pemburu anggrek setempat. Tanpa upaya pelestarian serius, tumbuhan itu bakal segera punah di alam, di tengah besarnya kebutuhan melaksanakan ritual adat.

Anggrek serat atau istilah lokalnya disebut sorume menjadi bahan baku anyaman di Desa Ameroro, Kabupaten Konawe. Seluruh hasil anyaman itu seperti tikar adat, songkok, dan alas kalosara (anyaman berbentuk persegi), digunakan pada acara-acara adat Tolaki.

Namun, bahan bakunya kian sulit didapatkan. Tinggal segelintir pula pemburu  yang masih setia memanen sorume untuk dipasok kepada perajin anyaman di Konawe. Syahrul (34) dan ayahnya, Subiyono (60) adalah segelintir di antaranya.

Dari kampungnya di Wointombo, Kecamatan Mowewe, mereka harus menempuh perjalanan hampir sepuluh jam lamanya untuk menuju habitat anggrek serat. Perjalanan dari rumah ditempuh berkendara motor menuju sebuah lereng gunung. Dari situ, mereka berjalan kaki menuju ke puncak gunung. Di sanalah lokasi tumbuhnya anggrek serat.

Karena beratnya medan yang harus ditempuh, keduanya memulai perjalanan sejak subuh hari untuk tiba di puncak gunung menjelang sore. Di atas gunung, dibangunkan kamp. Baru keesokan harinya mereka mencari sorume.

Gunung yang mereka jelajahi berhutan rimba pada ketinggian hingga 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Saking lebatnya, matahari sulit menembus lantai hutan. Vegetasinya pun ditumbuhi lumut. Kondisi itulah yang cocok sebagai tempat hidup kerajaan anggrek.

Untuk mendapatkan anggrek serat dibutuhkan kejelian. Sebab, sorume tumbuh di batang dan dahan pada pohon-pohon yang tinggi. Untuk mendapatkannya, mereka harus memanjatnya. Tinggi pohon bervariasi mulai dari 4 meter hingga 20 meter.

Saat melihat anggrek yang sudah tua dan layak panen, Syahrul akan mengambilnya dari pohon beserta akar-akarnya. Anggrek serat yang layak panen ini cirinya rimbun dan batangnya sudah kekuning-kuningan, sedangkan yang belum layak panen akan dibiarkan tetap hidup.

Syahrul hanya mengambil bagian batangnya (secara ilmiah disebut umbi semu). Akarnya dibiarkan saja agar dapat kembali berkembang biak. Sejauh pengamatannya, akar-akar sisa ini kembali bertumbuh dengan baik di hutan itu.

Setelah sampai di rumahnya, batangan-batangan anggrek serat dibersihkannya dengan pasir halus. Setelah itu, setiap batang dibelah dua untuk menjalani proses penjemuran. Saat sudah kering maka siap dikirim ke Ameroro sebagai bahan baku anyaman.

Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”
Batang-batang anggrek serat yang sudah dibersihkan dan dikeringkan. (Foto: Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.ID)

Syahrul sendiri baru menekuni pekerjaan itu selama 10 tahun, sedangkan ayahnya sudah 40 tahun. Pekerjaan ini diturunkan dari generasi ke generasi, yang mana Syahrul sudah generasi keempat. Pencari anggrek serat di kampung itu tersisa mereka berdua. Sebelumnya, saudara ayahnya juga seorang pencari anggrek tapi berhenti karena sudah lanjut usia.

Tantangan dalam menekuni pekerjaan itu adalah hujan yang bisa datang kapan saja disertai suhu dingin yang menusuk. Kemudian kabut yang datang pada pagi maupun siang hari. Bila sudah berkabut maka jarak pandang terjauh hanya 5 meter. Bila terjadi dua hal ini, mereka menghentikan pencarian dan kembali ke kamp.

Syahrul meyakini cara panen yang dilakukannya tak merusak populasi anggrek serat. Sebab, akar anggrek tetap dibiarkan untuk tumbuh.

Satu-satunya yang menjadi ancaman anggrek serat adalah pembalakan liar. Suara gergaji mesin (chainsaw) para penebang pohon sering terdengar saat perjalanan menuju lokasi tumbuhnya anggrek serat. Dikhawatirkan pohon yang ditebang adalah tempat tumbuhnya anggrek serat.

Syahrul mengidentifikasi pelaku pembalakan liar ini adalah masyarakat Mowewe sendiri, bukan orang dari kecamatan lain. “Itu yang kita khawatirkan karena semakin hari semakin jauh mereka menebang kayu. Takutnya kalau masuk di area tumbuhnya anggrek sorume itu. Kapan sudah dirusak itu tinggal cerita belaka saja nanti,” tutur Syahrul.

Hutan Lindung

Lokasi tumbuhnya anggrek serat tersebut masuk dalam kawasan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit IV Ueesi. Kawasan KPH Ueesi seluas kurang lebih 150.000 hektare itu mencakup lima kecamatan yaitu Mowewe, Tinondo, Tirawuta, Ueesi, dan Uluiwoi di Kabupaten Kolaka Timur.

Kepala UPTD KPH UNIT XIV Ueesi, Charles Haryson Witak mengatakan belum ada upaya konservasi secara khusus terhadap anggrek serat. Sejauh ini perlindungan yang dilakukan terhadap spesiesnya lewat cara melindungi habitatnya. Secara tidak langsung tumbuhan jenis itu terlindungi dengan adanya aturan-aturan tentang hutan lindung. Namun, diakuinya, areal hutan yang luas itu masih terbilang minim petugas penjaga. Saat ini, hanya 9 petugas menjaga kawasan hutan.

