Ketika mendengar cerita Heroik Aswadi Adam mendatangkan Fildan, lalu menyalurkan THR di beberapa desa saat Idul Fitri dan terakhir membuat momen Gempur CUP di desa Malalanda, Penulis langsung teringat fenomena serupa yang terjadi di Bombana.
Beberapa tahun silam di Bombana, muncul sosok tokoh bernama Atiku Rahman. Sosok dari seberang yang sama sekali tidak dikenal masyarakat. Ia bukan pejuang Bombana. Tidak pernah berkontribusi untuk daerah. Ia tidak pernah merasakan perihnya di lempar masyarakat saat sosialisasi pembentukan kabupaten. Juga tidak pernah tahu rasanya di caci maki oleh mereka yang kontra dengan perjuangan pembentukan kabupaten yang pada akhirnya juga ikut menjilat-jilat kekuasaan.
Ia muncul seperti pendongeng yang meninabobokan anak-anak. Hanya dengan modal membawa artis, memberikan bantuan dan membuat pertandingan-pertandingan olahraga, Atiku seketika fenomenal. Ia diagungkan seperti malaikat. Ia seketika menjadi pahlawan masyarakat Bombana.
Atiku Rahman tahu persis cara ideal menyasar masyarakat yang jenuh dengan tontonan politik dan hidup dalam status masyarakat pra sejahtera.
Namun pada akhirnya, Atiku justru mencoreng nama Bombana. Atiku ternyata tak sekaya itu. Modal besar menghibur masyarakat harus ia bayar berkali-kali lipat kepada Investor yang berada dibelakangnya. Gurita KKN yang ia bangun bersama keluarganya, akhirnya terendus KPK. Ia ditahan dan menjadi penghuni hotel prodeo.
Pola gerakan Atiku Rahman, mirip dengan gerakan politik yang digencarkan Aswadi Adam melalui Gempur, Gerakan Masyarakat Peduli Buton Utara. Bedanya, Atiku Rahman berhasil memenangkan Pilkada dan Aswadi Adam baru akan menatap Pilkada.
Namun apakah Aswadi Adam senaif itu? Hanya Aswadi Adam yang tahu.
Sebagai seseorang yang pernah menjadi Tim Pemenangan dan menyaksikan langsung hiruk pikuk pemilihan Ahmad Syaikhu di Pilgub Jawa Barat, Kalinga-Santi di Pilbup Cirebon, Sahrun Gaus di Pilbup Bombana, dan ADP-Sul di Pilwali Kota Kendari, penulis menilai Gerakan Politik yang dibangun Aswadi Adam melalui GEMPUR sangat tidak matang.
Penulis menduga bahwa gerakan ini mendadak dibuat hanya berdasarkan Euphoria masyarakat atas datangnya Fildan di Buton Utara. Mengapa?
Empat tahun yang lalu, Ayah dari Aswadi Adam mencalonkan diri sebagai Caleg di dapil 2 Kulisusu Utara namun tidak terpilih. Setahun yang lalu, Paman Aswadi Adam juga maju sebagai kandidat Kades di Desa Petetea yang konstituennya tidak sampai 100 orang, namun lagi-lagi tidak terpilih.
Andai saja Aswadi Adam serius membangun Buton Utara dan maju sebagai Kandidat Bupati, harusnya struktur politik itu ia bangun dari bawah.
Benar, Aswadi Adam memang berhasil mendongkrak popularitasnya sejak mendatangkan artis. Namun perlu diingat bahwa belum ada satupun penelitian yang menjamin bahwa popularitas berperan signifikan terhadap elektabilitas. Pada momen Pilcaleg 2019, banyak artis terkenal dan tokoh-tokoh ternama yang gagal meraih kursi karena kalah saing di TPS.
Pada pilcaleg tahun lalu, penulis turun langsung ke lapangan menyaksikan betapa kentalnya pemilih sosiologi dan kultural di Buton Utara. “Owh dia satu kampung dengan saya. Owh dia keluarga dengan saya”.
Butur hanya menyisakan sedikit pemilih rasional. Ini adalah tantangan terberat Aswadi Adam, karena pemilih sosiologi dan kultural biasanya sudah menjadi basis massa bagi tokoh-tokoh tertentu. Ibarat sebuah atom, Aswadi Adam masih berada di kulit, sementara para tokoh tersebut sudah lama berada di inti atom.
Aswadi juga pasti sudah paham bahwa dalam menatap Pilkada, selain gencar sosialisasi hal yang tidak kalah penting lainnya adalah merebut pintu partai. Di PDIP ada Abu Hasan. Di PAN ada Ridwan Zakariah. Di Golkar ada Ramadio. Sementara di PKB, Demokrat, Gerindra dll masing-masing punya tokoh-tokoh muda yang siap diorbitkan di perhelatan Pilkada Butur.
Lalu Aswadi akan menggunakan ‘baju’ warna apa? Patut di tunggu gebrakannya.
Aswadi Adam sebenarnya bukanlah sosok yang asing bagi penulis. Penulis sudah lama kenal dengan sosok ini. Dokter Asran, adik Aswadi adalah yunior sekaligus wakil ketua OSIS di organisasi yang penulis pernah pimpin tersebut saat bersekolah di Butur.
Sebagai anak muda, penulis mengapresiasi langkah-langkah GEMPUR dalam menghibur masyarakat. Program-program milenial yang langsung bersentuhan dengan masyarakat adalah hal yang banyak dinantikan.
Kesalahan terbesar GEMPUR adalah ia lahir di saat momen Pilkada. Mau tak mau orang-orang pasti akan berpikir bahwa ia ibarat bayi yang baru lahir, namun sudah dipaksakan untuk merangkak, bahkan berlari sekalian.
Jika GEMPUR Benar-benar ingin membangun Buton Utara, kami para generasi muda dengan tangan terbuka menyambutnya. Beri contoh kepada kami yang baru belajar ini, bahwa membangun daerah tidak hanya ketika mendekati momen Pilkada.
Oleh : Rizkia Milida
Penulis merupakan Dewan Pendiri KOPI BUTUR