ZONASULTRA.COM, KENDARI – Jika berkunjung ke Kabupaten Buton Utara (Butur) Sulawesi Tenggara, dan jika beruntung, kita akan mendapati sebuah tradisi unik yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat setempat. Tradisi ini hanya dilakukan sekali dalam tiga tahun dan masih tetap lestari hingga saat ini.
Adalah tradisi Poriwangan atau tradisi sumur tua. Zonasultra.com berhasil menyaksikan tradisi ini di Desa Rombo Kecamatan Kulisusu ketika berkunjung ke Butur pada November lalu.
Poriwangan merupakan sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat Butur sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan sang maha pencipta dan berharap dijauhkan dari segala marabahaya.
Salah satu tokoh masyarakat di Butur, Andri Afif mengatakan, masyarakat di Butur sangat memegang teguh tradisi Poriwangan. Tradisi ini telah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dan tetap dipelihara hingga saat ini.
“Tradisi ini merupakan wujud syukur saja kepada Tuhan karena telah diberikan rezeki. Melalui tradisi ini lah mereka berbagi rezeki yang telah mereka dapatkan kepada orang-orang yang ada di sekitar mereka,” kata Andri.
Masyarakat setempat, lanjut Andri sangat antusias mengikuti tradisi ini. Mereka melakukan swadaya untuk menyelenggarakan tradisi tersebut setiap tiga tahun sekali.
“Pemerintah hanya memfasilitasi keamanan saja. Selebihnya adalah swadaya masyarakat. Mereka sangat antusias karena merasa telah memiliki tradisi ini,” terang Andri.
Di wilayah Butur terdapat empat sumur tua, dan yang paling tua terletak di Desa Rombo Kecamatan Kulisusu. Tradisi ini rutin dilakukan oleh masyarakat desa tempat di mana sumur tua itu berada. Karena sumur di Desa Rombo adalah yang tertua, maka tradisi Poriwangan di desa inilah yang paling meriah.
Dalam Poriwangan, para orang tua, baik laki-laki maupun perempuan saling bergantian melakukan gerakan seolah saling menyerang dengan senjata tajam berupa parang atau keris sambil mengikuti irama tabuhan gendang yang dipadukan dengan dentuman gong. Sebelumnya, seorang laki-laki dengan parang dan tameng di kedua sisi tangannya terlebih dulu mengitari sumur tua.
Ketika gerakan saling menyerang berlangsung, para ibu-ibu berbondong-bondong membawa dulang atau nampan berisi makanan dan diletakkan di samping sumur. Ketika gerakan selesai, para tetua di desa tersebut berkumpul dan membaca doa bersama di samping sumur. Lalu makanan dalam dulang itu dibagi-bagikan kepada warga yang hadir menyaksikan tradisi Poriwangan.
Salah satu warga yang membawa dulang, Mama Nurfa mengatakan, untuk membawa makanan tidak dipaksakan tergantung keikhlasan masing-masing.
“Kalau ada rezeki yah kita berbagi, kalau tidak ada yah kita mau apa. Seikhlasnya saja mau bawa apa,” kata dia.
Tradisi ini pun berhasil menyedot perhatian banyak orang dari berbagai penjuru Butur untuk menyaksikannya.
Penulis: Jumriati