“Kalau ancaman terhadap tanaman jenis itu pasti ada. Yah namanya kehidupan inikan, tambah hari tambah banyak masyarakat, tambah banyak yang mencari makan di hutan. Apalagi anggrek itu diperjualbelikan. Jadi  jumlahnya bisa saja berkurang atau hilang,” ujar Charles melalui telepon, 19 April 2022.

Charles memastikan bila merujuk pada aturan tentang hutan lindung, maka tanaman seperti anggrek serat tidak boleh diambil. Namun persoalannya, yang mengambil dalam kawasan hutan lindung tidak dilihat dan anggrek serat menjadi bahan baku dalam pembuatan peralatan adat sejak dahulu kala.

Salah satu solusinya adalah harus ada program dengan anggaran khusus untuk lokasi tumbuhnya anggrek serat. Namun kata Charles, hingga saat ini belum ada kegiatan khusus terkait pengawasan dan pengamanan anggrek serat yang notabene merupakan ciri khas Sulawesi Tenggara.

Peran pengelola kawasan terhadap upaya konservasi anggrek serat penting. Sebab terjadi perubahan distribusi anggrek serat karena adanya perubahan pada habitatnya akibat penebangan liar dan perubahan tutupan lahan sehingga kondisi lingkungan berubah.

Hal itu berdasarkan hasil penelitian Arifani Rahmawati dengan judul “Distribusi dan Pemanfaatan Anggrek Serat (Dendrobium utile) di Sulawesi Tenggara”. Penelitian tesis sebagai tugas akhir dalam meraih gelar magister di Universitas Gajah Mada (UGM) itu dilakukannya pada September 2019 hingga April 2020.

Pengamatan anggrek serat pada habitatnya dilakukan di Mowewe, Kolaka Timur. Lokasi ini dipilihnya karena adanya kegiatan pemanfaatan yang masih dilakukan. Pada saat eksplorasi, ia menemukan anggrek serat pada ketinggian 1.378 mdpl yakni di Pegunungan Ulu Mowewe, Kecamatan Mowewe.

Lokasi tersebut memiliki kondisi lingkungan sejuk, sehingga pada batang-batang pohon ditumbuhi moss atau lumut. Adanya lumut inilah sebagai media tumbuh bagi anggrek serat. Ia menemukan anggrek serat menempel pada batang pohon, sela-sela batang atau banir, di antara percabangan dan pada tengah percabangan di mana bagian tersebut memungkinkan adanya akumulasi lumut sebagai substrat tumbuhnya anggrek.

Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”
Anggrek serat di alam. (Foto penelitian Arifani Rahmawati)

Pada tahap inventarisasi, Arifani menemukan kelimpahan anggrek serat di wilayah Mowewe adalah 1 rumpun per hektare. Meskipun berada pada kawasan lindung, habitat anggrek serat menghadapi gangguan, berupa perubahan iklim dan tekanan manusia yang terus mendegradasi hutan. Hal ini ditandai dengan keberadaan anggrek serat yang dulunya berada pada ketinggian sekitar 800 mdpl, tapi kini baru dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1.300 mdpl.

“Titik penemuan anggrek semakin jauh dari lokasi awal ditemukannya anggrek. Perubahan iklim, penebangan liar dan alih fungsi lahan di sekitarnya menjadi indikasi penyebabnya,” kata Arifani.

Soal pemanfaatan anggrek untuk keperluan adat, Arifani menjelaskan bahwa memang seringkali jenis endemik dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan adat mestinya diarahkan pada perlindungan atau konservasi lingkungan alam serta sumber daya yang ada di dalamnya sesuai dengan pengetahuan, praktek-praktek, kepercayaan dan prioritas dari masyarakat asli.

“Perajinnya masih eksis, tetapi sekarang sudah berkurang, sementara nilai anggrek serat masih ‘mahal’ di mata sebagian masyarakat yang mengerti. Jadi pengambilan masih ada meskipun tidak sebanyak dulu untuk anyaman. Pernah ada yang coba membudidayakan tapi gagal karena tidak cocok kondisi lingkungannya,” ujar Arifani.

Oleh karena itu, menurut Arifani konservasi anggrek serat perlu dilakukan karena menunjang keberlanjutan budaya Tolaki. Anggrek serat yang lestari menjadi kunci agar pemanfaatan dapat terus dilakukan.

Tantangan Besar Melindungi Habitat Anggrek “Wonua Sorume”
Replika miniatur prosesi adat masyarakat Tolaki. Dalam miniatur tersebut tampak penggunaan tikar anyaman dari bahan anggrek serat. (Foto: Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.ID)

Kepala Adat Tolaki di Konawe, Ajemain menceritakan jumlah penganyam sorume terus berkurang seiring habitat sorume makin tergerus. Penyebabnya diperkirakan karena pembukaan lahan yang masif. Dulu, sorume masih ditemui pada lembah-lembah yang subur, termasuk di sepanjang aliran sungai Konaweeha (wilayah Konawe) yang hulunya sebagian besar berada di wilayah Kolaka, sekarang terbagi jadi Kolaka Timur.

“Makanya Kolaka itu dulu dijuluki ‘Wonua Sorume’ artinya negeri anggrek,” ujar Ajemain, Kepala Biro Pemangku Adat Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Adat Tolaki (LAT).

Sebagai pemerhati budaya Tolaki, Ajemain ingin sorume tetap lestari sehingga tetap dapat menjadi bahan yang dapat digunakan masyarakat. Ia juga berharap hutan tempat tumbuhnya sorume tidak hanya sekadar hutan lindung biasa, tapi bagusnya jadi hutan konservasi khusus sehingga terlindungi sepenuhnya. (*)

Reporter: Muhamad Taslim Dalma

“Liputan ini merupakan karya dari Fellowship Biodiversitas SISJ-EJN 2022”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini