ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Untuk menekan penyebaran Covid-19 Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi aktivitas sosial. Dimulai berkala dengan meliburkan sekolah dan membuat aturan learn from home, lalu work from home, dan kini membuat aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktivitas sosial warga.
Pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Penerapan PSBB tak hanya berdampak pada orang dewasa tapi juga terhadap anak-anak. Tak hanya kesehatan, mereka juga terdampak sosial, ekonomi dan pendidikan.
Berdasarkan penelitian tentang dampak non kesehatan dari Covid-19 bagi anak-anak di Indonesia yang dilakukan oleh UNICEF Indonesia, anak-anak turut menanggung dampak sosial dan ekonomi.
Spesialis Kebijakan Sosial UNICE, Angga Dwi Matra, mengatakan pemberlakuan PSBB berdampak besar pada penghasilan pekerja sektor informal. Para pekerja ini memiliki keluarga yang harus dinafkahi sehingga turut berdampak pada kesejahteraan keluarga.
“Ada tiga krisis yang terjadi terkait kondisi tersebut. Pertama adalah krisis kemiskinan anak, kedua adalah krisis gizi, dan ketiga adalah krisis pembelajaran,” ujar Angga dalam pernyataan tertulis yang diterima awak Zonasultra.com, pada Selasa (12/5/2020).
Angga menuturkan, saat ini hanya 52 juta penduduk di Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan yang aman. Sementara sebagian besar dari 115 juta penduduk Indonesia yang diklasifikasikan sebagai “calon kelas menengah” (istilah yang baru-baru ini diperkenalkan oleh Bank Dunia) termasuk sangat rentan. PSBB yang sedang diperlakukan membuat “calon kelas menengah” kehilangan penghasilan.
“Kehilangan pendapatan rumah tangga yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan ketidakstabilan situasi ekonomi keluarga dan dapat berujung pada kemiskinan,” imbuh Angga.
Menurut Angga, proyeksi Bappenas memungkinkan penduduk Indonesia jatuh miskin naik menjadi 55 persen, dengan sekitar 27 persen calon kelas menengah diperkirakan mengalami ketidakamanan pendapatan yang menghawatirkan. Keluarga dan anak-anak yang jatuh miskin dalam waktu singkat akan mengalami dampak berat dalam hal keamanan pangan rumah tangga dan keterbatasan terkait akses, ketersediaan, dan keterjangkauan bahan makanan sehat.
“Survei daring menunjukkan bahwa kebutuhan pangan semakin tidak aman: 36 persen dari responden menyatakan bahwa mereka “sering kali” mengurangi porsi makan karena masalah keuangan,” lanjutnya.
Lebih dari 120 negara telah memberlakukan pembatasan interaksi sosial melalui penutupan sekolah yang berdampak pada jutaan siswa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia mengalami krisis pembelajaran. Penerapan belajar dari rumah sejak Maret lalu dan penutupan sekolah dapat memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Siswa miskin dan rentan merupakan pihak paling terdampak oleh penutupan sekolah. Pendidikan mungkin tidak menjadi prioritas utama, karena sering kali harus bersusah payah memenuhi kebutuhan dasar.
Lamanya waktu belajar yang hilang dapat membuat banyak siswa sulit menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai tingkatan kelas yang diharapkan. Situasi ini dapat menimbulkan risiko terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Jumlah anak yang putus sekolah juga dapat meningkat akibat kesulitan yang dihadapi anak dan remaja untuk kembali dan tetap bersekolah setelah penutupan sekolah dan kontraksi ekonomi yang berlangsung dalam waktu lama.
Anak-anak penyandang disabilitas juga merasakan dampaknya. Mereka secara khusus sulit belajar dari jarak jauh dengan efektif karena sering kali memerlukan kontak fisik dan emosional dengan guru serta mengandalkan alat-alat dan terapi khusus agar dapat belajar dengan baik.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti tidak menampik krisis pendidikan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh KPAI, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang saat ini diberlakukan sebagai bagian dari upaya menekan penyebaran Covid-19 memunculkan fakta, besarnya kesenjangan pendidikan antara kelompok. (a)