Sinonggi dan Sumpit yang Hilang

Sinonggi dan Sumpit yang Hilang
Sinonggi - Seorang pelanggan tengah meracik makanan Sinonggi. (Kiki/ZONASULTRA.COM)
Sinonggi dan Sumpit yang Hilang
Sinonggi – Seorang pelanggan tengah meracik makanan Sinonggi. (Kiki/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI– Tak sulit menemukan Rumah Makan Aroma Kendari milik Sri Dewi Tombili. Rumah makan yang menempati rumah toko (ruko) ini berada di Jalan La Ode Hadi, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Rumah Makan Aroma Kendari berada di bagian belakang jalan poros, sederet dengan beberapa ruko dan Swalayan Metro Kendari. Namun, para pelanggan tidak merasa kesulitan mencari rumah tersebut.

Rumah makan ini buka dari sekitar pukul 09.00 sampai sekitar 21.00. Pengunjungnya sangat banyak. Setiap hari, bisa didatangi sampai seratus pengunjung. Mereka ingin menikmati sinonggi, makanan khas Suku Tolaki, Kendari.

Sinonggi adalah makanan yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, ia dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski memiliki kemiripan bahan, namun ia berbeda pada cara penyajian. Pada sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal (dabu-dabu), atau bumbu lainnya. Peracikannya diserahkan kepada selera masing-masing pengunjung.

“Ada sayur bening dan sayur santan. Kuah ikannya, ada ikan putih dan ikan kerapu. Sedangkan kuah dagingnya, ada daging ayam dan daging sapi yang dimasak tawooloho. Tawooloho (artinya) dimasak dengan daun belimbing asam,” kata seorang pelayan di Rumah Makan Aroma Kendari.

Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam. Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas (sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.

Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.

Harga yang dikenakan untuk sinonggi berbeda-beda, yakni antara Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per porsi. Harga ini ditentukan dari lauk yang digunakan. Untuk pengunjung yang tak memilih sinonggi, sejumlah menu lain, seperti nasi putih, ikan bakar, ikan goreng, dan ayam goreng. Rumah Makan Aroma Kendari juga menyajikan aneka ragam minuman, mulai dari minuman kemasan, jus buah, kopi, dan teh pahit.

Mungkin karena harganya yang relatif mahal, pengunjung yang datang pun berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka umumnya pengusaha dan orang-orang kantoran yang memiliki asal usul dari Tolaki.

Di Kendari, rumah makan milik Sri Dewi Tombili memang menempati posisi istimewa di kalangan masyarakat. Sebab ia yang mempelopori penjualan sekaligus mengenalkan makanan khas Kendari. Apalagi, meski khas Kendari, rumah makan yang menjual sinonggi tidak sampai sepuluh tempat. Bahkan, makanan ini nyaris tak dapat ditemui di kabupaten dan kota lain di Sulawesi Tenggara.

Sri Dewi mengaku, rumah makan yang ia dirikan bersama suaminya ini memang ditujukan untuk mengangkat makanan khas Kendari yang selama ini secara turun temurun, hanya dikonsumsi di dalam rumah-rumah suku Tolaki. Sinonggi sebelumnya tak dikenal lebih luas dari itu.

“Kaum pendatang tak tahu makanan ini,” kata Sri Dewi yang asli Tolaki.

Bahkan, Sri membuka rumah makan Aroma Kendari dengan menu yang sama di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Daerah ini terkenal dengan banyaknya perusahaan tambang.

Kini, warung atau rumah makan yang menyajikan makanan khas Kendari seperti Sinonggi mulai bermunculan di kota Lulo ini.

Tapi, sebagai makanan khas, dari mana Sinonggi berasal? Dari sejumlah penelitian yang dilakukan, sebetulnya tak ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi Sinonggi. Yang jelas, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sama seperti beras.

Ada mitos bahwa pohon sagu tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut Sowurere, yang artinya suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu. Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka.

Namun demikian, versi berbeda juga berkembang di masyarakat. Disebutkan bahwa pohon sagu tersebut, yang tumbuh di rawa-rawa, sebetulnya berasal dari Maluku.

Sementara, untuk nama sinonggi sendiri, Muslimin Suud, budayawan Tolaki, mengatakan itu berasal dari kata posonggi. Posonggi (bahasa Tolaki) merupakan alat yang digunakan untuk mengambil makanan. Semacam sumpit. Ia terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter.

Sumpit inilah yang kemudian digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara menggulung, sinonggi dimasukkan ke dalam piring yang telah diisi racikan kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Dan dengan sumpit itu pula gulungan sagu kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut.

Dulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yg terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah odula. Sayang perubahan waktu, orang tidak lagi menyimpan sinonggi dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Ada rasa yg berbeda menyimpan sinonggi dalam dulang kayu dan baskom kecil yang pasti rasa sinongginya sangat legit.

Seiring perkembangan zaman, sumpit menghilang. Pada saat makan, orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok.

“Sinonggi ini, merupakan makanan sekunder Suku Tolaki. Pengganti beras pada masa paceklik,” tambah Muslimin Suud yang juga mantan dosen Sejarah Sulawesi Tenggara di Universitas Haluoleo Kendari. (Tulisan ini pernah dipublis di Kompas.com)

 

Penulis : Kiki