ZONASULTRA.COM, KENDARI – “Hulu” dari setiap penyelenggaran Pemilihan Umum (Pemilu) yang bersih dan berintegritas adalah tahapan seleksi di level Bawaslu dan KPU. Bila dalam proses seleksi kedua lembaga ini sudah bagus, maka akan membawa dampak positif pada setiap penyelenggaraan pemilihan di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Hal itulah yang menjadi pembahasan dan perhatian serius dalam konsolidasi demokrasi sejumlah lembaga seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Aliansi Perempaun (Alpen) Sultra, dan lembaga lainnya dengan melibatkan dedengkot aktivis Sultra yang digelar di Kantor Walhi, Jumat (20/4/2018) sore hingga malam.
Di Sultra, dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilu 2019 telah dilakukan seleksi KPU dan Bawaslu. Seleksi Bawaslu provinsi sudah selesai sedangkan seleksi KPU provinsi dan kabupaten kota sedang berlangsung.
“Bagi kami di masyarakat sipil ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam tahapan rekrutmen seleksi di Bawaslu maupun di KPU, utamanya dari sisi regulasi terkait dengan peraturan Bawaslu dan peraturan KPU. Ini tentu kita ingin memberikan masukan yang konstruktif agar bagaimana kelemahan-kelemahan dalam juknis (petunjuk teknis) itu bisa diperbaiki,” ujar Direktur Walhi Sultra Kisran Makati.
#Kelemahan Peraturan Bawaslu
Dalam juknis peraturan Bawaslu (Perbawaslu) membatasi pihak lain untuk direkrut sebagai penyelenggara pemilu. Misalnya dalam poin perbawaslu tentang pengalaman kepemiluan. Hal ini menjadi syarat untuk lolos administrasi seleksi Bawaslu.
“Kalau kita tidak memiliki pengalaman kepemiluan itu dipastikan tidak lolos. Itu kemudian menguntungkan penyelenggara maupun mantan penyelenggara karena hanya mereka yang pasti memiliki pengalaman kepemiluan, artinya dia sudah memiliki poin,” tutur Kisran.
Hal itu membatasi pihak atau peserta lain yang tidak pernah menjadi penyelenggara pemilu. Padahal kata Kisran, perlu ada kesempatan yang sama dalam setiap rekrutmen penyelenggara pemilu.
#Kelemahan Timsel
Tim seleksi (Timsel) ada di KPU dan ada di Bawaslu sebagai pihak yang pertama melakukan seleksi penyelenggara pemilu. Namun ditemukan bahwa timsel yang dibentuk tidak melalui uji publik yang panjang. Sehingga ketika sudah bekerja baru diketahui bahwa ternyata ada oknum Timsel yang tidak cakap.
“Misalnya Timsel Bawaslu dan beberapa Timsel di KPU provinsi maupun Timsel KPU kabupaten/kota. Misalnya dibawaslu kita bilang tidak cakap karena baru saja melakukan rapat perdana oknum Timsel itu sudah bicara ‘orang’. Artinya dari proses awal sudah terpolarisasi,” ungkap Kisran yang pernah mengikuti seleksi calon anggota Bawaslu pada 2018 ini.
Dengan adanya perisitiwa yang demikian maka Timsel yang dilahirkan hanya untuk membawa orang-orang tertentu tanpa melakukan seleksi yang panjang secara baik. Kata Kisran, Kalau kondisinya seperti itu maka Timsel tidak perlu melakukan seleksi, cukup langsung menunjuk orang.
#Pihak Bermasalah Diloloskan
Timsel KPU dan Timsel Bawaslu dalam melakukan rekrutmen penyelenggara pemilu mestinya lebih terbuka. Sebab kata Kisran, ada temuan bahwa pihak-pihak bermasalah diloloskan oleh Timsel padahal pernah melanggar kode etik maupun karena secara kesehatan bermasalah.
“Rujukannya adalah putusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Kita lihat di hasil yang dilahirkan oleh Timsel Bawaslu justru ada beberapa orang yang lolos 10 besar padahal pernah disanksi DKPP, itu membuat kepercayaan publik menjadi tidak baik kepada Timsel dan Komisioner Bawaslunya,” tutur Kisran.
Hal ini menurut Kisran merupakan sesuatu yang fatal. Sebab, bila dari awal sudah bermasalah maka ketika menjabat, penyelenggara pemilu akan tersandra dengan masalahnya sendiri, baik itu karena masalah kode etiknya maupun masalah-masalah yang lain.
#Masalah Transparansi
Kemudian dalam melakukan seleksi, Timsel semestinya tidak menutup-nutupi sesuatu kalau perlu hasil penilaian diumumkan dengan baik. Kisran mencontohkan dalam tahapan wawancara seleksi KPU provinsi dalam kasus tidak lolosnya Hidayatullah (incumbent/Ketua KPU Sultra).
“Dia (Hidayatullah) hanya ditanya masalah seputar KPK, tidak ditanya masalah seputar kepemiluan. Teman-teman saat itu ada (menyaksikan) pada saat wawancara. Tetapi dalam penilaiannya Timsel justru ada nilai kepemiluan dan pengetahuan undang-undang. Artinya ini juga menjadi pembohongan dan semestinya tidak ditutupi hasilnya,” beber Kisran.
Dari awal yang ingin didorong adalah pemilu bersih dan berintegritas. Menurur Kisran, kalau dari hulu sudah bermasalah seperti sekarang ini dalam rekrutmen KPU dan Bawaslu maka apalah yang bisa diharapkan untuk mengawal demokrasi pada Pilkada serentak 2018, Pilcaleg 2019, dan Pilpres 2019.
Beberapa kelemahan itu merupakan evaluasi yang dibahas dalam pertemuan konsolidasi demokrasi tersebut. Kata Kisran, yang bisa didorong saat ini adalah bagaimana agar proses-proses rekrutmen selanjutnya di lembaga kepemiluan maupun lembaga-lembaga publik lain harus lebih baik. (A)