Dengan makin kompleks nya – baik penyelenggaraan maupun sistem pemilu kita – yang sekarang ini, tentunya menuntut treatment atau penanganan terhadap pemilu tersebut. Bawaslu sebagai badan yang diberikan kewenangan menurut UU 7 tahun 2017 Pasal 1 Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selanjutnya di pasal 93 melakukan pencegahan dan penindakan terhadap, pelanggaran Pemilu, dan sengketa proses Pemilu serta tugas dan wewenang yang lain nya. Tentunya dengan beban tugas tersebut, Bawaslu harus diperkuat dan didukung oleh perangkat dan infrastruktur yang mumpuni guna menunjang kinerja nya.
Salah satu bentuk dukungan nyata untuk Bawaslu adalah dengan adanya peraturan UU no 7 tahun 2017, dimana perbedaan yang sangat mencolok adalah dengan paraturan sebelumnya (yang mengatur tentang Bawaslu) adalah – selain masalah penamaan – yaitu masalah wewenang yang ditambahkan, dalam pasal 93 dijelaskan Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu, dimana di aturan sebelumnya, kewenangan ini (penindakan) tidak ada, Bawaslu hanya menginventarisir dan melayani aduan tentang pelanggaran pemilu lalu melaporkan nya kepada KPU, begitu pula mekanisme Bawaslu dan KPUD di daerah.
Namun, laporan aduan dari Bawaslu seakan menguap begitu saja di tangan KPU. Dengan adanya aturan baru tersebut (UU 7 tahun 2017) juga dibentuk sebuah badang yang di bentuk khusus untuk menangani konflik atau perselisihan pemilu maupun hasil nya, yakni Gakkumdu. Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) merupakan Sentra layanan yang terkait masalah hukum yang ada di pemilu, segala bentuk permasalahan pemilihan umum, lembaga ini dibentuk oleh Bawaslu yang terdiri dari unsur Kepolisian, Kejaksaan dan Pengawas Pemilu itu sendiri.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ratna Dewi Pattololo, & quot. Maksud dari keberadaan Sentra Gakkumdu ini, sentra Gakkumdu ini dimaksudkan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu antara Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan, ini sangat berkaitan dengan keterbatasan waktu penanganan pelanggaran sehingga dibutuhkan forum ini untuk penyamaan pola penanganan tindak pidana, mencapai efektivitas penindakan pidanapemilu,".
Namun pada kenyataan nya, penanganan permasalahan pemilu selalu stuck di Gakkumdu, banyak kasus-kasus kepemiluan yang di tangani di Bawaslu, dan ketika akan di eksekusi di
Gakkumdu acap kali menguap begitu saja, hal ini salah satu nya disebabkan oleh berbeda-bedanya pandangan diantara anggota Gakkumdu itu sendiri, hal senada seperti yang di katakan oleh
Ketua KPU RI, Arief Budiman “mengapa masalah pemilu selalu menemui jalan buntu, karena adanya multitafsir diantara anggota Gakkumdu tersebut dikarenakan berbeda-beda latar belakang”. Multitafsir ini yang kemudian menjadi kendala dalam penegakan hukum di pemilu, perlu dicarikan solusi yang tepat untuk menjaga kedaulatan pemilu kita.
Peradilan Pemilu
Semakin kompleks permasalahan suatu hal, tentunya treatment nya juga harus yang diberikan, masalah korupsi, — sebelum adanya pengadilan tipikor – selalu tidak optimal dalam penegakan hukum nya, banyak tebang pilih dan masalah lain nya. Begitu pula masalah pemilu, — walapun bukan kategori exstra ordinary crime – namun dampak yang ditimbulkan dari permasalahan pemilu (baik pusat maupun daerah) sangat signifikan, terutama isu terkait konflik, perpecahan, sampai masalah SARA yang dapat timbul, melihat efek yang luar biasa yang ditimbulkan dari masalah kepemiluan, oleh karen itu perlu diberikan penanganan yang serius pula.
Peradilan pemilu bukan merupakan barang baru, isu ini telah lama dihembuskan oleh para pegiat pemilu, hal ini dikarenakan tumpulnya badan atau mekanisme terkait penyelesaian masalah pemilu. Konsepnya sederhana, yaitu di isi oleh kalangan independen professional dan diberikan kewenangan (melalui adanya peraturan). Dengan diisinya peradilan pemilu oleh kalangan independen professional, maka diharapkan tidak ada lagi conflict of interest dan multitafsir diantara sesama anggota.
Contoh paling baru adalah, pengakuan AKP Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasirwangi, di kabupaten Garut, beberapa waktu lalu dia menggelar konferensi pers bersama Kordinator
Kontras, Haris Azhar, yang menyebutkan bahwa ia (AKP Sulman Aziz) bersama para Kapolsek di wilayah Polres Garut diarahkan oleh Kapolres untuk memenangkan salah satu pasangan capres yaitu nomor 01. Dalam pengakuan nya, Kapolsek tersebut disuruh mendata para pemilih di wilayah nya dan mengarahkan untuk memilih petahana, kalau tidak dijalankan dengan baik akan di copot dan di mutasi. Haris Azhar yang mendampingi AKP Sulman Aziz sebenarnya sudah mengadukan ke Bawaslu, namun respon lambat, selain itu juga akan melaporkan ke kompolnas, namun pesimis karena institusi tersebut kental kepentingan nya.
Dari kasus diatas, sudah saat nya kita memiliki sebuah badan atau lembaga yang dapat dipercaya dan bisa bekerja cepat dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu, karena sekali lagi, walapun bukan kejahatan luar biasa, namun efek yang ditimbulkan menyebabkan multiplier effect atau memiliki efek banyak hal.
Oleh : Dodi Santoso, S.Sos., M.Ipol
Penulis Merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Halu Oleo