Banjir Sultra, Berikut Analisa Kementerian LHK

Sultra Dikepung Banjir: 7 Wilayah Terdampak, 3 Kabupaten Terparah
Sultra Dikepung Banjir: 7 Wilayah Terdampak, 3 Kabupaten Terparah

ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Tujuh kabupaten di Sulawesi Tenggara (Sultra) diterjang banjir. Tujuh daerah itu yakni Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Utara (Konut), Konawe Selatan (Konsel), Kolaka Timur (Koltim), Bombana, dan Buton Utara (Butur). Banjir terparah menimpa daerah Konut yang mengakibatkan puluhan desa dari 6 kecamatan di Konut diterjang banjir setinggi 1,5 hingga 3 meter.

Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Saparis Soedarjanto mengatakan, pihaknya telah membuat analisas terkait bencana banjir di Sultra, terutama di Konut.

Sapari Soedarjanto, atau yang akrab disapa Toto ini mengatakan ada beberapa faktor penyebab banjir di Sultra, yakni:

1. Intensitas hujan yang tinggi mengguyur wilayah Sultra. Selain deras, hujan juga berlangsung dalam waktu yang lama. Berdasarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggambarkan wilayah Sultra diguyur hujan yang tinggi.

Toto menjelaskan, pihaknya telah menghitung kemampuan tampung Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Lasolo di Konut dan terbilang masih mampu menampung air.

Baca Juga : Pemda Konut Buka Rekening Donasi Korban Banjir

“Sungai Lasolo itu sebenarnya kalo kita ngitung kapasitas tampungnya air, pengalirannya air itu dia masih lebih tinggi daripada debit banjir yang masuk. Artinya ada memang luapan dari Sungai Lasolo, tapi itu tidak menjadi penyebab utama banjir,” kata Toto saat dikonfirmasi awak Zonasultra.com pada Rabu (12/6/2019).

Terisolasi, Ratusan Masyarakat Korban Banjir di Konut Mulai Diserang Penyakit
JEMBATAN PUTUS – Jembatan asera jebol dihantam banjir bandang susulan yang terjadi, Jumat (7/6/2019) hingga membuat masyarakat di 5 kecamatan terisolir dan diserang penyakit. (Jefri/ZONASULTRA.COM)

Banjir justru datang dari hulu lewat daratan-daratan dan langsung menggenangi daerah Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera.

2. Topografi Daerah Banjir

Berdasarkan Shuttle Radar Topography Mission (STRM) Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera secara topografi memang merupakan daerah banjir.

“Ternyata Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera setelah kita lihat dari STRM itu ternyata dia itu konfigurasi topografinya di daerah banjir,” imbuh Toto.

Baca Juga : 2.878 Jiwa Korban Banjir di Konut Mulai Terserang Penyakit

Memang sebagian besar desa di Konut merupakan daerah langganan banjir. Mungkin sebelumnya tidak pernah banjir separah ini karena hujannya tidak sederas dan selama ini juga, sehingga dengan intensitas hujan yang tinggi akan terjadi banjir.

3. Adanya Alih Fungsi Lahan

Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Ditjen PDASHL ini juga memaparkan adanya alih fungi lahan. Di sekitar DAS Lasolo terdapat hutan lindung seluas 262.000 Ha, hutan produksi 90.000 Ha, hutan produksi yang bisa dikonversi seluas 35.000 Ha dan hutan produksi terbatas 132.000 Ha.

Tapi ternyata dalam hutan tersebut terdapat kegiatan non kehutanan. Seperti ada perkebunan di dalam hutan lindung seluas 5,7 Ha, pertanian lahan kering 38,19 Ha, pertanian lahan kering campur 1.511,8 Ha. Selain itu terdapat perkebunan seluas 324,95 Ha di hutan produksi.

Baca Juga : Wagub Sultra: Tambang dan Kerusakan Lingkungan Penyebab Banjir di Konut

Termasuk area pertambangan yang berada dalam hutan produksi sekitar 790,57 Ha dan untuk produksi terbatas sehingga totalnya sekitar 820 Ha.

“Areal tambang dibandingkan dengan luas keseluruhan yang 600.000 Ha, berarti cuma berapa persen 820 Ha, tapi di situ pertanian lahan kering ada sekitar 8.500 Ha,” imbuh Toto.

KLHK berpendapat pentingnya mendorong masyarakat untuk mengelola lahan dengan benar. 8500 Ha dari pertanian lahan kering tersebut digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

“Yang penting sekarang bagaimana mendorong masyarakat untuk mengelola lahan yang benar, Jangan apa adanya,” pungkasnya.

Jika memang digunakan untuk pertanian lahan kering, maka Kementerian Pertanian harus pro aktif mendorong agar pengelolaan lahan pertanian kering dapat bernuansa konservasi. Sebab, salah pengelolaan lahan akan berdampak pada tata ruang lahan beserta fungsinya.

Ada salah penggunaan lahan menunjukan ada tata ruang yang dilanggar. Misalnya seharusnya hutan, tapi digunakan untuk pertanian, itu merupakan tata ruang yang salah. Begitu dilanggar, ditambah dengan cara pengelolaanya yang tidak benar, dan diperparah dengan adanya hujan yang deras dan panjang waktunya menyebabkan banjir tidak dapat dihindari.(a)

 


Reporter: Rizki Arifiani
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini