Akhir-akhir ini kita di hebohkan dengan dunia penerbangan kita, bukan karena adanya kecelakaan pesawat, namun dengan naiknya harga tiket pesawat yang di rasa mahal dan di keluhkan oleh semua masyarakat sebagai pengguna jasa tersebut. Kenaikan harga tiket pesawat sekitar 80% , sebagai contoh rute Jakarta – Padang yang biasanya Rp.700.000 sekarang mencapai Rp.1.233.000 (www.merdeka.com). Selain itu, banyak dari penumpang lebih memilih transit atau pegi ke luar negeri dahulu sebelum ke kota tujuan guna menghindari membengkak nya harga tiket, karena dengan transit ke luar negeri dahulu biaya nya dapat di tekan. Misalnya masyarakat Riau yang ingin ke Jakarta via Kuala Lumpur atau Singapura baru ke Jakarta (www.kompas.com).
Kalau kita perhatikan, naik nya harga tiket pesawat ini erat kaitan nya dengan salah satu maskapai swasta, yakni Lion Air yang memberlakukan bagasi berbayar, Lion Air sebagai maskapai “Low Cost” merupakan “Market Leader” bagi pengguna jasa kebanyakan, hal ini tentunya membuat maskapai lain menjadi “pasang kuda-kuda” dan latah untuk menaikan harga tiket nya. Sebenarnya sah-sah saja maskapai menaikan harga tiket pesawat nya, tentunya harus di imbangi dengan perbaikan-perbaikan kinerja dan fasilitas dari maskapai tersebut. Kita ketahui bersama bahwa Lion Air merupakan maskpai yang paling sering mendapat complain terkait pelayanan dan kinerja nya, dengan adanya rasionalisasi ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja nya.
Bila kita telisik lebih dalam, bisnis pernerbangan merupakan bisnis yang memiliki challenge tinggi, hal ini di karenakan expenditure (pengeluaran) menggunakan dolar (membeli bahan bakar, , dan lain-lain) sementara revenue (pendapatan) dengan rupiah. Hal ini juga memberikan dampak yang signifikan bagi maskapai tersebut, terlebih dengan melemah nya rupiah terhadap dolar.
Belajar Dari Kasus Kartel Honda dan Yamaha
Aroma kartel dalam penetuan harga tiket pesawat, seiring dengan melonjak nya harga tiket memang kian santer. Walaupun masih dugaaan, jika memang benar terbukti adanya permainan harga antar maskapai (kartel), hal ini (maskapai) dapat di denda maksimal Rp 25 miliar sesuai dengan peraturan UU no 5/1999. Menurut salah satu komisioner KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), Guntur Saragih “denda maksimal menurut UU 5/1999 mencapai Rp 25 miliar maksimal nya”. “(sebagian) maskapai dan Kemenhub sudah dipanggil (untuk klarifikasi), (mereka) dipanggil untuk kebutuhan penelitian dan kajian”. (www.kumparan.com).
Kasus kartel kongkalikong Honda dan Yamaha beberapa waktu lalu harus nya dapat menjadi pelajaran, bagi semua pelaku usaha terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam kasus tersebut, mereka (Honda dan Yamaha) di vonis bersalah dan harus mengeluarkan masing-masing denda 3 miliar (www.tempo.co.id). KPPU berhasil mengungkap kasus tersebut dengan adnya bukti kongklikong antara kedua nya (Honda dan Yamaha) berupa percakapan email terkait penetuan harga motor jenis metik di pasaran, harga yang seharus nya dapat ditekan lebih murah daripada yang sekrang beredar di pasaran.
Oleh : Dodi Santoso. S.Sos., M.Ipol
Penulis Merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Haluoleo