Rektor Baru dan UHO Tanpa “Kami” dan “Mereka”

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Sejak Selasa (18 Juli 2017) siang, Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si, M.Si, M.Sc, resmi menjadi Rektor Universitas Halu Oleo (UHO). Proses pemilihan rektor yang berjalan sangat dinamis, riuh, dan memakan waktu lebih dari setahun akhirnya tuntas. Selesai.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Seperti dalam sepakbola, permainan dapat saja berlangsung keras, kasar, diwarnai aksi-aksi diving baik yang dilihat wasit maupun tidak, tapi setelah peluit panjang berakhirnya pertandingan ditiup, jabat tangan, tukaran kaos, saling rangkul, seharusnya menuntaskan segala hal yang panas dalam pertandingan.

Di Pilrek UHO yang menguras banyak energi civitas akademikanya, sebaiknya juga berakhir demikian. Pelantikan rektor adalah peluit panjang itu. Semua harus legowo. Semua harus bisa menerima kenyataan bahwa hanya satu orang yang bisa menjadi rektor dalam satu periode. Ada kejernihan kesadaran bahwa jabatan rektor bukanlah segalanya.

Terpenting dari segala hal yang mengawali empat tahun perjalanan UHO ke depan adalah tidak perlu lagi ada “kami” dan “mereka”. Jika “kami” kita notasikan sebagai pendukung Dr. Zamrun, dan “mereka” kita notasikan sebagai pendukung bukan Dr. Zamrun, maka setelah peluit panjang kemarin, “kami” dan “mereka” menjelma menjadi “kita”.

Notasi “kita” bermakna pendukung Rektor UHO, yang karena perjalanan takdir, membawa Dr. Zamrun sebagai nakhodanya. Pucuk pimpinannya. Suka tidak suka. Setuju tidak setuju. Bergembira atau kecewa. Itulah realitasnya. Dr. Zamrun bekerja untuk UHO. Tentu saja “kita” juga bekerja untuk UHO.

Ada dua hal atau tepatnya dua isu penting yang dapat mengakselerasi atau justru memperlambat proses terwujudnya “kita” jika direlevansikan dengan dinamika kompetisi pilrek kemarin. Pertama, isu plagiarisme. Kedua, arahan Menristekdikti dalam sambutan pelantikannya untuk merangkul semua elemen di UHO.

Tentang plagiarisme yang dituduhkan ke Dr. Zamrun, Kemenristekdikti sebagai lembaga tertinggi di negara ini yang diserahi tugas membuktikannya telah menyatakan bahwa karya itu bukan hasil plagiat. Mekanisme dan prosedur akademis telah ditempuh untuk itu.

Jika masih ada pihak yang tidak puas, dapat saja menempuh proses lain yang prosedural. Jika tidak prosedural, maka perlu berhati-hati karena bisa bersoal dengan hukum. Dan lagi pula, jika masih ada yang mempersoalkannya setelah kerja-kerja yang dilakukan Kemenristekdikti, “Napa seehh ampe segitunya?” Silakan dijawab di kedalaman dan kebeningan hati masing-masing.

Adanya suara-suara yang mendorong agar melaporkan pihak-pihak yang selama ini getol menyebarkan bahwa karya Dr. Zamrun adalah plagiat, seharusnya tidak perlu. Proses menuju “kita” akan melambat atau bahkan tidak akan terwujud sama sekali. Energi akan habis untuk saling balas membalas yang tidak produktif.

Isu penting kedua adalah arahan menteri untuk merangkul semua elemen di UHO. Kata kunci di sini adalah “merangkul”. Tidak selalu terjemahannya “bagi-bagi jabatan” untuk dapat dikatakan merangkul. Dia dapat dimaknai tidak menyulit-nyulitkan sesuatu yang sebetulnya bisa dimudahkan. Tidak melambat-lambatkan urusan yang seyogyanya bisa dipercepat, hanya karena mereka yang sedang berurusan itu adalah kelompok yang dulunya berstatus “mereka”. Selama dalam kerangka untuk membangun UHO, tidak boleh ada upaya mempersulit atau memperlambat.

Atas dua isu ini, mari kita berkaca pada kelapangan dada Buya Hamka di masa Demokrasi Terpimpin, dimana ketika itu melalui media pro-PKI, Bintang Timur, yang menyisipkan rubrik seni-budaya bertajuk “Lentera”, secara gencar menyudutkan dirinya.

Pemerintah melarang bukunya beredar dan Lentera menyetujuinya. Rubrik Lentera dipimpin oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pemerintah juga menuduh Buya Hmaka berkomplot untuk merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri, yang membuatnya dipenjara selama dua tahun empat bulan.

Dalam kata pengantar Taufiq Ismail pada buku berjudul “Ayah…” tulisan Irfan Hamka, dikatakan, pada tahun 1969 setelah bebasnya, saat berceramah di hadapan Dewan Kesenian Jakarta, Buya Hamka ditanya dua hal.

Pertama, pendapatnya tentang pelarangan buku Pram. Kedua, sikapnya terhadap Pram yang menghancurkan nama baiknya di Lentera selama kurang lebih dua tahun.

Buya Hamka menjawab yang pertama. Dia tidak pernah setuju dengan pelarangan buku Pram. Jika tidak suka pada isi sebuah buku, tandingi dengan menulis buku. Soal persetujuan Lentera dan –tentu saja– Pram atas dilarangnya buku Buya Hamka saat itu, ia memaafkannya.

Pertanyaan kedua tentang penghancuran nama baiknya, Buya Hamka pun sudah memaafkan semua yang terlibat. Novelis Iwan Simatupang, disaksikan oleh penyair Taufiq Ismail, meneteskan air mata atas kebeningan hati sang cendekiawan.

Civitas akademika UHO perlu bercermin dari Buya Hamka. Cermin selebar-lebarnya oleh mereka yang menyebut diri “kami”. Cermin sebening-beningnya oleh mereka yang menyebut diri “mereka”. Di sana akan ditemukan sesuatu yang bernama “kita”. Itu indah.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini