Senin malam pertengahan Mei 2017, kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kolaka Utara terbakar. Kantor itu berada dalam satu gedung dengan empat dinas lainnya, yakni dinas pertanian, dinas pemberdayaan perempuan dan anak, dinas KB, dan dinas pemuda dan olahraga.
Empat dinas yang disebut terakhir selamat. Sedangkan DPMD yang berada di lantai dua nyaris ludes dilalap api. Kebakaran itu bertepatan dengan maraknya aksi unjukrasa menyusul pemilihan kepala desa pada 65 dari 127 desa di Kolaka Utara, 6 Mei 2017 lalu.
Meski tidak semua, aksi-aksi itu dilancarkan oleh kelompok masyarakat dari berbagai desa yang menggelar pilkades. Mereka menuding penyelenggaraan sarat dengan aksi kecurangan. DPMD dianggap bertanggungjawab karena aturan mainnya digodok oleh instansi itu.
Beberapa hari sebelum hingga hari-H pemilihan, tensi politik warga desa meninggi. Politik uang jangan ditanya lagi. Ada calon kepala desa yang menawarkan hingga Rp 250 ribu per orang asal mau memilih dia. Ada calon yang menjaminkan rumah tinggalnya, lalu berutang puluhan juta untuk membeli suara pemilih.
Menjadi kepala desa saat ini memang menggiurkan. Negara menyiapkan anggaran kurang lebih Rp 1 miliar setiap tahunnya untuk membangun desa. Itu belum termasuk program-program mandiri dari pemerintah provinsi dan kabupaten.
Keberanian para calon kepala desa ini untuk “berinvestasi” menjadi relevan dengan besarnya anggaran yang masuk. Mereka yang demikian, tentu berharap besar untuk mengembat sebagian kecil atau sebagian besar dari anggaran itu.
Bayangkan, masa jabatan selama enam tahun dan dapat dijabat selama tiga periode, baik secara berturut-turut atau tidak. Menjadi kepala desa selama 18 tahun. Hampir empat kali pilpres, dia masih bisa menjabat. Lebih dari separuh masa kekuasaan Pak Harto yang 32 tahun.
Sepertinya lebih menjanjikan jadi kades ketimbang anggota dewan kabupaten. Kecil-kecil tapi pasti. Kira-kira begitu daya tariknya.
*** *** ***
WTP adalah idaman semua pimpinan lembaga negara. Cita-cita para menteri, gubernur, walikota, bupati. Sebuah stempel bahwa uang negara benar-benar dipakai untuk rakyat. Obsesi yang sangat mulia.
Semua ingin meraih itu. Mau benar-benar bersih atau mau tidak benar-benar bersih atau mau benar-benar tidak bersih. Semua ingin dicap WTP. Itu pula yang menuntun pejabat eselon satu kemendesa menempuh jalan pintas. Menyiapkan uang untuk oknum pejabat dan auditor BPK. Demi WTP.
Terbongkarnya “WTP Gate” ini melahirkan wacana baru. Meragukan segala raihan WTP yang diperoleh kabupaten/kota, provinsi, kementerian. Bahkan meragukan BPK sebagai tukang stempel WTP.
Lalu apalah makna WTP jika hanya soal merapikan laporan administrasi tetapi jalan masih koyak-koyak, banjir masih langganan, pengemis di lampu merah kian marak, jalan desa puluhan tahun berstatus pengerasan. Listrik naik terus tapi pemadaman makin menjadi-jadi.
Untuk apa WTP jika hanya mencetak sawah lalu membiarkannya terlantar tak terolah. Mau diapakan predikat WTP kalau gedung-gedung sekolah begitu mudahnya ambruk. Untuk apa WTP kalau kualitas air PDAM tidak pernah membaik. Apalah arti WTP jika geng motor makin menjadi-jadi. Apalah arti WTP, toh bangkai akan tetap busuk kendatipun namanya diganti kesturi.
Kata William Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial