Seorang pemuda mendadak meminta untuk duduk di deretan kursi kami. Tiketnya tertera 3B. Seharusnya dia duduk di depan. Oleh pramugari diminta ke belakang, nomor yang hampir menyentuh angka 30.
Katanya, nomor kursi yang dipegangnya dobel. Dia tiba belakangan, jadi dia yang harus mengalah. Hingga di sini, saya yakin anda sudah tahu maskapai apa yang kami tumpangi.
Kami sepakat dia duduk di tengah. Penumpang lainnya, seorang wanita berjilbab besar, meminta duduk di dekat jendela. Saya duduk dekat lorong. Tidak ada yang benar-benar duduk sesuai tiketnya.
Untuk menghilangkan kejemuan terbang hampir dua jam, saya mengajak pemuda ini berbincang. Sengaja tak menanyakan namanya. Juga usianya. Saya hanya menaksir, dia masih 20-an awal.
Dia perantau. Tepatnya, TKI asal Malaysia. Dia kategori TKI legal. Tiga tahun bekerja di Malaysia sebagai buruh. Dia bukan pekerja perkebunan seperti kebanyakan TKI yang saya kenal. Agennya menyalurkan dia sebagai pekerja bangunan.
Bosnya di Malaysia adalah orang Cina. Dia tidak sendirian. Kerabatnya turut serta. Juga ketika memutuskan kembali ke tanah air, mereka pulang bersama-sama.
Kepulangannya bukan karena kerinduan akan kampung halaman. Tidak membawa kisah tentang legitnya Ringgit Malaysia. Dia dan rombongan kerabatnya pulang karena keadaan yang memaksa.
Upah buruh jatuh setelah gelombang pengungsi Burma masuk ke Malaysia. Pengungsi ini harus bertahan hidup. Tidak ada pilihan lain untuk bekerja apa saja, dengan upah berapa saja. Ini berdampak pada para TKI. Mau tidak mau mereka menyesuaikan upah dengan pelarian asal Rohingya ini.
Pemberi kerja di Malaysia tentu saja menyukai tenaga kerja asal Myanmar ini. Murah. Mereka membuat standar baru pengupahan. Ikut upah seperti orang Myanmar atau tidak bekerja sama sekali. Para TKI tanpa keterampilan ini kena imbasnya.
“Dulu kami bisa dapat 200 Ringgit dalam sehari. Sekarang paling hanya 70 Ringgit. Susah cari kerja sekarang,” katanya.
Begitu kontraknya selesai, tanpa pikir panjang mereka memutuskan balik ke tanah air. Sekalipun, terbuka kesempatan untuk memperpanjang kontraknya.
Pemuda yang mengaku asal Muna tapi tinggal di Bombana ini merupakan bagian dari “eksodus” tenaga kerja tanpa keterampilan yang kembali lagi ke tanah air. Belum ada data resmi tentang “arus balik” para TKI akibat hantaman imigran asal negerinya Aung Sang Suu Kyi itu.
Tapi yang pasti, bakal ada tambahan pekerja sektor informal yang sangat rentan menjadi pengangguran. Bakal mengerek angka statistik menjadi sesuatu yang terlihat seperti “kemunduran” pembangunan.
Saya menanyakan apa rencananya selanjutnya setelah kembali ke Bombana. Dia mengaku akan merantau lagi. Ke Raja Ampat, Papua Barat. Dia punya kerabat di sana, seorang pedagang kelontong. Dia akan bantu-bantu di sana, katanya.
Sudah menikah? Jangankan menikah, punya pacar saja belum, jawabnya. Saya tidak mau membantah pernyataannya. Padahal, saya ingin menurunkan ilmu kanuragan padanya. Tapi sudahlah….
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Pemerhati Sosial & Alumni UHO