Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan pilihan terbaik saat ini untuk melakukan pergantian kepala daerah di Indonesia. Rakyat dapat melakukan evaluasi atas kegiatan pembangunan dan kepemimpinan kepala daerah setiap lima tahun. Baik tidaknya pembangunan dan kepemimpinan kepala daerah setiap lima tahun akan terevaluasi secara alamiah oleh rakyatnya sendiri.
Bila kepemimpinan seorang kepala daerah untuk membangun daerah dan masyarakat baik maka rakyat yang dipimpinnya dipastikan akan memilih kembali yang bersangkutan menjadi kepala daerah untuk periode kedua.
Akan tetapi, bila berdasarkan hasil evaluasi rakyat, pembangunan dan kepemimpinan seorang kepala daerah tersebut tidak baik selama menjadi kepala daerah maka rakyat dapat mengganti kepala daerah tersebut dengan cara menjatuhkan pilihannya untuk memilih calon kepala daerah yang lain. Keputusan rakyat untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah atau menggantinya dengan calon kepala daerah yang baru berada sepenuhnya ditangan rakyat yang menjadi pemilih.
Negara menyiapkan ruang bagi rakyat untuk penggantian kepala daerah dengan sangat baik melalui pemilihan kepala daerah secara langsung. Negara melarang adanya intimidasi dari penguasa atau pihak-pihak yang memiliki kuasa kepada pemilih yang akan menyalurkan hak pilihnya.
Di samping itu, negara melarang para pasangan calon dan/atau tim sukses pasangan calon kepala daerah untuk melakukan kecurangan guna memenangkan pemilihan kepala daerah. Negara juga mengancam memberi sanksi tegas bagi anggota KPU dan Pengawas Pemilu sebagai penyelenggara pemilihan yang berpihak dan bekerja tidak profesional.
Pelarangan untuk melakukan kecurangan dalam Pilkada dimaksudkan agar calon kepala daerah yang terpilih adalah benar-benar terpilih karena keyakinan rakyat akan baiknya visi, misi, dan program yang ditawarkan.
Visi, misi, dan program haruslah menjadi instrumen utama rakyat untuk menentukan pilihannya. Walaupun demikian, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa dalam setiap momentum pemilihan selalu ada saja oknum-oknum tim sukses atau pasangan calon yang mencoba berupaya untuk memenangkan pemilihan dengan cara melakukan kecurangan.
Salah satu bentuk kecurangan yang masih terjadi adalah politik uang dan politisasi sara. Terkait hal tersebut, dibawa ini diuraikan bahaya politik uang dan politisasi sara bagi masyarakat.
- Bahaya Politik Uang Bagi Masyarakat
Politik uang hingga saat ini masih mewarnai pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah di Indonesia. Pasangan calon dan/atau tim pasangan calon tertentu masih kerap menggunakan uang untuk memenangkan calonnya dalam pemilihan.
Isu adanya politik uang masih terdengar di sejumlah media, baik pada pelaksanaan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014 maupun pada saat pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2015 dan Pilkada serentak Tahun 2017. Bahkan telah menjadi rahasia umum bahwa fenomena politik uang ini masih menjadi momok bagi pembangunan demokrasi di Indonesia dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Penggunaan politik uang berdampak pada besarnya cost politics (biaya politik) yang dikeluarkan oleh pasangan calon. Dalam setiap momen pemilihan, sejumlah media memberitakan bahwa biaya politik pasangan calon berasal dari pribadi-pribadi pasangan calon, dan dapat pula bersumber dari para cukong (pemodal). Akibatnya, kepala daerah terpilih memiliki utang kepada para cukong (pemodal).
Kepala daerah terpilih akan ditagih setiap saat oleh pada cukong untuk harus segera menempati janjinya yang disepakati pada saat proses Pilkada. Dengan demikian, kepala daerah terpilih di awal pemerintahannya akan berusaha keras mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya pada saat Pilkada.
Bahaya dan/atau dampak praktik politik uang pada Pilkada bagi masyarakat adalah: bahaya pertama, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan uang rakyat berpotensi akan digunakan untuk kepentingan cukong (pemodal) yang telah membiayai pemenangannya dalam Pilkada.
APBD tidak digunakan untuk membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Anggaran ratusan milyar dan bahkan sampai triliunan per tahun sebagian besar hanya dinikmati oleh para cukong yang telah membiayainya.
Rakyat tetap menderita dan bahkan lebih menderita karena para cukong sangat mungkin melakukan monopoli dagang di daerah tersebut; bahaya kedua, kepala daerah yang terpilih sangat mungkin adalah orang yang tidak memiliki kompetensi kepemimpinan, kompetensi pengetahuan dan keterampilan untuk membangun daerah. Kepala daerah seperti ini dicirikan dengan penempatan kepala dinas/badan, kepala bidang, camat, dan lurah serta staf yang tidak didasarkan pada kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing ASN.
