Tentang sabar. Ada sebuah ilustrasi: seorang pria paruh baya mengeluh bahwa suasana rumahnya tidak menyenangkan. Anak-anaknya tidak bisa diatur. Cucunya pada bikin ulah saja di rumah. Jadinya, dia selalu marah-marah. Tiap hari dia ribut dgn anak dan cucu-cucunya. Hatinya menjadi sempit dan kurang bahagia.
Dia pun curhat ke seorang ustadz. Dan singkatnya diminta sabar. Sebulan berselang, dia kembali ke sang ustadz. Mengajukan protes.
“Ustadz bilang, obat dari masalah hatiku ini hanya sabar. Saya sudah sabar. Tapi, beberapa hari ini saya sering pusing dan mata berkunang-kunang mau pingsan. Saya ke dokter, katanya tekanan darah bapak naik. Bapak harus sabar. Saya bilang, saya ini malah sudah sabar hampir sebulan. Tapi malah tekanan darah saya naik. Gimana nih Pak Ustadz, kok malah kesabaran saya tidak menjadi solusi?” papar bapak itu panjang lebar.
“Apakah yang bapak maksud sebagai sabar adalah mencoba menahan, memendam, dan menyimpan rasa marah dan kesal di dalam hati? Hanya sekadar tidak melampiaskannnya ke permukaan? Tanya sang ustadz
“Iya,” jawab sang bapak.
Dari ilustrasi singkat ini ada dua terminologi yang harus jelas. Sabar dan menahan diri. Sabar berbeda dengan menahan diri. Menahan diri dari rasa kesal, marah, dan perasaan tidak senang lainnya hanyalah upaya memindahkan rasa itu ke tempat lain.
Orang yang tidak mampu menahan diri menyimpan rasa tidak senangnya ke permukaan yang bisa teraktualisasi dalam bentuk marah-marah dan terlihat oleh orang sekitarnya. Sedangkan orang yang mampu menahan diri, “berhasil” memindahkan (atau barangkali mempertahankan) rasa tidak senangnya itu di dalam hati saja.
Rasa tidak senang itu tetap ada. Gundah gulana, amarah, dan saudara-saudaranya itu tetap hadir. Hanya berbeda tempat. Satu berada di raut wajah dan mulut, yang satunya melekat di hati. Dengan menahan diri, rasa itu tidak hilang. Inilah yang menjelaskan kenapa tekanan darah sang bapak tadi naik setelah rutin menahan diri selama sebulan.
Lalu dimana letak sabar? Sabar adalah upaya menghilangkan perasaan tidak senang itu dari hati, dan pada gilirannya di raut wajah dan mulut. Sabar adalah memahami bahwa apapun yang terjadi atas diri adalah kehendak Allah.
Memahami bahwa segala sesuatu yang akan tertuju kepada diri kita, tidak akan pernah meleset jika itu sudah takdir seberapapun kuatnya kita menghindar. Dan segala sesuatu yang tertakdir tidak tertuju ke diri kita, tidak akan pernah mengenai kita meski seluruh dunia berkontribusi mengarahkannya ke kita. (Catatan: ini kerap menjadi wacana yang sering memicu perdebatan panjang).
Sabar adalah memahami bahwa domain manusia adalah berupaya. Hasil adalah domain Zat yang Maha Tinggi. Jangan pernah mencoba mengambil alih domain Sang Maha Kuasa. Jika tidak, mungkin kita semua akan seperti bapak itu. Hanya mampu menahan diri, bukan bersabar. Dan tunggulah, tekanan darah kita akan naik.***