Kontestan Dangdut Academy 4 (DA4) asal Bau-bau Sulawesi Tenggara, Fildan Rahayu.
Saat ini Fildan adalah magnet. Semua ingin dan merasa dekat dengannya. Segenap energi dan emosi bersatu. Simpati. Narsistik. Rupiah. Orang-orang. Bukan lagi demi Fildan semata tapi juga pengakuan eksistensi. Juga jalan raya kepentingan.
Fildan yang semula hanya soal kontes bernyanyi dangdut menjelma menjadi fenomena yang menyentuh relung-relung sosial, budaya, dan ekonomi dalam wujud yang lebih multidimensional.
Mereka yang menjalani kepahitan hidup mempersonifikasi Fildan sebagai orang dekatnya. Saya yang beretnis Bugis-Makassar lalu mencari-cari jangan sampai ada kerabat lain kali Fildan yang bersepupu dengan tetangga jauh mantan pacarku untuk melegitimasi bahwa saya juga bukan orang lainnya Fildan.
Andi SyahrirMendadak banyak pejabat kita yang melakukan perjalanan dinas ke Jakarta dan menyempatkan –untuk tidak dikatakan menyengajakan diri– nampang di studio Indosiar, berteriak-teriak histeris berharap-harap disorot kamera, sembari menulis di selembar kertas tentang dukungan instansinya, dukungan orang-orang sekampungnya, dukungan neneknya, cucunya, menantunya.
Di saat yang bersamaan, rupiah yang dicari dengan begitu susah payah “disumbangkan” untuk sebuah mesin industri hiburan yang mengatasnamakan “demi Fildan agar bisa merengkuh juara”.
Uang-uang itu berputar di roda ekonomi yang sangat sempit. Rupiah itu tidak lagi memberi manfaat bagi tetangga, kerabat, buruh, tukang sapu, pedagang kaki lima, warung-warung kecil di sekitar kita.
Rupiah itu langsung disetorkan pada tangan besar bernama operator seluler dan terdistribusi entah kemana –yang kemudian sumbangannya pada kita adalah kabar bahwa hacker mengamuk karena tarifnya yang begitu mahal.
Kita tak lagi sempat berpikir pada ranah yang lebih substantif bahwa Fildan –dengan segala kehebatannya bernyanyi dan memainkan alat musik– sesungguhnya komoditi strategis bagi tangan-tangan raksasa industri hiburan-seluler. Mereka sukses menakut-nakuti kita secara kolektif agar senantiasa “membeli” mahkota buat Fildan.
Pada titik-titik ironisnya, kita juga menemukan pada malam ketika Fildan tampil bernyanyi, maka keesokan harinya harga ikan di pasar-pasar melonjak naik karena para nelayan lebih senang menongkrongi televisi ketimbang jaringnya.
Mereka yang menggeluti dunia politik seperti memperoleh bidak catur baru untuk dimainkan agar meraih simpati publik.
Pada titik ini, saya hendak bertanya, apakah Fildan yang membutuhkan kita atau justru kita yang butuh Fildan?
Faktanya, kita butuh Fildan untuk terhibur. Kita butuh Fildan untuk narsis, untuk aktualisasi, untuk berkekinian. Kita butuh Fildan untuk bangga sebagai orang Buton. Kita butuh Fildan untuk bangga sebagai penduduk Sulawesi Tenggara. Kita butuh Fildan untuk terpilih sebagai penguasa.
Sesungguhnya, Fildan tidak butuh kita. Dia hanya sebuah komoditas industri. Industri hiburan. Industri seluler. Industri aneka produk barang dan jasa yang menyertai di belakangnya.
Fildan hanyalah produk yang kita barter demi pemenuhan –apa yang disebut pakar psikologi Stuart dan Sundeen sebagai– self esteem. Kita memerlukan Fildan untuk harga diri kita. ***