Akan tetapi, penempatan jabatan ASN didasarkan karena faktor keluarga, karena pengaruh tim sukses, karena pengaruh cukong, dan/atau karena ASN tersebut membayar sejumlah uang untuk menduduki jabatan tersebut. Akibatnya, para pejabat ASN yang dilantik itu ketika duduk tidak bisa melakukan apa-apa untuk memajukan daerah, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan/atau tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Para ASN yang dilantik itu tidak memiliki kompetensi untuk melayani, mengatur dan bekerja bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, para ASN tersebut hanya akan berpikir bagaimana caranya mengumpulkan uang dari APBD (uang negara) untuk mengembalikan uang yang disetornya pada saat yang bersangkutan mau dilantik.
Bahayanya bagi rakyat adalah rakyat akan semakin menderita, tidak terlayani urusannya dengan baik, dan masyarakat akan mendapatkan sejumlah kendala ketika berurusan dengan para ASN yang tidak profesional tersebut.
Bahaya ketiga, perekrutan PNS. Kepala daerah yang terpilih karena melakukan politik uang berpotensi akan menggunakan momen perekrutan PNS sebagai kesempatan mengisi pundi-pundi keuangannya dengan cara hanya meluluskan orang yang membayar sejumlah uang. Artinya, PNS yang lulus tidak mesti memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang baik tapi asal ia memiliki uang maka ia bisa lulus sebagai PNS.
Sebaliknya, bila hanya masyarakat yang membayar yang akan diluluskan sebagai PNS maka tidak ada ruang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menjadi PNS. Yang terjadi dalam masyarakat adalah orang kaya makin kaya dan orang miskin akan semakin miskin. Tidak ada perubahan kesejahteraan hidup bagi si miskin; bahaya keempat, pengambilan dan/atau perampasan uang rakyat (APBD).
Kepala daerah yang terpilih karena banyak mengeluarkan uang dalam bentuk politik uang berpotensi akan merampas dan/atau mengkorupsi uang rakyat (APBD) yang dikelolahnya. Bentuk perampasan uang rakyat itu bisa dilakukan dalam bentuk mark up (menaikan harga) dari proyek-proyek yang dikelolah oleh daerah tersebut. Misalnya biaya pembangunan sebuah jembatan semestinya dengan biaya sebesar Rp.100.000.000,- sudah bisa dibangun, akan tetapi dinaikan biayanya (mark up) menjadi RP.250.000.000,-. Dengan demikian, kepala daerah tersebut merampas uang rakyat sebesar Rp.150.000.000,-, dan seterusnya.
Atau fenomena kedua adalah dengan cara menurunkan kualitas proyek yang dibangun. Misalnya biaya pembangunan sebuah gedung dengan kualitas campuran semen 1 sak semen 4 kaleng pasir menghabiskan biaya sebesar Rp.240.000.000. Dengan campuran 1 : 4 tersebut, diprediksi bangunan tersebut dapat berumur ekonomis sampai 20 tahun.
Akan tetapi, kepala daerahnya mau merampas anggaran proyek tersebut, maka campuran semen bukannya 1 : 4 tetapi menggunakan campuran dengan perbandingan 1 : 12 (satu sak semen dicampur 12 kaleng pasir). Akibatnya kualitas bangunan akan rendah sehingga umur ekonomis bangunan tersebut hanya sekitar 6,7 tahun. Dengan demikian, terdapat perampasan uang rakyat oleh kepala daerah tersebut sebesar Rp.160.000.000,-. Disamping itu, masyarakat yang semestinya bisa menikmati menggunakan gedung tersebut selama 20 tahun menjadi dirugikan karena masyarakat hanya memungkinkan untuk bisa menggunakan gedung tersebut selama kurang lebih 6,7 tahun.
Bahaya kelima, masyarakat dipidana. Dalam ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, pasal 187A disebutkan bahwa: ayat (1)“setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- dan paling banyak RP.1.000.000.000.
Ayat (2): Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Artinya, praktik politik uang tersebut dapat menyebabkan masyarakat yang menerima uang dari Paslon, tim sukses, relawan dan/atau dari siapa saja yang bertujuan mempengaruhi pemilih sebagaimana disebutkan pada pasal 187A ayat (1) diancam pidana minimal 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan dengan denda uang paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu milyar rupiah.
Disamping itu, pasangan calon yang melakukan politik uang secara sistematis, terstruktur dan masif dapat dibatalkan sebagai pasangan calon. Pembatalan pasangan calon tersebut berpotensi menciptakan konflik yang besar ditengah-tengah masyarakat.
- Bahaya Politisasi Sara Bagi Masyarakat
Politisasi sara dalam Pilkada sering menjadi isu yang dimanfaatkan oleh pasangan calon dan/atau tim sukses pasangan calon. Politisasi sara diantaranya hadir dalam bentuk:
(1) isu putra daerah dan bukan putra daerah,
(2) isu agama,
(3) isu putra mahkota dan bukan putra mahkota,
(4) isu satu suku dan bukan satu suku,
(5) isu ras,
(6) isu strata sosial dalam masyarakat, dan
(7) isu perempuan tidak bisa memimpin, dan lain-lain.
Isu-isu tersebut sering kali digunakan untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Pasangan calon dan/atau tim sukses tidak menggunakan visi, misi, dan program pasangan calon untuk mempengaruhi pemilih menentukan pilihannya. Pemilih tidak diberi edukasi politik yang baik agar menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Pemilih didoktrin dan/atau diperbodohi untuk menjatuhkan pilihannya berdasarkan isu putra daerah dan bukan putra daerah, putra mahkota dan bukan putra mahkota, dan lain sebagainya.
Politisasi sara dalam pilkada memiliki dampak yang membahayakan kehidupan sosial kemasyarakatan. Bahaya politisasi sara bagi masyarakat diantaranya adalah: bahaya pertama, politisasi sara dalam Pilkada akan merusak harmonisasi kehidupan sosial dalam masyarakat.
Diantara anggota masyarakat dalam sebuah desa bisa saja tidak saling tanya, tidak saling menyayangi, tidak saling menghormati, dan bahkan kesusahan satu keluarga dalam satu komunitas tidak lagi menjadi kesusahan anggota masyarakat lainnya dalam komunitas tersebut.
Diantara anggota masyarakat dalam satu komunitas tidak lagi saling membantu, tidak lagi saling menolong, dan tidak lagi saling menghargai; bahaya kedua, politisasi sara berpotensi memunculkan konflik antar warga masyarakat. Antar warga dalam satu komunitas saling menyerang, baik secara fisik maupun non fisik, kebaikan-kebaikan yang pernah terbangun antar-warga menjadi porak-poranda dan rusak karena tidak diingat lagi; bahaya ketiga, politisasi sara dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Kelompok masyarakat minoritas (etnis A) yang ada di kabupatan/kota mayoritas (etnis B) akan diperlakukan tidak manusiawi, sebaliknya, kelompok masyarakat minoritas (etnis B) yang ada di kabupaten/kota mayoritas (etnis A) akan diperlakukan tidak manusiawi atau dipersulit urusan-urusannya. Akibatnya, persatuan dan kesatuan dalam masyarakat menjadi terganggu. Bila terganggu persatuan dan kesatuan maka tentu akan berimplikasi pelaksanaan pembangunan yang tidak akan berjalan maksimal, dan disintegrasi bangsa menjadi taruhannya.
Hal ini sangat berbahaya bagi kehidupan kebangsaan kita di Indonesia; dan, bahaya ketiga, ancaman pidana bagi pelaku politisasi sara. Orang atau pelaku penyebar isu sara dalam Pilkada diancam dengan pidana. Pasal 187 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2015 memberi ancaman pidana kepada pelaksana kampanye atau siapa saja yang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota, calon wakil walikota, dan/atau partai politik.
Mengaju pada besarnya bahaya politik uang dan politisasi sara sebagaimana diuraikan di atas, maka penulis menyarankan penting adanya gerakan bersama untuk menolak dan melawan politik uang dan politisasi sara dalam pelaksanaan Pilkada 2018. Semua elemen bangsa perlu didorong untuk membangun gerakan bersama.
Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi bangsa dirasa penting kehadirannya untuk ikut terlibat melakukan gerakan bersama menolak dan melawan praktik politik uang dan politisasi sara. Begitu pula dengan pasangan calon dan/atau tim sukses serta tokoh-tokoh sentral dalam masyarakat, baik elit politik, elit pemerintahan maupun tokoh-tokoh masyarakat lintas agama untuk ikut menggalakan tolak dan lawan politik uang serta politisasi sara dalam Pilkada.
Gerakan bersama ini diharapkan mampu mendorong semakin baiknya kohesivitas dan koneksitas di dalam masyarakat yang pada akhirnya menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, gerakan bersama tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dalam pelaksanaan Pilkada dan Pemilu.
Gerakan bersama menolak dan melawan praktik politik uang dan politasasi sara dapat dimulai dengan pelaksanaan “deklarasi tolak dan lawan politik uang dan politisasi sara” di seluruh tanah air Indonesia.
Oleh Dr. Hamiruddin Udu, M.Hum
Penulis Merupakan Ketua Bawaslu Sultra