Saya sengaja menggunakan kata “merusak” pada judul di atas agar lebih kedengaran revolusioner meskipun banyak kata yang lebih halus untuk menggantikannya. Masih berbicara tentang tradisi berbelanja dan konsumsi kita yang gila-gilaan di kala Ramadhan hingga puncaknya menuju Lebaran.
Seperti kebanyakan warga akar rumput Indonesia lainnya, saya dibesarkan dalam tradisi Islam khas Nusantara: sibuk mempersiapkan makan minum yang “istimewa” di malam pertama Ramadhan, kue-kue dan penganan lain buka puasa agak lebih banyak ketimbang keperluan saat sarapan di pagi hari di luar Ramadhan, berburu baju baru di pasar-pasar, dan merasa tidak fitri jika berlebaran dengan pakaian yang dibeli di luar Ramadhan.
Tradisi ini sesungguhnya jawaban atas tingginya konsumsi ketika Ramadhan tiba. Suatu realitas paradoksal ketika kita diperintahkan untuk menahan diri melakukan konsumsi.
Grafik berbelanja kita di bulan puasa menyerupai pelana kuda. Awal Ramadhan, belanja konsumsi meroket. Pasar-pasar diserbu untuk malam pertama puasa sekaligus untuk buka puasa pertama.
Seiring hari puasa, konsumsi mengalami penurunan meskipun frekuensinya masih di atas rata-rata dibanding hari lain di luar Ramadhan. Begitu memasuki pertengahan puasa, konsumsi kembali menanjak.
Jika sebelumnya konsumsi hanya sebatas keperluan sahur dan buka puasa, pada periode ini sudah bertambah untuk keperluan menyambut Lebaran: furniture baru, pakaian baru, kue lebaran, parsel, dan lain-lain.
Semakin tebal dompet, semakin beragam keperluan Lebaran yang “harus” disiapkan untuk menyambut hari yang suci. Mereka yang dompetnya tipis kerap memaksakan diri berbelanja di luar kemampuannya. Demikian cara kita menyambut kefitrahan. Itu tradisi kita.
Inilah tradisi yang seyogyanya kita ubah. Jika ingin sedikit terdengar gagah berani, tradisi ini perlu kita rusak. Kita hentikan agar tak lestari. Di bagian mananya?
Saya akan memberikan ilustrasi dengan logika dua buah gelas. Satu gelas penuh. Satunya terisi setengah. Gelas penuh representasi mereka yang ekonomi mampu. Gelas satunya mewakili kelompok ekonomi lemah atau pas-pasan.
Puasa, salah satu hikmahnya, kata penceramah di masjid-masjid, adalah agar kita merasakan derita orang-orang yang berkekurangan. Sejatinya, gelas-gelas penuh tadi menuang isinya ke dalam gelas-gelas yang masih terisi setengah agar terjadi titik kesetimbangan.
Kenyataannya tidak. Konsumsi yang dilakukan di bulan Ramadhan-Lebaran adalah tetap mengisi gelas masing-masing. Kelompok yang berada pada “gelas penuh” terus mengisi gelasnya hingga meluap-luap. Kelompok gelas satunya, alih-alih mengisinya, malah kian menghabiskan airnya karena memaksakan diri melakukan konsumsi berlebihan.
Mereka yang mampu, belanja furniture baru meskipun furniture lamanya masih bagus. Berbelanja baju baru meski baju lamanya masih layak. Dan seterusnya, dan seterusnya. Ini yang namanya gelas meluap-luap. Perilaku inilah yang kemudian memicu inflasi dan kian memberatkan mereka yang berada di gelas terisi separuh itu.
Mereka yang berada di gelas-gelas penuh itu seharusnya menahan konsumsinya, lalu “mengalirkannya” ke mereka yang berada di gelas-gelas terisi setengah. Setidaknya, begitu Ramadhan kelar, jurang kesenjangan tidak terlalu lebar. Tidak ada yang dompetnya benar-benar “fitrah”.
Ramadhan kali ini kami tidak mengistimewakan hidangan sahur dan buka puasa pertama. Tidak turut bersesak-sesak di pasar. Porsi belanja takjil buka puasa sama seperti membeli kue-kue sarapan pagi.
Di lebaran kali ini, kami tidak berbaju baru. Pakaian baru tidak perlu dibeli pada Ramadhan-Lebaran untuk tidak turut menyumbang inflasi yang kian melemahkan saudara kita yang lain. Inilah selemah-lemahnya perlawanan kami. Agar terdengar revolusioner, saya menyebutnya mencoba merusak tradisi tahunan itu.
Tapi hal paling logis dari segala perlawanan kami adalah bahwa kami tidak berada di kelompok gelas yang terisi penuh.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial