Aroma Konsumsi Ramadan

Syamsir Nur
Syamsir Nur

Lazim terjadi, kesibukan di pekan terakhir ramadhan mulai bergeser dari tempat ibadah
(masjid) ke tempat belanja, baik di pasar-pasar tradisional maupun di pasar modern. Fokus
ibadah ramadhan kian memudar disaat akan menggapai puncak ketaqwaan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para penceramah

Aktivitas masyarakat terus bergeliat seiring dengan aroma lebaran yang semakin terasa dengan tampilan “kulit-kulit” baru mulai dari pakaian, rumah dan perabotnya hingga produk elektronik dan otomotif. Pilihan produk juga tidak ketinggalan beriringan dengan semakin mudahnya memperoleh informasi melalui media online. Perilaku yang terkadang menembus batas rasionalitas.

Namun dilain sisi, kondisi ini memiliki dampak positif. Peningkatan konsumsi menandakan
bahwa daya beli masyarakat meningkat. Banyak diantara masyarakat yang sudah lama
menyisihkan sebagian pendapatannya demi untuk dapat berbelanja menjelang Lebaran.
Bahkan sebagian diantaranya berbelanja untuk sanak famili sekedar “buah tangan” ketika
mudik. Sebuah kepuasan yang tentu tidak dibisa diukur dengan pendekatan moneter.

THR (Tunjangan Hari Raya) yang diterima pegawai negeri dan swasta semakin meningkatkan daya beli masyarakat. Bisa kita bayangkan berapa banyak duit yang digelontorkan pemerintah dan perusahaan swasta yang memicu antrian di tempat perbelanjaan. Tak heran jika beberapa produk menjadi hilang seketika, katakalah mentega, terigu dan bahan kue sejenisnya. THR merupakan katup pengaman untuk mengongkosi gaya hidup seputar Lebaran.

Dari sudut pandang ekonomi, pengeluaran untuk konsumsi tentu akan merangsang tumbuhnya perekonomian daerah, bergeraknya kegiatan ekonomi masyarakat di sektor jasa, dan bahkan meningkatkan penerimaan disektor pajak. Apalagi perekonomian Sultra diderek oleh sebagian besar berasal dari sector konsumsi yakni 58,27 % (tahun 2018), yang tentu di tahun ini diprediksi kontribusinya akan mengalami peningkatan.

Jika dicermati lebih jauh, proporsi pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat Sultra masih lebih besar digunakan untuk pengeluaran non makanan (52,82%) dibanding pengeluaran untuk makanan (47,18%). Pola ini juga diperkirakan cenderung konsisten hingga menjelang Lebaran.

Terdapat 3 (tiga) kelompok barang yang akan mendominasi yaitu

  1. Perumahan dan fasilitas rumah tangga;
  2. Kelompok aneka barang dan jasa untuk kebutuhan perawatan, kesehatan,
    transportasi; serta
  3. kelompok pakaian, alas kaki dan tutup kepala. Aroma konsumsi yang
    bertalian dengan gaya hidup Lebaran terus menyegat hingga Triwulan II-2019.

Peranan sector ini tentunya harus diikuti pula dengan perubahan struktur perekonomian yang lebih baik agar manfaatnya lebih optimal dalam mengakselerasi perekonomian daerah agar tetap berkelanjutan. Pemerintah perlu menjaga agar daya beli tetap kuat dengan
mempengaruhi harga produk tetap stabil dan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat.

Setidaknya pasokan dan/atau distribusi barang dan jasa perlu mendapat perhatian
sebagaimana yang dikhawatirkan akhir-akhir ini. Selain itu, penguatan daya saing sektor UMKM perlu tetap dinyalakan ditengah gempuran pasar ritel modern, maupun pasar daring (online).

Pemerintah daerah juga perlu mengoptimalkan upaya dalam menyelesaikan persoalan
masyarakat “perdesaan” guna menopang produksi dan mengurangi ketergantungan dari
daerah lain. Masih tingginya pengeluaran masyarakat Sulawesi Tenggara untuk kelompok
makanan yang beraroma desa (tahun 2018) berupa makanan dan minuman jadi (27,55%) diikuti padi-padian (14,92%) dan ikan (13,18%) perlu mendapat perhatian. Konsumsi yang tinggi ini tentu harus direbut dengan komoditas atau produk lokal karena multiflier effetnya lebih luas bagi perekonomian masyarakat. Produk impor tentu memiliki kebocoran ekonomi, dan tidak memberikan manfaat yang tinggi bagi masyarakat kita.

Tapi masyarakat kita juga perlu disadarkan, kalau produsen lokal tidak didukung maka tentu akan kehabisan nafas untuk mengembangkan usahanya. Sebagai daerah yang masih
mengantungkan hidupnya di sektor konsumsi sudah selayaknya pemerintah daerah terus
menggaungkan kegiatan swadesi (bangga dengan produk sendiri). Memang beberapa produk dari luar daerah/impor menawarkan harga dan kualitas yang lebih menjanjikan dibanding produk lokal. Saya percaya semangat konsumsi yang dimiliki konsumen kita tidak akan mematikan semangat produsen lokal yang tentu mau juga merasakan kebahagiaan disaat pasar sedang berada dipuncak

 

Oleh : Syamsir Nur
Penulis Merupaka Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini