Bangsa ini suka sekali mempertengkarkan hal-hal sepele. Gemar membesar-besarkan masalah kecil. Korbannya banyak. Salah satu kasus yang mungkin belum terlupakan, mantan Ketua KPK Abraham Samad yang terpaksa terdongkel gara-gara kartu keluarga.
Karakter demikian ternyata warisan. Iya, warisan dari Belanda. Kata Tan Malaka, itu sifat orang Belanda. Dalam Madilog-nya, dia bertutur, salah satu sifat rakyat Belanda adalah sifat berkilah, sifat suka mempertengkarkan perkara-perkara kecil, dengan melupakan pokok yang besar. Sebutannya demagogisch.
Sifat itu tercermin dari gaya politiknya yang tercermin melalui sistem multi partai. Catatan terkini dari laman CIA Factbook, Belanda memiliki 11 parpol besar dan beberapa partai gurem (CIA Factbook sendiri tidak lagi merincinya). Catatan Tan Malaka, di tahun 1940-an, Belanda punya 52 partai.
Indonesia pernah menerapkannya dengan sukses pada Pemilu 2009 dengan jumlah partai 44 buah. Mengalahkan Pemilu 1955 (pemilu pertama sejak Indonesia merdeka), yang “hanya” 30-an partai. Di zaman orde baru pernah hanya tiga parpol saja, meski Golkar katanya bukan parpol. Lalu di Pemilu 2014 menjadi 10 parpol.
Menurut ukuran Belanda, kata Tan Malaka lagi, Amerika Serikat yang luasnya 375 kali luas negeri Kincir Angin itu, harusnya punya 1.040 partai politik, agar bisa menyamai Belanda dalam hal percekcokan perkara tetek bengek.
Indonesia mungkin tak lagi berangan-angan memiliki berpuluh-puluh partai politik. Tapi karakter demagogisch itu sepertinya kian subur.
Ah, dijajah Belanda ratusan tahun, tidak hanya menyisakan cerita tentang pahit getirnya jadi inlander. Negeri ini juga mewarisi karakter tukang ribut soal remeh temeh.
Energi habis untuk masalah kecil. Masalah besar pun terabaikan. Barangkali bukan sengaja abai, tapi tak lagi punya tenaga untuk mempersoalkannya. Demagogisch.***
Penulis : Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial