“Keluhan warga pengguna layanan seringkali muncul bukan hanya karena ketidakpastian waktu dan biaya tetapi juga karena cara pelayanan yang mereka terima seringkali melecehkan martabatnya sebagai warga negara (Dwiyanto dkk.,2002)”.
Kutipan kalimat di atas merupakan gambaran betapa buruknya birokrasi di Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mengkaji pelayanan publik di Indonesia, pada tahun 2001 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM menemukan lebih dari 50% pengguna jasa layanan pernah melakukan keluhan terhadap aparat birokrasi terkait dengan kualitas pelayanan yang di terimanya. Data ini memang terbilang lama dan tidak dapat di generalisir, tetapi paling tidak fenomena birokrasi seperti ini masih di rasakan di berbagai daerah termasuk Kota Baubau. Praktik penyelenggaraan pelayanan publik terbilang tidak banyak mengalami perubahan meski roda kepemimpinan sudah beberapakali berganti.
Masih segar dalam ingatan, kasus orang tua miskin yang di rawat di kamar mayat merupakan kondisi yang sangat patut untuk di sesalkan. Tidak hanya itu, berita paling terbaru saat ini ada seorang kakek tua yang sempat terlantar di tanah menjadi gambaran bahwa boboroknya manajemen pelayanan publik, khususnya pada bidang kesehatan di Kota Baubau. Pelayanan publik sudah seperti rimba raya yang selalu menyulitkan dan membingungkan masyarakat. Tidak dapat di pungkiri, seringkali warga sebagai pengguna layanan masih di perhadapkan dengan ketidakpastian saat berinteraksi dengan para birokrat. Realitas pelayanan kesehatan seperti ini semakin membuktikan bahwa jargon birokrasi sebagai abdi masyarakat hanya sebatas slogan semata. Responsifitas yang di tunjukan oleh aparat birokasi kita masih perlu sangat jauh dari harapan.
Oleh karena itu, tulisan ini lebih fokus mengangkat mengenai responsivitas sebagai salah satu kriteria dalam penilaiau kualitas pelayanan publik. Terkhusus lagi yang berhubungan dengan kejadian seorang kakek Asal kapuntori yang sempat di telantarkan di RSUD Kota Baubau. Responsifitas memang sangat di perlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenal kebutuhan masyarakat (Dwiyanto:2012). Organisasi memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga (Osborn & Plastrik,1997).
Berdasarkan klarifikasi yang di sampaikan di beberapa media, pihak rumah sakit sebenarnya tidak menolak pasien tersebut, akan tetapi hanya terjadi miss komunikasi. Saat itu, keluarga korban langsung ke gedung poli dan membawa kartu BPJS yang di peruntukan bagi pasien rawat jalan yang harus membutuhkan surat rujukan. Kasi Humas RSUD mengatakan: harusnya jika memang butuh penangan langsung lebih tepatnya melapor ke UGD tanpa harus membawa surat rujukan (Butonpos/15/9/17).
Selain itu, pihak keluarga juga tidak memberikan informasi dengan jelas kepada pihak rumah sakit terkait kondisi korban. Pada akhirnya petugas rumah sakit tidak mengetahui kalau pasien sudah dalam keadaan lemas dan terbaring di tanah. Keterangan ini mengisyaratkan bahwa rendahnya responsivitas pelayanan bukan semata-mata di sebabkan faktor aparat saja, melainkan di karenakan juga dari pengguna jasa itu sendiri.
Kedengarannya memang agak rasional, tetapi sebenarnya tidak beralasan jika kita melihat kondisi yang di alami oleh korban. Pihak rumah sakit cenderung menyalahkan masyarakat akibat dari ketidaktahuan mereka. Padahal seandainya aparat yang bertugas di loket tersebut menemukan keluarga pasien yang terlihat kebingungan dengan prosedur, maka semestinya perlakuan dalam memberi layanan bisa lebih proaktif lagi. Bukan acuh begitu saja ketika masyarakat tiba-tiba pergi dengan kekecewaan, kebingungan karena tidak mendapat kepastian pelayanan sebagaimana yang di harapkan. Apabila muncul inisiatif, respon dan rasa kepekaan yang tinggi dari aparat maka sudah pasti pihak RSUD dengan sendirinya dapat mengetahui kondisi dan dapat langsung menangani secara cepat sesuai yang di inginakan keluarga korban.
Pada posisi ini, aparat yang bertugas memang terkesan kurang peka dan minim inisiatif untuk membantu, memberi informasi prosedur secara jelas kepada pengguna jasa. Aparat yang bertugas terlihat acuh dan arogan, bahkan untuk menanyakan kesulitan dan memberikan kejelasan kepada pengguna jasa masih sanagat minim. Aparat birokasi kita terlihat sangat tidak memiliki empati kepada pengguna jasa, apalagi warga yang kebetulan datang berasal dari desa dengan penampilan pakaian yang sederhana. Selain itu, fenomena ini juga memperlihatkan bahwa sistem pelayanan kita masih sangat formalistik dan di terapkan secara kakuh sehingga tidak berdasar kepada kepentingan pengguna layanan.
Sesuai pengalaman di lapangan, memang masih sering di temukan aparat yang bertugas terkesan sangat acuh dan arogan, serta jarang menyapa untuk sekedar menanyakan kesulitan pengguna jasa. Orientasi pelayanan publik kita terasa tidak bersandar pada kepuasan, melainkan bertindak pada prinsip prosedural yang terkadang bukan bagian dari substansi pelayanan. Karakter seperti ini memang masih sering di jumpai di seluruh instansi manapun. Pola pikir birokrasi dan aparatnya yang lebih mengedepankan prosedur dari pada fungsi pelayanan sebenarnya adalah warisan birokrasi masa lalu, yaitu ketika birokrasi masih di jadikan alat untuk kekuasaan oleh pemerintahan kolonial dan OrdeBaru.
Pesan yang ingin di sampaikan disini yaitu perlu adanya transformasi karakter birokrasi yang lebih responsif. Menempatkan masyarakat bukan sebagai objek pelayanan yang harus menurut setiap kehendak aparat, melainkan sebagai subjek dari pelayanan itu sendiri. Artinya pengguna jasalah yang seharunya dapat menentukan kualitas pelayanan yang di inginkan dan apa yang harus di lakukan oleh aparat birokrasi. Bukan sebaliknya menjadikan masyarakat lemah sehingga tidak memiliki peran dan posisi tawar yang menentukan, bahkan tereksploitasi oleh aturan dan prosedur yang di ciptakan birokrasi secara sepihak. Soal prosedur dalam pelayanan, sebenarnya birokrat pada level bawah tidak perlu cemas, karena negara memberikan jaminan diskresi demi mewujudkan kepentingan publik. Artinya negara memberikan ruang dan memaklumi bagi birokrat untuk mengkesampingan prosedur tersebut sepanjang berkaitan dengan kepentingan publik demi menutup gap, keterbatasan pada kebijakan/pedoman yang sudah di susun. Dengan demikian dibutuhkan respon dan inisiatif yang tinggi dari aparat pelayanan publik sehingga jasa yang di tawarkan oleh birokrasi benar-benar dapat merespon cepat, menjawab dan melayani tuntutan publik.
Oleh : Syahril Haruddin
Penulis Merupakan Mahasiswa Pasca Manajemen Dan Kebijakan Publik UGM