Pertama, saya membatasi wacana ini dalam konteks pilkada. Tidak dalam pemilu secara umum, baik pilcaleg maupun pilpres. Kedua, saya membatasinya dalam lingkup pemerintahan daerah. Bahwa kita menginginkan PNS untuk netral dalam pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/kota). Kita menyepakatinya.
Namun benarkah PNS mampu menahan diri untuk netral? Netralitas hanya tertuang di naskah peraturan perundang-undangan dan himbauan-himbauan. Realitasnya, jauh panggang dari api. PNS tetap menjadi salah satu komoditas yang sangat berpengaruh atas kemenangan para kandidat.
Netralitas PNS di pilkada layaknya kentut. Baunya terasa dimana-mana, tapi tidak terlihat. Sangat banyak PNS yang tidak netral tapi sangat “sulit” untuk dibuktikan. Sengaja saya berikan tanda petikan khusus tentang makna “sulit”.
Ada dua dimensi kesulitannya. Sulit karena benar-benar sulit untuk membuktikannya. Kedua, sulit karena “Faktor X” –yang sungguh banyak variannya. Antara lain, tidak ingin mengusut karena keluarga/teman, tidak mau cari masalah, tidak mau ambil pusing, dan lain-lain.
Netralitas PNS terbentur pada persoalan “balas jasa” ataupun “dendam” calon terpilih. PNS mengejar balas jasa sekaligus menghindari dendam. Itu sudah rumusnya. Hanya ada tiga kelompok PNS setelah pilkada. Pertama, mereka yang terpromosikan habis-habisan. Mereka inilah PNS penerima balas jasa).
Kedua, mereka yang nonjob ataupun dimutasi ke wilayah pelosok. Kelompok ini merupakan PNS penerima dendam. Ketiga, mereka yang begitu-begitu saja. Karier merangkak seperti siput (kalau tidak mandeg) dan sangat rentan untuk tersingkir. Kelompok ketiga ini adalah mereka yang memilih netral.
Ada sih, satu dua PNS netral yang kariernya cukup moncer. Tapi bisa jadi karena dia memang memiliki kapasitas dan prestasi di atas rata-rata. Alasan lainnya, dapat menjadi semacam tameng bagi kepala daerah bahwa dia memilih pejabat dengan cara yang obyektif. Padahal, kasus ini bagai setitik air di tengah lautan.
Ada juga tipe PNS menjelang pilkada. Mirip seperti jenis-jenis PNS setelah pilkada.. Perbedaannya, terletak pada cara eksekusi jabatannya yang biasanya penuh kejutan. Seorang kawan bercerita tentang dinamika yang terjadi di tengah menghangatnya suhu politik di sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Kawan ini memiliki kerabat pejabat di kabupaten itu. Di bandara, dalam perjalanan tugasnya keluar daerah, pejabat itu menyempatkan membaca suratkabar. Alangkah kagetnya dia, ketika salah satu berita tentang pergantian pejabat, namanya tertulis menjadi salah satu yang dinonjobkan.
Kejutannya adalah, pergantian itu dilakukan hanya berselang tujuh hari sebelum dia memasuki masa pensiun. Sepulang dari perjalanan, dia menghadap ke atasan menanyakan ihwal pencopotannya. Kenapa tidak menunggu hingga TMT (terhitung mulai tanggal) pensiunnya berlaku.
Jawabannya kembali bikin kejutan. Keadaannya darurat. Hah, darurat? Darurat macam apa? Kalau darurat asap mungkin masuk akal. Apa sih yang darurat di Sultra hingga orang yang mau pensiun tujuh hari pun harus segera diganti?
Itu karena aspek balas jasa dan balas dendam tadi. Ada yang harus dibayar dengan jabatan karena pro terhadap kandidat yang kebetulan petahana. Sebaliknya, harus ada yang dipenggal karena dia berseberangan. Sama-sama buruknya karena keduanya berbau tidak netral.
PNS memang tidak terlibat dalam politik praktis dalam konteks partai politik, tapi mereka terkotak-kotak melalui figur yang berkontestasi di pilkada. Muaranya akan berimbas pada rendahnya efektifitas pemerintahan karena terseretnya PNS dalam pusaran pilkada. Begitu banyak contoh yang terpampang di depan mata kita, termasuk contoh di atas.
Hilangkan Hak Memilih?
Bargaining PNS –terutama mereka yang memiliki jabatan– untuk menjadi vote getter boleh dikata sangat kuat. Barisan birokrasi adalah salah satu lumbung suara. Nilai tawarnya bukan hanya sekadar karena haknya untuk memberikan suara.
Nilai tawar kedua, seorang PNS (pejabat) juga mampu mempengaruhi masyarakat luas dengan kekuatan kewenangannya. Misalnya, iming-iming dibangunkan jalan, jembatan, bantuan pupuk, bibit, dana bergulir, dan sebagainya.
Sebagai pemilik suara, netralitas PNS dapat dipastikan dengan menghilangkan hak suaranya. PNS tidak boleh memilih, sama seperti TNI/Polri. Meski ini hanya dalam konteks pilkada. Logika karena TNI/Polri memiliki sepatu laras yang dapat memaksa, PNS pun memiliki kekuatan memaksa dengan kewenangan anggaran/penganggarannya.
Apakah menghilangkan hak memilih seorang PNS akan otomatis membuatnya netral? Belum. Masih ada nilai tawar kedua yang dimiliki PNS. Meski tak punya hak memilih, tapi PNS dapat mempengaruhi masyarakat banyak dengan iming-iming yang saya sebutkan di atas.
Ada gagasan lain. Hilangkan kewenangan kepala daerah dalam mutasi maupun pengangkatan dalam jabatan PNS. Dengan demikian, seorang PNS tidak lagi menaruh harapan besar kariernya di tangan sang kepala daerah.
Ide ini ada implikasinya. Mutasi dan pengangkatan adalah alat untuk “memaksa” PNS bekerja lebih baik. PNS akan ogah-ogahan terhadap perintah kepala daerah jika kewenangan memaksanya teramputasi.
Untuk menjaga agar PNS tetap taat terhadap kepala daerah –yang tak lagi memiliki kewenangan mengangkat dan mencopot– perlu ada aturan main tersendiri. Ini dapat menjadi diskursus baru ke depannya dan tak dibahas dalam tulisan singkat ini.
Tetapi hemat saya, jika memang kita bercita-cita dan berkomitmen mewujudkan PNS yang netral di pilkada, kedua pilihan itu harus diterapkan. Hilangkan hak pilihnya dan hapus kewenangan kepala daerah untuk mengangkat dan mencopot/memutasi pejabat.
Hak pilih dihilangkan untuk mengeliminir nilai tawar PNS yang pertama. Menghilangkan kewenangan kepala daerah untuk mengangkat/mencopot/memutasi pejabat dimaksudkan agar memangkas nilai tawar PNS yang kedua. Ada pendapat lain?
Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial