Banyaknya calon kepala daerah dengan usia muda yang memenangkan kontestasi Pilkada serentak gelombang pertama 9 Desember 2015 lalu menjadi warna politik baru. Sebut saja Zumi Zola (35 tahun) calon Gubernur Jambi, Emil Elestianto Dardak (31 tahun) calon bupati Kabupaten Trenggelek, Sutan Riska Tuanku (26 tahun) calon Bupati Kabupaten Dharmasraya yang berhasil menjadi kepala daerah terpilih dan calon kepala daerah usia muda lainnya yang tidak terpilih. Banyaknya figur calon kepala daerah yang berusia muda ini pun menjadi fenomenal karena diangkat menjadi topik utama pada salah satu program acara televise, Mata Najwa yang mengangkat tema “Darah Muda Daerah” yang menghadirkan darah-darah muda daerah yang terpilih dalam kontestasi Pilkada di daerahnya masing-masing.
Fenomena munculnya banyak figur muda calon kepala daerah atau yang disebut darah muda daerah ini juga menjalar di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Tanpa menyebutkan nama-namanya untuk menghindari kesan mengkampanyekan figur muda, nama-nama darah muda sudah bermunculan di daerah-daerah di Sultra untuk mewarnai kontestasi Pilkada di 2017 mendatang yang didominasi nama-nama lama dari kalangan tua. Ini akan memberi warna politik baru dalam momentum pilkada mengingat selama ini di setiap kontestasi Pilkada di daerah-daerah sultra selalu diwarnai oleh nama-nama lama yang memiliki usia tua dan tidak asing lagi di mata dan telinga publik. Mungkinkah darah muda dapat menyaingi kalangan tua dalam Pilkada 2017 mendatang? Mungkinkah darah muda mampu menandingi dominasi kalangan tua? Entahlah, itu semua akan terjawab oleh publik dengan berbagai dasar pemikiran dan realitas yang ada.
Menurut kaca mata penulis melihat munculnya darah muda daerah yang mewarnai kontestasi Pilkada 2017 mendatang, mesti ada juga hal-hal baru yang disuguhkan dan ditunjukan oleh darah muda daerah yang kaitannya dengan budaya-budaya politik yang dipraktikkan dalam setiap momentum Pilkada di Sultra. Darah muda daerah muncul bukan hanya melahirkan nama-nama baru dalam kontestasi Pilkada, tetapi juga berani untuk menghindari atau merubah budaya politik di Sultra. Meminjam perkataan salah satu musisi kritis Indonesia, Iwan Fals yaitu “Bongkar Kebiasaan Lama”.
Ada beberapa budaya politik yang harus dibongkar oleh darah muda daerah di Sultra yang selama ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan iklim demokrasi di Sultra tidak sehat. Mengutip dari tulisan opini penulis sebelumnya yang diterbitkan oleh Kendari Pos edisi 28 Agustus 2015 dengan judul “Menggugat Budaya Politik Sultra”, budaya politik tersebut antara lain politik uang (money politic), politik virtual (politik pencitraan belaka), budaya politik rame-rame, politik hitam (the black campaign) dan politik primodial. Dengan demikian, orientasi para darah muda daerah yang berkompetisi di Pilkada 2017 kedepan tidak hanya menjadi pemenang, tetapi juga mampu melahirkan iklim demokrasi Sultra yang sehat.
Salah satu langkah aktif yang bisa dilakukan para darah muda daerah untuk mewujudkan iklim demokrasi Sultra yang sehat adalah pendidikan politik di masyarakat. Pendidikan politik ini dapat dikemas dalam setiap sosialisasi atau kampanye, sehingga sosialisasi atau kampanye calon kepala daerah dari darah muda daerah tidak hanya berorientasi merebut perhatian dan dukungan publik tetapi juga memberikan didikan politik kepada masyarakat dalam usaha menciptakan pemilih cerdas. Ketika darah muda daerah mampu menciptakan pemilih yang cerdas dan sekaligus kompetisi Pilkada yang sehat dengan sendirinya terciptalah iklim demokrasi Sultra yang sehat pula.
Dari sisi kualitas dan kapasitas kepemimpinan darah muda daerah, khususnya dari sudut pandang pengalaman, darah muda daerah agak sedikit kurang dibandingkan dengan kalangan tua daerah. Tetapi, penulis meyakini bahwa berdasarkan filosofi pemuda yang diungkapkan Bung Karno yang menyatakan “Berikan aku seribu orang tua, maka akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda maka akan ku guncangkan dunia”. Filosofi ini bisa menjadi spirit bagi darah muda daerah dalam berkompetisi dengan kalangan tua untuk menjadi pemimpin eksekutif di daerah-daerah di Sultra. Dengan modal keilmuan dalam hal ini intelektualitas dan semangat yang masih segar dan berkobar-kobar, darah muda daerah tidak perlu pesimis untuk ikut tampil menjadi kepala daerah. Secara finansial mungkin darah muda daerah akan kalah jauh, tetapi dengan langkah dan usaha melahirkan pemilih cerdas, darah muda daerah bisa merebut perhatian dan dukungan publik.
Lahirnya figur-figur calon kepala daerah yang telah terwacanakan di publik saat ini perlu diapresiasi khususnya oleh kalangan pemuda. Ada harapan baru yang tersirat di dalamnya dimana dinamika politik di Sultra selama ini harus diwujudkan dalam dinamika politik yang harmonis dan bernuansa mendidik masyarakat di daerah-daerah Sultra. Membongkar budaya-budaya politik Sultra yang notabenenya merusak tatanan kehidupan demokrasi daerah. Selain itu juga, munculnya darah muda daerah akan menjadi semangat baru bagi kepemimpinan-kepemimpinan daerah selanjutnya utamanya peran pemuda untuk terlibat langsung dalam pembangunan daerah.
Di akhir tulisan ini, penulis berharap lahirnya darah muda daerah dalam pilkada akan menjadi gerbang utama untuk memasuki ruang demokrasi yang sehat dimana terciptanya kompetisi yang sehat dan pemlih yang cerdas. Darah muda daerah tidak hanya melahirkan nama-nama baru, tetapi juga melahirkan budaya politik baru. Inilah yang penulis sebut bahwa munculnya darah muda daerah memberi warna politik baru Pilkada di Sultra. Bemunculannya darah muda daerah jangan sampai hanya sebatas ikut-ikutan atau numpang tenar dan tetap mempertahankan budaya politik yang merusak tatanan demokrasi. (***)
Oleh: Falihin Barakati
Pengamat Politik Muda dan Wakil Ketua PKC PMII Sultra