Ilustrasi
ZONASULTRA.COM, BANGKOK – Satu sesi menarik yang mendapat publik di Bangkok adalah saat tiga menteri pariwisata di ASEAN tampil kompak. Menpar Arief Yahya, Menpar dan Olahraga Thailand Kopkarn Wattanavrangkul, dan Menpar Filipina Wanda Teo. Mereka sama-sama mendorong isu Visit ASEAN @50, menjadikan Asia Tenggara sebagai single destination.
Menteri Pariwisata Arief Yahya melontarkan gagasan yang masuk nalar. Menurutnya, kedekatan di antara negara-negara Asia Tenggara menjadi faktor penting untuk maju bersama di sektor pariwisata. Data 2015 menunjukkan 42% travellers yang datang di semua negara ASEAN itu berasal dari negara-negara ASEAN juga. Sisanya, 36% dari Asia.
“Kekuatan regional itu bisa menjadi competitives advantage bagi ASEAN. Kalau kita kumpulkan semua kelebihan ASEAN, maka akan kuat dan bisa bersaing dengan Eropa, Great China, Timur Tengah dan Amerika Utara, yang sama-sama menjual punya kekuatan regional,” ujar Arief.
Menurut Arief mencontohkan Singapura yang menjadi hub country. “Misalnya Singapura, dia punya maskapai penerbangan dan manajemen transportasi, maka negara Asia Tenggara bisa menjadikan Singapore Airlines sebagai regional airlines nya,” kata Arief.
“Sebaliknya Singapura tidak kuat di nature and cultural resources. Wisatawan bisa terbang ke Singapore lalu diantar ke destinasi di Indonesia, juga bisa menyeberang lewat laut,” ungkap Arief yang tidak terlalu risau dengan cara itu. Sehingga atraksi dapat kelas dunia, akses juga kelas dunia, amenitasnya juga bisa dibangun oleh private sector.
Arief menyatakan hal itu saat menjadi pembicara diskusi bertema “Freedom to Travel-Can ASEAN Countries lead The Way?” pada hari kedua ajang The Global Summit World Travel and Tourism Council (WTTC) 2017 di Bangkok, Kamis (27/4). Menurutnya, orientasi promosi pariwisata negara-negara ASEAN memang perlu difokuskan pada sesama negara di Asia tenggara.
Arief Yahya sependapat dengan Kopkarn Thailand, bahwa pariwisata itu borderless, tidak mengenal batas-batas teritorial. Pariwisata itu hubungan antar manusia. People to people relationship. “Karena itu Indonesia membebas visakan 169 negara selama setahun ini,” kata Menteri Arief.
Hasil studi UNWTO menjelaskan, bebas visa kunjungan (BVK) itu menaikkan 20-25% kedatangan wisatawan. Angka di Indonesia juga 19% lebih, kalau dibulatkan 20% di tahun 2016. “Tahun ini, ada 49 negara yang akan diturunkan dari bebas visa ke visa on arrival, sesuai janji kami ke parlemen,” ungkap Arief Yahya.
Pembicara lain dalam diskusi yang dipandu Linda Yueh itu adalah Menteri Pariwisata Filipina Wanda Teo dan Regional Director ICAO Asia & Pacific Office Arun Misha. Sedangkan tampil sebagai pembicara kunci adalah Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand Kobkarn Wattanavrangkul.
Dalam diskusi itu Arief juga menyatakan optimismenya bahwa pengembangan ASEAN sebagai destinasi wisata tunggal bukan hal mustahil. “Jika negara-negara ASEAN bisa bersama-sama, maka kami akan memiliki ASEAN sebagai single destination,” tegasnya.
Lantas, bagaimana caranya? Arief menuturkan, upaya pertama yang bisa ditempuh adalah melalui harmonisasi sesama negara ASEAN. “Dimulai dari sumber daya manusianya,” sebutnya.
Selain itu, upaya menjadikan ASEAN sebagai destinasi tunggal juga sangat memungkinkan karena komitmen di antara negara-negara anggotanya. “Kami memiliki mutual recognition arrangement atau MRA di antara negara-negara ASEAN,” katanya.
Mantan direktur PT Telkom Indonesia itu menambahkan, ketika sesama negara ASEAN sudah satu visi maka upaya maju bersama di sektor pariwisata bisa lebih mudah. “Dalam pengembangan pariwisata akan lebih mudah menjadikan ASEAN sebagai single destination dalam satu wilayah sebagaimana Eropa,” tuturnya.
Meski demikian Arief juga tak menampik kendala di negara-negara berkembang, terutama masalah infrastruktur dan kemudahan berbisnis. Peraih gelar master dari Surrey University di Inggris itu lantas mencontohkan Indonesia yang getol membangun infrastruktur, tetapi terkendala pendanaan. “Kemampuan pemerintah membiayai infrastruktur hanya 30 persen,” tuturnya.
Karenanya, Indonesia juga membutuhkan investor asing untuk masuk di bidang infrastruktur. Hanya saja, katanya, upaya menggaet investasi juga bukannya tanpa hambatan. “Kendala bagi investasi adalah regulasi,” sebutnya.
Arief menuturkan, indeks tingkat kemudahan berbisnis atau ease doing business di negara-negara berkembang memang sangat rendah. Hal yang sering menyulitkan investor adalah masalah perizinan.
Karenanya Arief menegaskan, Pemerintah Indonesia terus membenahi pelayanan di bidang perizinan. Harapannya investasi asing di bidang infrastruktur pun bisa mengalir kencang.
“Jadi kami harus memperbaiki tingkat kemudahan berbisnis. Kami harus membenahi regulasi terlebih dahulu untuk memudahkan investasi di bidang infrastruktur. Kami menyadari bahwa tidak mudah memperoleh izin di negara-negara berkembang. Karenanya kami butuh dukungan agar level ease doing business semakin baik dan mudah,” pungkasnya.(*)