ZONASULTRA.ID, WANGI-WANGI – Mantan Bupati Wakatobi dua periode, Hugua menyebut Bupati Wakatobi saat ini, Haliana sebagai ‘bupati gila’ karena bisa menghadirkan Presiden Jokowi ke Wakatobi.
Hal itu diungkapkan Hugua pada malam penutupan pertemuan nasional Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit Wakatobi 2022 di aula Patuno Resort, Kamis (9/6/2022).
Anggota DPR RI itu mengatakan, setiap peristiwa besar selalu diawali dari ide kecil dan cerita-cerita di warung kopi. Momen emosional terjadi ketika diskusi antara beberapa menteri.
“Itu karena momen emosional yang diletakkan oleh orang gila seperti wakil menteri (wamen). Memang membangun negeri ini nggak bisa terlalu sopan, kita butuh orang-orang gila seperti bupati gila ini Bupati Wakatobi dan gubernur gila. Jadi perubahan itu bisa terjadi bilamana ada momen emosional,” ungkapnya.
Hugua mengatakan, peran gubernur dan bupati itu sangat penting, tapi belum cukup jika tak ada peran dari pemerintah pusat dan seluruh komponen bangsa lainnya.
Hugua melanjutkan, dalam membangun negeri ini tidak bisa hanya mempertahankan jabatan, kadang-kadang harus turun serendah-rendahnya untuk meraih sebuah kolaborasi.
“Pak Bupati akhirnya bilang tidak, saya yakin dan percaya bahwa semua baik-baik saja. Apapun yang terjadi maka saya bertanggung jawab, keamanan seluruhnya. Gubernur mengatakan iya, Pak Wamen mengatakan jadi, akhirnya jadi. Terharu saya, Pak Wamen,” ujarnya sembari mencontohkan.
Menanggapi itu, Bupati Wakatobi Haliana mengatakan, kata gila yang disampaikan Hugua adalah kata gila dalam arti yang positif. Artinya, cara kerja yang tidak biasa, cara kerja yang memang tidak dipikirkan orang lain, cara kerja yang tidak mesti digembar-gemborkan tetapi orang dapat melihat faktanya.
Kata Haliana, kerja-kerja gila tentu kerja-kerja yang tidak biasa, kerja-kerja ekstra dan itu memang dibutuhkan karena kalau hanya biasa maka hasilnya juga akan biasa-biasa saja.
“Prosesnya bukanlah proses yang mudah dan cepat. Karena saya tahu betul mengapa saya katakan tidak mudah. Bukan Presiden yang tidak mau datang, tetapi karena faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi dan tidak dapat diprediksi,” ujarnya ditemui di Wangiwangi Selatan (Wangsel), Sabtu (11/6/2022).
Lebih lanjut politisi PDI Perjuangan itu menjelaskan, awalnya GTRA Summit dijadwalkan 7 Oktober 2021. Namun, karena pandemi Covid-19 sehingga jadwal diundur dan bergeser menjadi 9 Maret 2022. Covid-19 belum reda, jadwal diundur lagi 8 Juni 2022, tapi sebelum itu juga lahir diskusi-diskusi yang memang tidak biasa.
Haliana melanjutkan, diskusi pertama bagaimana keinginan pemerintah untuk bisa menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan. Mulai dari tumpang tindih lahan di Konawe Utara (Konut). Juga tentang masyarakat Wakatobi yang tidak memiliki sertifikat atau pengakuan terhadap tempat masyarakat di atas laut/perairan, terutama di beberapa desa di Wakatobi.
Haliana mengaku diskusi tersebut memang tidak biasa karena butuh kolaborasi, tekad bersama, niat bersama, dan kesepakatan bersama. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi pemilik kewenangan di atas laut, kemudian di Wakatobi ada Taman Nasional bagian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, sementara sertifikat ada di ATR/BPN.
“Jadi harus ada kesepakatan antara tiga kementerian/lembaga yang ada. Pemerintah daerah menjadi penerima manfaat. Tetapi pemda juga harus bisa mendorong secara administrasi bahwa ada minat, keinginan dan usaha sungguh-sungguh dari pemda untuk memberikan solusi bagi masyarakat,” paparnya.
“Kolaborasi itulah yang menentukan, sehingga bisa tuntas dan selesai. Harapan kita setelah itu akan berjalan baik karena yang kita banggakan ini menjadi pilot project, kita berbuat di Wakatobi untuk Indonesia,” pungkasnya. (b)
Kontributor: Nova Ely Surya
Editor: Jumriati