“Dipersimpangan waktu aku melihat dua tugu.
Yang satu ramai riuh bersinar gemerlap lampu.
Yang lainnya sunyi sepi berselimut debu,
Disudut jalan kampung halamanku”.
Mungkin tuhan memang sengaja menciptakan kenikmatan berpasang-pasangan. Seperti kopi dan tembakau. Dan dua hal ini juga yang memaksaku menepikan kendaraan di salah satu kedai kopi yang terletak di sudut persimpangan jalan tugu kota budaya ini. Ada banyak alasan mengapa aku menyukai tempat ini. Selain menawarkan kenikmatan kopi khas Gayo dan tembakau kretek gulser (gulung sendiri). Pemandangan malam hari tugu maskot kota jogja dengan gemerlap lampu dan keramaian wisatawan seolah tak pernah berhenti memberi warna pada keromantisan kota ini. Seperti yang dikatakan gubernur Jakarta; “bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja pasti setuju, setiap sudut kota Jogja itu romantis”. Ya, setiap sudut. Aku setuju dengan pendapat Anis Baswedan. Tapi malam ini biar kunikmati keindahan dan rasa lain yang ditawarkan sudut tugu ini. Sebab tugu ini membawa kenangan dan kerinduanku pada tugu lain yang terletak +/- 2.000 km jauhnya ke arah timur laut di kampung halamanku.
Tugu Brimob Poleang. Tentu tak seperti tugu kota ini yang sangat familiar dan hampir tiap hari selalu muncul di layar televisi untuk mengambarkan Jogja. Tapi tugu Brimob Poleang adalah ketidakasingan yang dirindukan dalam kenangan bagi perantau sepertiku dan siapapun yang pernah tinggal dan hidup di Poleang.
Entah bagaimana kondisinya sekarang? Tak mungkin bisa kugambarkan dengan jelas, sebab sudah 4 masa kutinggalkan monumen tempat kelahiranku itu dan sepertinya banyak hal disekitarnya yang berubah sejak terakhir melihatnya. Yang bisa kuceritakan hanya kenangan yang terekam berasama monumen tugu itu. Tapi sayangnya rokoku sudah jadi abu sejak tadi. Ya, terpaksa kesadaranku pada kenangan harus kembali untuk menggulung tembakau kretek khas Temanggung ditoples yang disediakan diatas meja. Habis mau bagaimana lagi, mbok ya rasanya kaya ada yang kurang kalau harus bernostalgia ke masalalu tanpa ditemani asap rokok dan kopi. Belum lagi keramaian wisatawan dan sempritan tukang parkir yang mengganggu ketenangan. Selain itu rasanya sukar kembali berkontemplasi jika kesadaranku slalu digoda dengan senyum dan sapaan para SPG cantik nan manja yang datang menawarkan produknya. Jadi bayangkan saja betapa sangat membantunya rokok dan kopi ini. Berkat keduanya aku jadi lebih mudah diculik rindu dan kenangan pada kampung halaman.
Baiklah, meski awalnya tak begitu yakin bagaimana menceritakannya. Tapi untung saja beberapa rombongan truk polisi dengan bumper dan velg merah khas korps Brimob melintas dan itu membantuku mengingat beberapa hal tentang kampung halaman. Termasuk seorang sahabat yang juga merupakan anggota satuan elit dan paling tua dikepolisian itu.
Entah bagaimana kabarnya sekarang, sebab sudah cukup lama kami tak berkomunikasi. Kabar terakhir yang ku tahu ia sedang menjalani tugas BKO di Papua. Ya, mungkin beginilah proses kehidupan. Waktu dan kesibukan cendrung membuat jarak dan hubungan kita sebagai manusia makin jauh satu sama lain. Tapi berkat dia aku jadi sedikit tahu beberapa hal tentang sejarah perjuangan kemerdekaan. Pernah suatu ketika ia berbagi cerita tentang kisah dibalik peristiwa hari pahlawan 10 November 1945. Saat itu 3 anggota Tokubetsu Kaisatsu Tai (cikal bakal Brimob) yang menyandera pemimpin polisi Jepang lalu bahu-membahu bersama para laskar pejuang dan arek suroboyo dalam pertempuran yang menewaskan pimpinan sekutu A.W.S Mallaby. Tidak sedikit darah yang tercurah dalam perjuangan dasyat itu dan semangat itulah yang diabadikan pada bumper dan velg kendaraan berat korps Brimob.
Di sulawesi Tenggara sendiri monumen tugu Brimob cukup banyak dijumpai di beberapa tempat sebagai prasasti sejarah perjuangan meraih kemerdekaan. Beberapa waktu lalu juga kuketahui dilakukan napak tilas dari satuan brimob Polda Sultra kesetiap daerah termasuk di tugu Brimob Poleang yang letaknya tepat disudut perempatan jalan alun-alun lapangan merdeka. Yang paling kurindukan dari monumen tugu itu adalah saat perayaan 17-san. Sebab sepertinya hanya pada moment itu wilayah sekitar tugu dan jalanan yang dilalui peserta lomba gerak jalan seketika jadi ramai tumpah ruah.
Sebagai acara puncak perayaan hari kemerdekaan, lomba gerak jalan memang slalu jadi magnet hiburan utama yang menarik perhatian masyarakat. Habisnya apalagi yang bisa membuat ramai kampung halamanku itu??.. Paling jauh juga kalau sedang kedatangan artis dangdut ibu kota saat pilkada. Itupun 5 tahun sekali dan juga belum tentu ada jika calon kepala daerah yang berkompetisi tak cukup mimiliki budget menyewa artis dangdut terkenal mengobral janji kampanye lewat suara sexy dan goyangan sensasional untuk mengarahkan hasrat para pemilih, khususnya kaum laki-laki agar tak tahan segera mencoblos di bilik. Tentu bilik yang kumaksud disini adalah bilik demokrasi pemilu, bukan yang lainnya. Sedang untuk kaum hawa, cukup diberi sembako dan diajak berfoto saja. Niscaya suara sudah dipastikan aman.
Tapi sudahlah, toh aku sedang menceritakan soal tugu. Apa urusannya juga soal pemilu dan coblos-mencoblos. Soal itu biar dipusingkan para politikus saja. Pokoknya ini soal tugu titik!! Loh kan, sekarang sampai lupa dimana tadi kenangan membawaku. Ah, ini semua gara-gara goyangan dan urusan coblosan. Sekarang malah jadi sulit lagi kembali kemasa nostalgia indah itu. Penderitaanku makin ditambah lagi dengan kopi digelas yang ukuranya kikir ini ternyata sudah bocor.
Ya sudahlah, sepertinya malam yang mulai larut memang menyuruhku untuk pulang beristirahat. Tapi sialnya bahkan setelah merebahkan badan dikamar serta memejamkan mata, aku masih melihat kedua tugu tadi, khususnya tugu di Brimob Poleang dan cerita yang ada bersamanya. Meski sudah mencoba memaksakan diri untuk tertidur dengan berguling-guling kesegala penjuru kasur, tapi akhirnya siksaan kenangan terpaksa membuatku mengalah untuk menuruti keinginannya bernostalgia. Ya, lagi pula takan ada yang suka dengan cerita tanpa klimaks dan berakhir menggantung ; “kisah tanpa akhir yang jelas itu sangat mengganjal. rasanya seperti habis makan nasi padang tapi tak punya tusuk gigi untuk membersihkan mulut”. Kata seorang teman sok bijak yang kukenal. Sepertinya dia benar dalam kasus ini.
Sejurus kemudian kubuka laptop dan coba melihat-lihat foto masalalu tentang kenangan kampung halaman. Dan alhamdulillah aku bersyukur untuk hal itu. Ternyata masih ada cukup file yang tersimpan untuk membantu menelisik ingatan. Memang secara sengaja sempat ku scan beberapa foto lama yang ada dalam album biru kusam di lemari tua rumah sewaktu tahun-tahun awal berangkat kuliah. Beberapa foto Polaroid (hitam putih) tentang keluarga dan masa kecil masih ada. Begitu juga diantaranya kumpulan gambar lama masa sekolah dasar dan menegah yang sesekali kurindukan, khususnya pada saaat lomba gerak jalan. Meski foto-foto yang diabadikan dengan kamera tustel(bukan tusuk telinga) itu sudah dihiasi dengan bintik-bintik air dengan warna yang buram, namun masih bisa kukenali wajah-wajah teman lama dan segala kekonyolan yang pernah mereka lakukan. Dengan mengingatnya kembali, rasanya aku harus siap dianggap gila sementara oleh tetangga kamar karna tertawa cekikikan seorang diri ditengah malam. Palingan juga mereka salah menduga dan merasa kasihan dengan tingkah aneh seniornya yang tak kunjung lulus ini. Jadi ya tak apalah, mereka pasti cukup maklum.
Tapi satu hal yang baru kusadari setelah memperhatikan deretan foto-foto usang tadi memberiku kesimpulan bahwa hampir sebagian besar foto tadi diambil dengan latar belakang tugu Brimob Poleang. Entah mengapa juga tugu ini jadi background yang paling sering dipakai untuk berfoto bagi anak-anak sekolah era 90 atau 2000-an. Dengan kamera tustel yang skala dan jumlahnya terbatas, tentu jangan harap bisa menemukan foto-foto selfi dan groovy atau semacamnya seperti pose kids jaman now. Saya yakin mereka yang saat ini sudah berusia 20 tahun keatas pasti akan mengerti dan tersenyum sendiri. Kalau tak percaya, silahkan saja membuka lagi album tua dirumah masing-masing dan melihat kenangan lama. Yang kalian temukan pasti tak jauh beda dengan yang kulihat.
Gerombolan anak-anak dengan seragam unik peserta lomba gerak jalan berjejer dengan wajah lugu. Para siswa putra berjongkok dengan tangan saling merangkul bahu bak pose poster-poster tim sepak bola. Sementara siswa putri terlihat berdiri kaku tanpa ekspresi bersama guru. Dengan Kesederhanaan semacam itu, tugu brimob Poleang telah menjadi saksi bisu atas perjalanan waktu dan perubahan anak-anak tadi. Sekarang ini ada banyak diantara mereka telah berhasil dengan seragam kesuksesan dalam profesi dan bidang kerja masing-masing. Sebut saja, Mulai dari polisi, tentara, perawat dan tenaga kesehatan atau bahkan banyak diantaranya menjadi guru yang tentu akan melahirkan para generasi baru yang lebih maju.
Ah, betapa indahnya momen seperti itu, rasanya kalau sempat bertemu dengan doraemon ingin sekali meminjam mesin waktu dari kantong ajaibnya. Kalaupun harus menyewa dengan modal 20-ribuan masih bisalah. Paling kusodorkan saja kopi dan tembakau kretek 234, tentu doraemon akan berpikir dua kali untuk bilang tidak.
Ya sudahlah, malam yang makin pekat menandakan fajar baru tak lama lagi mengambil tempatnya. Imajinasi yang liar tak bisa lagi diteruskan. Cukup dulu nostalgia dan segala yang tersimpan didalamnya. Kesadaranku atas kenangan mesti kukembalikan lagi pada kenyataan. Mungkin Inul Daratista memang benar bahwa “masa lalu biarlah jadi masalalu”. Hari ini adalah hari ini dan “Aku hadir di hari ini” kata penyair lawas idolaku Ir. Bandaharo dalam buku kumpulan puisinya yang ditulis dalam pengasingan penjara pulau Buruh. Lagi pula masih ada urusan yang harus kurampungkan agar bisa pulang. Sesuatu yang sudah dimulai mesti diselesaikan. Sudah begitulah hukum alam, termasuk barang haram yang disebut skripsi itu. Habis mau bagaimana lagi, sejak terahir kutengok daun pintu rumah janjiku untuk tak kembali sebelum kudapatkan apa yang kuinginkan sudah final dan mengikat. Sesekali untuk pulang selama 4 tahun dirantau ini harus kutahan dan lagu Armada “pulang malu tak pulang rindu” rasanya sangat menyindirku. Tapi tak apalah, sebagai seorang bugis sekali layar terkembang pantang biduk surut kepantai. Pribahasa lain yang diceritakan dari orang tua dikampung dulu juga selalu menjaga asa dalam diriku. “Saat perahumu berlabuh ditanah rantau, tanamlah pohon kelapa dan kau baru boleh pulang kalau sudah menikmati buahnya”.
Kalimat wejangan yang sarat makna itu slalu tergiang dikepalaku. Meskipun dengan rasa mangkel pernah ku kritisi analogi pohon yang digunakan dalam pribahasa itu. Mengapa juga harus menggunakan pohon kelapa sebagai analogi. Tak bisakah diganti dengan pohon lain, pohon pisang atau mangga misalnya?. Bayangkan saja, pohon kelapa umumnya baru bisa berbuah diatas umur 6 tahun. Tapi pada akhirnya waktu dan pengalaman memberiku jawabannya. Bahwa falsafah orang tua dahulu pasti mengandung makna yang dalam. Bahkan frase yang digunakan mengandung nilai-nilai bijak yang mampu bertahan dalam gempuran zaman dan terus bersemayam dalam diri setiap generasi sebagai jalan hidup serta kearifan kebudayaan. Nilai-nilai petuah seperti tadi mungkin dapat menjelaskan bagaimana daya survive dan kebulatan tekad para perantau dari tanah bugis. Nah, sekarang tinggal melihat apa yang bisa kubuktikan dengan semua warisan kearifan itu. Biar kulihat seberapa bugis diriku untuk secepatnya pulang menemui tugu yang jadi saksi atas kenangan kampung halamanku.