Jauh sebelum jatuhnya korban secara spartan di sepanjang hari Selasa dan Rabu (12-13 September 2017) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, kasus narkoba di daerah ini beserta penyalahgunaan obat psikotropika dan obat-obatan “tidak terlarang” lainnya sudah marak.
Andi SyahrirPada tulisan saya yang terakhir tentang narkotika berjudul “Mumbul dan Nasib Para Mumbul-ers”, bercerita modus “baru” tentang obat-obatan yang dijual bebas di apotik lalu diperdagangkan secara tidak bertanggungjawab oleh oknum-oknum tertentu yang menyasar para pemadat berkantong kempes atau remaja alay yang kurang pengawasan orangtua atau keluarga dekat.
Konon para pengedar jenis obat tidak terlarang ini sulit diciduk aparat karena yang mereka jual tidak termasuk dalam daftar narkotika. Tapi dengan mempertimbangkan aspek “penyalahgunaannya”, jual beli yang dilakukan para pengedar ini tetap masuk kategori kejahatan dan sebaiknya perangkat hukum segera direvisi untuk memasukkannya sebagai bagian dari terminologi penyalahagunaan narkotika.
Di Kendari –dan barangkali di daerah lain di Indonesia– bukan hanya obat yang disalahgunakan bahkan bukan obat sekalipun dipakai seolah-olah layaknya narkotika, misalnya Lem Fox.
Kian tak terbendungnya peredaran obat-obatan terlarang dan segala bentuk penyalahgunaan obat dan non obat lainnya untuk “membahagiakan” diri, berpangkal setidaknya pada tiga hal. Pertama, sistem pendidikan formal kita. Kedua, pengawasan dari orangtua dan keluarga. Ketiga, penegakan hukum.
Pertama, perihal sistem pendidikan. Kita mampu mencetak pilot yang hebat, tapi mereka mengisap narkoba sesaat sebelum terbang. Kita berhasil menciptakan pemimpin pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tapi mereka juga kedapatan madat. Dan itu bukan hanya sekali dua kali. Sering sekali. Menyedihkannya lagi, itu baru segelintir yang ketahuan tersiar di ruang publik. Di ruang privat, dari bisik ke bisik, jauh lebih banyak lagi.
Sistem pendidikan yang kita persempit saja pengistilahannya menjadi kurikulum, hanya mampu menciptakan orang pintar, tapi tidak dapat menghasilkan orang cerdas. Orang pintar dengan emosi yang labil. Orang pintar dengan spiritual yang setipis kulit ari. Bahkan, kabarnya konten pendidikan agama diwacanakan (kalau bukan di-hoax-kan) mau dihapus dari kurikulum. Semoga saja hanya hoax se-hoax-hoax-nya.
Saya jadi teringat film Jembatan Pensil yang barusan saya tonton bersama keluarga, tentang seorang anak sekolah yang selalu tinggal kelas, tapi dia memiliki sifat-sifat terpuji yang kemudian menginspirasi orang. Pada akhirnya, dalam hidup ini, kita tidak terlalu butuh orang pintar. Tapi kita “urgently required” orang baik. Sistem pendidikan kita tidak perlu terlalu memintarkan orang. Buatlah menjadi orang baik.
Kedua, pengawasan orangtua dan keluarga. Dalam pertemuan saya dengan seorang pimpinan cabang sebuah bank swasta yang bertugas di Ambon, beberapa hari lalu, dia berkisah tentang seorang pengusaha kaya raya yang dikenalnya.
Di hari tuanya, pengusaha kaya raya itu begitu kesepian. Anak-anaknya dengan kesibukan sendiri mewarisi kekayaan darinya. Kerapkali dia hendak menghubungi anak-anaknya untuk sekadar ditemani ngobrol, tapi dia merasa sungkan. Ada sesuatu yang terasa asing di hatinya manakala dia hendak dekat ke anak-anaknya. Mengapa bisa demikian?
Ketika lahir, anak-anaknya praktis dibesarkan oleh babysitter. Dia sibuk dengan bisnisnya. Begitu anaknya bersekolah, dia semakin sibuk. Lalu, ketika kuliah anak-anaknya semakin mandiri tanpa perhatian dan kasih sayaang darinya. Darah dagingnya lebih dekat dengan pembantu-pembantu rumah tangganya ketimbang dia sendiri.
Di akhir cerita itu, saya berharap, semoga anak-anaknya tidak mengirim ayahanya ke panti jompo kelak. Tapi merawatnya sebagaimana seorang anak merawat ayahnya. Meskipun mereka sendiri tidak pernah merasakan dengan baik bagaimana rasanya diasuh oleh sang ayah.
Mereka yang terpapar oleh narkoba atau “narkoba-narkobaan”, hampir dapat dipastikan adalah anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya. Mereka tidak tahu kemana anaknya pergi, tidak tahu siapa teman-temannya.
Mereka sibuk dengan kariernya yang katanya demi anak-anaknya kelak. Padahal sesungguhnya, karier yang hendak digapainya hanyalah demi pemenuhan atas tuntutan aktualisasi dirinya sendiri.
Anak-anak itu tidak butuh kekayaan yang melimpah-limpah karena kelak mereka juga akan tahu cara mencarinya. Anak-anak hanya perlu dibekali pengetahuan yang oleh karenanya harus dibersamai. Mengajarinya hidup dan berkehidupan. Bersama gurunya di sekolah, anak dibantu untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Berada di mana kita?
Ketiga, penegakan hukum. Ada sebuah ironi yang menyedihkan. Hampir tidak terbilang lagi, peredaran narkoba –yang sudah jelas-jelas dilarang– justru berasal dari bilik-bilik penjara. Rumah bagi penegak dan penegakan hukum. Selalu berulang dan terus berulang. Nah, yang dilarang saja begitu masifnya, apalagi yang tidak dilarang seperti peredaran obat-obatan non-narkoba yang lantas disalahgunakan.
Tak terhitung sudah spanduk, iklan, himbauan dan seluruh upaya-upaya persuasif yang dilakukan untuk “memerangi” narkoba. Namun, tak juga berkurang, peredaran malah makin dahsyat. Kasus-kasus besar yang diungkap skalanya semakin membesar, dari ratusan gram, menjadi ratusan kilo, lalu menjadi ton.
Narkoba, jika kita memang benar-benar bermaksud memeranginya, maka pengertiannya harus benar-benar harfiah. Para pengedar adalah musuh. Tidak peduli apakah dia bangsa sendiri atau bangsa lain. Bukankah jejak sejarah mengajarkan bahwa musuh bangsa kerapkali berasal dari mereka yang justru lahir dari rahim bumi pertiwinya sendiri?
Para pengedar ini adalah orang yang membunuhi anak-anak negeri kita dengan senjata kimia. Mereka menyerang tanpa perjanjian perang. Tanpa aturan peperangan. Mau anak-anak, remaja, orangtua, kaya, miskin, laki, perempuan, LGBT, semua disikat. Saatnya kita memeranginya dengan senapan –seperti Presiden Duterte, tembak dulu tanya belakangan kalau sempat. Bukan dengan baliho, iklan, atau seminar.
Akhirnya, saya ingin menegaskan, jika sistem pendidikan formal hanya diarahkan agar anak bangsa menjadi pintar semata, orangtua hanya menempelkan stiker “perangi narkoba” di mobilnya tapi tidak tahu anak-anaknya kemana sepulang dari sekolah, penegakan hukum hanya berbentuk sosialisasi dan semiloka, maka kita tidak sedang memerangi narkoba. Kita hanya sedang berpura-pura memeranginya.***