ZONASULTRA.COM, KENDARI – Masyhura Ila Ladamay, La Ode Marshudi, Rusiawati Abunawas dan sederet nama-nama politisi lokal Sulawesi Tenggara (Sultra) lainnya pernah sangat identik dengan partai tertentu di masa lalu. Mereka jadi pengurus utama, dan tulang punggung di organisasinya. Masyhura di PAN, Marshudi di Golkar dan Rusiawati di PPP.
Tapi nostalgia mereka dengan partai-partai itu berakhir di tahun 2018 ini. Mereka memilih meninggalkan partai-partai yang sudah membesarkan nama mereka. Masyhura ke PBB dan jadi Caleg Dapil Bombana-Konsel untuk DPRD Sultra, Marshudi di PKB dari Dapil Muna. Sedangkan Rusiawati, statusnya sebagai anggota DPRD bahkan ia lepas, dan memilih jadi Caleg di Golkar.
Tiga nama itu hanya sampel. Jejerannya masih banyak. Nirna Lachamudin yang sekarang anggota DPRD Sultra dari Hanura, sekarang hijrah ke PDIP jadi Caleg untuk DPR RI. Oheo Sinapoy juga demikian. Pernah jadi anggota DPR RI dari Golkar, kini malah namanya dikabarkan jadi Caleg di PDIP.
“Ini semua (pindah partai) karena lemahnya proses kaderisasi di internal partainya. Parpol lemah membina kadernya sehingga militansi kader juga hilang,” sergah Najib Husain, pengamat politik Sultra saat dimintai tanggapannya terkait banyaknya kader-kader Parpol yang lompat ke partai lain.
Dosen FISIP UHO ini menambahkan, ada disfungsi di parpol. Salah satunya adalah proses kaderisasi. Kalau kaderisasi berjalan maka akan muncul kader yang betul-betul memahami ideologi partainya, dan fenomena saling comot partai ini pasti tidak akan terjadi.
Najib menilai, fenomena ini nantinya akan berefek negatif pada partai baru tempat Caleg itu bernaung. Pasalnya, ideologi partai sebelumnya tentu akan berbeda dengan partai yang baru ia masuki. Hal ini akan mengakibatkan para caleg yang nantinya terpilih sulit untuk menperjuangkan kepentingan partainya karena kurang paham akan ideologi partainya sendiri.
“Ini biasa kita sebut dengan kutu loncat. Seorang calon yang lahir dari partai lain sudah pasti akan berbeda dengan ideologi partai yang akan dimasuki nanti. Nah kalau dia jadi wakil rakyat akan susah memperjuangkan partainya.” ucap Najib.
Fenomena pindah parpol ini tentunya mempunyai dampak positif bagi partai yang dijadikan kutu loncat bernaung. karena dengan instan partai itu bisa mendapat tokoh baru di partainya. Hal inilah yang juga dinilai Najib sebagai sistem karbit. Maksudnya mereka (parpol) menginginkan sesuatu yang instan sehingga proses pengkaderan dikesampingkan.
“Bagi calon kan pastinya ingin peluang baru di partai lain. Jadi memang yang terjadi hari ini pemilih melihat figur, bukan parpol. Makanya dengan mudah dia pindah ke partai lain,” jelas mantan Ketua tim seleksi KPU Sultra 2018-2023 ini.
Pandangan yang agak adem disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo La Tarifu. Ia menilai masalah di internal partai menjadi pemicu utama pindahnya beberapa tokoh politik di Sultra ke partai lain.
“Kita ambil contoh PAN misalnya, sekarang kita tidak bisa pungkiri banyak kadernya yang memilih pindah ke partai lain pasca terjadinya kisruh di iternal partainya,” kata La Tarifu kepada zonasultra.id lewat telepon. Hal itu dinilai oleh Tarifu sebagai hal yang wajar dalam dunia politik. Intinya, setiap kader akan terus mencari peluang agar dirinya bisa mendapat panggung di parlemen.
Pindah partai ini juga dinilai berkaitan erat dengan parliamentary threshold (PT) alias ambang batas perolehan suara partai politik untuk dapat masuk ke parlemen. “Kalau di partainya dianggap peluangnya susah, pastilah dia memilih partai yang dianggap lebih berpeluang mendapat kursi nantinya,” kata La Tarifu.(A)
Reporter : Lukman
Editor : Abdi MR