Pada sebuah pidato panjangnya ketika peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia –yang belakangan menjadi Institut Pertanian Bogor– tahun 1952 silam, Presiden Soekarno banyak bercerita tentang pangan, dan juga menyebut Kendari, kini ibukota Sulawesi Tenggara.
Begini katanya, “untuk mencoba pertanian secara mekanis, di daerah Kendari (Sulawesi) ada siap sedia 15.000 ha tanah kering yang datar dengan struktur tanah yang cukup enteng untuk digarap dengan mesin. Pembagian hujan selama tahun disana adalah demikian ratanya, sehingga dua kali setahun daerah itu dapat menghasilkan panen padi gogo yang lumayan. Tidakkah baik kita coba pertanian mekanik di sana itu?”
Enampuluh lima tahun kemudian, cita-cita Bung Karno tentang mekanisasi belumlah terwujud optimal. Mekanisasi masih problem hingga sekarang. Belum atau tak cukup-cukup jua. Padi gogo semakin terdesak. Sawah tercetak di mana-mana, ada atau tidak ada sumber air.
Tetapi fakta ini tidak perlu dinyinyiri atau disinisi. Seperti kata Bung Karno lagi di bagian lain pidato itu. Engkau tidak dapat memecahkan soal ini sekedar dengan sinisme, seperti sikapnya setengah pemimpin-pemimpin di waktu sekarang, yang hanya bisa menuduh, hanya bisa mencela, hanya bisa mencari dan mendapatkan orang-orang yang dicapnya kambing hitam, dan dititiri kepalanya sebagai kop van jut.
Selalu ada oase yang menyejukkan. Saya menemukannya di suatu siang, di tengah belantara “antah berantah” Kabupaten Konawe. Saya menjumpai dua orang. Mereka mengabdikan dirinya untuk padi. Dua orang dengan dua kehidupan. Saya menyebutnya pahlawan.
*** *** ***
Di atas sebuah truk tua yang mesinnya meraung-raung, tangannya yang mulai keriput menunjuk ke sebuah hamparan padi. “Itu padi yang bercampur, tidak murni,” ujarnya. Saya yang duduk di sampingnya turut mengamati di tengah lajunya truk di jalan tanah bergelombang. Saya kagum dengan kemampuan pengamatannya.
Mataku tak menemukan apa-apa dari ucapannya. Saya hanya melihat betapa indahnya hamparan padi yang mulai menguning satu-satu. Bagiku itu adalah padi yang sebentar lagi dipanen. Sarjana pertanian apa kau, rutukku pada diriku sendiri.
Lelaki di sampingku itu berbicara tentang kemurnian benih padi. Sepanjang kariernya, dia menekuni benih. Kemana-mana, dia menganjurkan agar petani menanam padi dengan benih yang jelas dan seragam.
Kata dia, setiap hamparan tanah hanya cocok untuk satu jenis benih. Jangan menanam benih yang bercampur. Pertumbuhannya tidak baik. Produksinya tidak bagus. Selama lebih dari tiga puluh tahun kariernya, dia mengajarkan itu.
Mudah untuk melihat hamparan padi yang benihnya tidak seragam. Seperti “duran-duran” katanya. Merujuk pada model rambut personel sebuah grup musik rock Amerika Serikat, yang dipotong agak pendek di bagian samping, tapi dibiarkan panjang pada bagian belakang. Pada padi yang kami amati sepintas, tingginya tidak seragam dan sangat kentara perbedaannya.
Namanya Langgiri. Dia staf di Balai Benih Induk Padi Wawotobi, Kabupaten Konawe. Kantor yang merupakan subordinasi dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. Dia pria kecil yang lincah. Ramah dan begitu mencintai pekerjaannya.
Di kalangan rekan kerjanya, dia seperti “mahaguru” tentang perbenihan. Dia tipe pekerja yang total. Di atas truk, saya mencoba menjajal wawasannya tentang perbenihan. Dan saya seperti kuliah banyak hal tentang benih. Saya terkagum-kagum dengan pengetahuannya.
Langgiri bukanlah “ahli” yang berpendidikan formal tinggi. Karena gelar kesarjanaan yang tidak memadai, di usianya yang hampir 58 tahun, pangkat pegawai negeri sipil yang disandangnya baru golongan II/d. Bulan September tahun depan, dia akan pensiun. Pangkatnya akan dinaikkan satu tingkat menjadi III/a, setara dengan sarjana S1 yang baru diangkat sebagai pegawai.
Langgiri sedang menapak pensiunnya. Dengan dua anaknya yang masih bersekolah, dia akan pensiun dengan tanah miliknya sendiri yang hanya setengah hektar. Ada juga lahan orang lain yang digarapnya. Dia jauh dari hiruk pikuk politik praktis lokal yang mungkin saja menyeretnya masuk jejeran elit birokrasi.
Langgiri adalah pria sederhana yang bersahaja. Potret manusia-manusia yang hanya mengabdi untuk tanah persawahan dan benihnya. Kendatipun, dia juga manusia biasa yang menyimpan cita-cita tentang kehidupan yang lebih baik.
“Jika tenaga saya masih dibutuhkan, saya masih akan tetap di sini (balai benih) meskipun sudah pensiun,” lirih Langgiri ketika kutanyakan tentang harapannya ke depan. Ah, Pak Langgiri. Betapa kelak kami akan kehilanganmu beserta kelincahan dan keluasan ilmumu.
*** *** ***
Pria itu hanya mengenakan kaos dalam ketika kami bersalaman. Wajahnya sedikti memerah terbakar sinar matahari yang terik. Sepatu bot masih dikenakannya. Di kolong rumah panggung di tengah hamparan sawah luas, sebuah mobil lapangan double cabin berwarna silver terparkir.
“Ayo, kita bincang-bincang di atas,” ajaknya sembari menaiki anak tangga rumahnya. Kami mengekor di belakang.
Orang-orang menyapanya Haji Bur. Nama lengkapnya sesungguhnya adalah Burhan Harahap. Sebagaimana lazimnya orang Indonesia, orang-orang mengakrabinya dengan sapaan Pak Haji atau Haji Bur.
Sepuluh tahun lalu, dia melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri sipil. “Saya tidak mungkin menyekolahkan anakku tinggi-tinggi jika berharap gaji PNS,” katanya. Saat masih menjadi pegawai dengan status penyuluh perkebunan, dia merintis usaha jual beli kakao yang lalu berkembang pesat.
Seiring kesibukannya berdagang, dia jarang berkantor dan kemudian meminta untuk berhenti. Dia tidak ingin makan gaji buta. Atasannya menganjurkan tidak usah berhenti karena statusnya sebagai penyuluh bisa sinkron dengan pekerjaannya sebagai pedagang kakao. Dia bersikukuh pensiun dini. Hatinya tak lagi memiliki jiwa pegawai.
“Ada pesan orangtua saya. Rejeki itu 90 persen ada pada pedagang. Sisanya 10 persen dibagi-bagi ke karyawan, pegawai, dan pekerja yang digaji. Ini salah satu motivasi saya untuk keluar dari pegawai,” tuturnya.
Dia sukses sebagai pedagang kakao. Dia menjadi salah satu orang terkaya di Kabupaten Konawe. Namun seiring waktu, usaha jual beli kakao tidak lagi secerah sebelum-sebelumnya.
Dia menginvestasikan sebagian kekayaannya untuk membangun usaha lain. SPBU. Di Lambuya, Kabupaten Konawe, ada sebuah SPBU. Itu miliknya.
Lalu, dia mulai melirik persawahan. Dunianya. Dia membeli sebuah lahan di tengah hutan belantara yang berawa-rawa. Saat masuk ke kawasan itu, ketinggian air rawa mencapai dada orang dewasa.
Pemilik lahan tempat dia membeli mengatakan, “Pak Haji silakan tandai saja berapa luas yang Pak Haji mau ambil. Terserah.” Oleh pemiliknya, tanah itu memang dijual murah. Hanya Haji Bur yang melihat bahwa lahan itu memiliki nilai ekonomi. Hingga saat ini, akses menuju kawasan itu masih sulit terutama di musim hujan.
Haji Bur menuturkan, ketika lahan itu diolah menjadi persawahan, ikan-ikan yang ada dalam rawa seperti tumpahan beras saking banyaknya. Dia menginvestasikan seluruh modal yang dimilikinya untuk membuka kawasan itu menjadi persawahan.
Areal seluas lebih dari 100 hektar itu kini menjelma menjadi hamparan persawahan yang subur. Lima musim panen Haji Bur memetik panen berlimpah. Padi produksinya mencapai ratusan ton. Setiap musim tanam, dia mempekerjakan setidaknya 100 orang tenaga kerja. Mesin panennya saja ada delapan buah.
Seperti Langgiri –yang juga sahabatnya– Haji Bur dengan seksama belajar tentang benih. Diamatinya benih-benih yang cocok untuk lahannya. Dia akhirnya setuju dengan kawannya itu bahwa benih harus seragam. Bahwa benih hanya cocok untuk satu hamparan tanah. Dia belajar otodidak.
Haji Bur adalah tipe petani yang percaya bahwa teknologi merupakan variabel yang berpengaruh pada peningkatan produksi. Dia punya kemampuan untuk membelinya. Kombinasi itu membuat Haji Bur mencatatkan diri sebagai penyuplai utama produksi beras di Konawe.
Bagi seorang yang memiliki jiwa wirausaha, tidak ada kehidupan yang mapan. Tidak ada usaha yang selesai. Dia melirik bisnis baru. Menjadi penangkar benih. Di tengah hamparan sawahnya, Haji Bur membangun sebuah gudang untuk memproduksi benih yang nantinya disebar ke petani.
Siapa Haji Bur? Hanya petani sekaligus wirausahawankah? Tidak. Dia tokoh Konawe. Dia panutan. Dia seorang haji yang ringan tangan. “Jika ada orang datang ke rumah minta pinjam (uang) dan saya tidak mampu memberinya, dua hari dua malam saya pikirkan,” tuturnya.
Dari cerita sahabatnya, Langgiri, saya mengetahui bahwa dia sangat jarang mengatakan tidak untuk membantu orang lain. Bahkan saat masih aktif sebagai PNS, dia pernah menggunakan uangnya terlebih dahulu untuk membayarkan gaji rekan-rekan sekantornya yang terlambat.
Haji Bur mengakui, karena kelakuannya itu, dia pernah dipanggil oleh Bupati Konawe Razak Porosi dan dimarahi. “Tidak boleh kamu berbuat begitu. Itu menciptakan kecemburuan pegawai lain,” kata sang bupati kepadanya.
Dia tidak bergeming dengan marah yang diterima dari sang bupati. Dia merasa iba dengan nasib kawan-kawannya yang hanya mengandalkan gaji. “Kita semua tahu, kalau tanggal 20-an itu pegawai sudah megap-megap,” katanya.
Sebenarnya, kata Haji Bur, tindakannya itu dirahasiakan. Tapi maklum ibu-ibu sesama istri pegawai kalau bertemu di pasar pasti bergosip. “Eh, kenapa kita belum gajian kamu sudah bisa belanja-belanja. Nah, dari situlah terbongkar,” tutur Haji Bur terkekeh.
Setiap hari rumahnya dikunjungi orang untuk berbagai keperluan. Haji Bur mengakuinya. Ada yang karena anaknya mau masuk pegawai, polisi, tentara. Bahkan istrinya pernah protes ke dia karena stres dengan urusan-urusan itu. “Kamu lebih stres dengan urusan anak orang lain ketimbang urusan anakmu sendiri,” protes istrinya.
Di musim kontestasi politik, jangan dibilang. Para politisi tak berhenti datang. Minta dukungan, juga ada yang meminjam duit untuk dana kampanye. Ada juga yang memintanya menjadi anggota partai, menjadi caleg, bahkan didorong mencalonkan diri menjadi bupati.
Semua ditolaknya. Dia tidak berminat di dunia politik. Dia hanya mendorong anaknya, Benny Setiady, anak muda kelahiran tahun 1986, yang kini menjadi anggota DPRD Konawe dari PAN. Menjadi peraih suara terbanyak di dapilnya.
Saat mendorong sang anak, Haji Bur tidak mau menggunakan politik uang. Dia mengonsep program yang melibatkan banyak orang. Membantu orang tidak dengan uang tunai. Dan itu disukai masyarakat.
Siang itu saya menjumpainya untuk pertama kali. Bekerja di sawahnya, di tengah belantara perkebunan sawit yang mengitarinya. Katanya, itu cara dia untuk menghibur dirinya. Haji Bur merasa tenang ketika berada di sawah, jauh dari hiruk pikuk dan problematika kehidupan.
Haji Bur berpesan kepada saya dan untuk banyak orang. “Saya ingin menunjukkan bahwa tidak selamanya petani identik dengan kemiskinan.” Saya punya terjemahan lain atas pesan Haji Bur. Menjadi petani adalah cara menjadi merdeka seutuhnya. Tidak ada yang perintah, tidak perlu berkantor, tidak perlu dimarahi pimpinan. Dan bisa kaya. Pikir-pikir pensiun dini, ah.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial