Pagi hari begitu ponsel diaktifkan, suaranya serta merta berderang-dering. Nada panggilan masuk. Ada kerabat menanyakan perihal uang pangkal pendaftaran di Universitas Halu Oleo (UHO) tempat anaknya mendaftar. Baru lima menitan selesai bicara, pintu rumah diketuk. Tetangga. Ia juga datang mempertanyakan hal yang sama.
Persoalan utama yang mereka gelisahkan adalah apakah uang pangkal itu dibayar setiap semester atau setiap tahun, atau hanya sekali seumur “hidup”. Pertanyaan kedua, kenapa mereka yang lolos SNMPTN (bebas tes) dan SBMPTN tidak dibebani biaya seperti itu. Ketiga, kenapa baru tahun ini diberlakukan hal demikian. Saya jawab seadanya untuk mereka pahami saja, karena penjelasan resmi itu wilayah universitas.
Mereka galau karena nominalnya lumayan besar. Baik kerabat maupun tetanggaku tidak lagi –dan tidak pernah– berani bermimpi memasukkan anaknya di Fakultas Kedokteran yang uang pangkalnya mencapai Rp 150 juta.
Mereka hanya sanggup mendaftar pada jurusan-jurusan lain yang kisaran uang pangkalnya Rp 2,5 – 5 jutaan. Itupun standar terendah dari tiga opsi uang pangkal yang bisa mereka pilih di setiap jurusan. Itu pun mereka sudah tutup mata, mengingat kerabat dan tetanggaku masing-masing pekerja serabutan dan petani kecil yang penghasilannya tak menentu dan relatif pas-pasan.
Mereka harus tutup mata atas kesadaran bahwa menguliahkan anak adalah proses untuk menyongsong hidup lebih baik. Mereka menaruh segunung harapan bahwa kelak putra-putrinya yang berhasil kuliah merupakan anak-anak kunci untuk membuka belenggu ketidakmampuan, ketidakberdayaan, kemiskinan.
Pembayaran uang pangkal di UHO memang banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Selain karena nominalnya yang tinggi, juga disebabkan penerapan “perdana”-nya sejak sistem uang kuliah tunggal (UKT) diberlakukan oleh UHO. Tahun-tahun yang lalu uang pangkal ini tidak ada, baik mereka yang bebas tes maupun yang lulus seleksi nasional dan lokal. Kecuali Fakultas Kedokteran.
Uang pangkal di UHO dibayar ketika calon mahasiswa dari jalur seleksi lokal dinyatakan lulus. Dibayar hanya sekali –barangkali– ketika mereka mendaftar ulang. Uang ini untuk membantu perguruan tinggi mendanai peningkatan mutu perguruan tinggi, baik fasilitas maupun untuk kepentingan akreditasi yang lebih baik. Aturan membolehkan perguruan tinggi mencari dana lain di luar alokasi APBN.
Menurut pihak UHO, setiap jurusan berbeda nominal uang pangkalnya. Tinggi rendahnya didasarkan pada tinggi rendahnya peminat masing-masing jurusan.
“…Jadi tidak ada pilihan lain, kalau mau cari yang lebih murah berarti fakultas yang lebih rendah peminatnya. Karena tingginya pembayaran uang pangkal ini ditentukan tinggi atau rendahnya peminat,” kata Kepala Kehumasan UHO Maulid seperti diberitakan tegas.co, Jumat, 7 Juli 2017.
Penjelasan Humas UHO bisa juga dimaknai bahwa tinggi rendahnya uang pangkal ditentukan favorit tidaknya sebuah jurusan. Ada esensi yang agak ternafikan dari kebijakan itu, yakni tingkat inteligensia calon mahasiswa dan kemampuan ekonomi. Ini persoalan klasik sesungguhnya. Debat-debat fundamental tentang kapitalisasi pendidikan. Namun, kita tidak akan kesana membahasnya.
Mahasiswa dengan kemampuan inteligensia yang lebih tinggi namun miskin akan terkendala oleh besarnya uang pangkal ini. Apalagi di setiap jurusan, ada tiga pilihan kelas uang pangkal. Misalnya, dari standar Rp 5 juta, Rp 10 juta, dan Rp 15 juta.
Secara tersirat, mereka yang sanggup membayar pada standar tertinggi akan memiliki peluang lulus lebih besar untuk lulus. Logika dagangnya begitu. Tapi UHO kan bukan hendak berdagang.
Pembagian besaran nominal uang pangkal dalam kelas-kelas seperti di atas seharusnya ditiadakan saja. Pilihannya cukup satu saja, karena mereka yang kaya juga akan berusaha memilih yang paling rendah nominalnya jika kesempatan itu ada. Hitung saja ambang “keekonomian” uang pangkalnya, lalu tetapkan satu angka.
Jika pilihan kelas uang pangkalnya lebih dari satu, maka kesan tentang “kita sedang memperdagangkan” kursi universitas terasa kental nuansanya. Jangan besar uangnya yang dibedakan, tapi cara membayarnya.
Uang pangkal dapat diangsur. Misalnya empat kali, dibayar setiap tahun sehingga tidak terlalu memberatkan. Mengacu pada standar perkuliahan S1 selama empat tahun. Mereka yang mampu, bisa bayar sekaligus. Mereka yang kurang mampu, bisa mengangsurnya.
Mau kuliah galau karena uang pangkal. Lulus kuliah mau nikah, galau karena uang panaik. Pendidikan harusnya mampu mengeliminir kegalauan. Hidup jangan dibikin susah. Uang panaik saja bisa diangsur apalagi uang pangkal. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis adalah Alumni UHO dan Pemerhati Sosial
jadi uang pangkal hanya di bayar di awal pendaftaran saja ? saya fikir di byara setiap semester?